Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- “Jika benar karena terpaksa, sejak awal jangan libatkan manusia yang rela berkorban.”
Pertama kali mendengar cerita yang tumbuh berakar dari mulut yang menggambarkan keputusasaan, dengan terpaksa saya mengorbankan perasaan demi keselamatan satu insan manusia. Awal yang baik ketika segala letupan-letupan tangis disudahi tanpa basa-basi yang membingungkan seraya cinta bisa merubah batu jadi bunga.
Pengorbanan ini berlanjut sampai dititik di mana justice for love ini disematkan lewat perasaan. Cerita yang mengandung luka dan makna seakan ditebas tanpa syarat, tanpa sengat, tanpa keringat. Namun, itu semua hilang tak bermakna karena pengkhianatan. Sungguh, saya adalah simbol dari korban di atas korban. Lebih tepatnya, ada duri di dalam daging.
Perjuangan melawan stigma masyarakat, orang dekat, kerabat, sahabat, kini saya yang menelan tanpa dipaksa. Setelah diperkosa perasaan saya, kini diperkosa lagi perjuangan saya, pengorbanan saya.
Adakah saat ini orang yang mau menggantikan posisi saya? Jangan, biarlah pil pahit ini saya yang rasa.
Kilas balik cerita tentang cinta rasanya hambar ketika berakhir tidak tersisa, sia-sia, akan berakhir pada tutup usia. Catatan ini mungkin adalah catatan terakhir dari saya yang kelak membuka tabir kebenaran, apa arti kemanusiaan, apa yang disebut cinta kebijaksanaan.
Setelah dirilis tulisan ini, mungkin saya menutup mata, entah tidur atau lebih kejam dari tidur. Catatan ini murni lahir dari pikiran penulis, tanpa kutipan, tanpa saduran. Ketika harus berakhir dengan tangisan maka ini adalah jalannya. Harapan saya, sakit ini berakhir bahagia. Pahit ini jika dipendam maka api takan pernah padam.
Tulisan Tanpa Catatan Kaki
Ingin rasanya saya meninggalkan catatan kaki di akhir tentang ”Cerita di balik Noda” yang pernah ditulis oleh Fira Basuki atau “Noda tak Kasat Mata” oleh Agnes Jessica tetapi percuma, karena mungkin, kelak saya sendiri yang ditempelkan oleh penulis lain lewat tinta pena yang menjadi sinopsis perjuangan tentang gadis kecil yang dirusak masa depannya.
Ingin rasanya saya berspekulasi tentang Tuhan, bahwa keadilan tidak ditempatkan oleh Tuhan kepada saya atau justice for sale, akan tetapi ada welas asih yang Tuhan titipkan. Inilah yang saya teguhkan. Hidup setelah kematian akan Tuhan berikan, meski ini penuh harap dari pikiran manusia (saya).
Pengkhianatan
Pengkhianatan kata dasarnya adalah khianat jika ditelaah, kalimat ini mengandung perencanaan. Pengertian pengkhianatan menurut Wikipedia adalah bentuk pemutusan, perusakan, atau pelanggaran terhadap suatu kontrak praduga, persetujuan, kerja sama, kepercayaan, atau keyakinan, yang menciptakan konflik secara moral dan psikologis dalam hubungan antarindividu, antarorganisasi, atau antara individu dan organisasi.
Sering kali pengkhianatan dapat berupa tindakan untuk mendukung kelompok musuh atau saingan, atau juga berupa bentuk pemutusan hubungan kerja sama secara penuh dengan mengabaikan aturan atau norma yang sebelumnya diputuskan atau disepakati bersama. Seseorang yang mengkhianati orang lain disebut pengkhianat.
Keterangan di atas merupakan satu obsi untuk saya menjelaskan siapa yang berkhianat. Manusia yang pada awalnya diperjuangkan, kini berbalik dan melakukan pengkhianatan secara terang-terangan. Mengapa ini saya stempelkan tanpa berpikir? Ya, itu telah ditunjukan lewat pelarian yang disengaja.
Ketika saya pergi berlabuh di perasaan yang hampir tenggelam, saya ditenggelamkan dan ditertawakan. Sungguh, ini adalah sakit yang direncanakan, kapan harus disematkan.
Enola kini bukan lagi enola yang saya kenal, ia berkhianat tanpa memikirkan siapa yang jadi korban. Lazimnya, ia mengatur skenario dan saya korban skenario. Ingin rasanya saya berucap, “matilah kau, aku benci pemain rasa”. Namun naif ketika saya demikian. Pengkhianatan dibalas keikhlasan. Saya ikhlas.
Perjuanganmu bukanlah perjuanganku, perjalananku bukanlah perjalananku. Namun ini adalah tugas dan tanggung jawabku.
Sampai bertemu.(*)
Penulis merupakan kader GMKI Jailolo.