Friska Liska Sihombing*
PIRAMIDA.ID- Gagasan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda pada dasarnya baik karena perbedaan biologis yang melekat atau karena sosialisasi gender begitu mendarah daging sehingga menjadi suatu hak yang tidak dapat diubah. (Ghodsee, 2004).
Feminis kultural dengan bangga mengidentifikasi perbedaan sosial biologis antara laki-laki dan perempuan dan mengakui perbedaan tanpa inferioritas. Dalam hal ini menurut (Nash, 2003) bahwa feminis kultural menegaskan untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah dengan melihat kemampuan dan keunikan dari laki-laki dan perempuan daripada melihat kesamaan antara laki-laki dan perempuan.
Feminis menolak dominasi dari maskulinitas dengan berusaha menaikkan nilai-nilai dari feminin yang dimiliki perempuan, singkatnya feminis kultural ingin dunia melihat bahwa nilai-nilai feminisme yang dimiliki oleh perempuan adalah suatu hal yang patut untuk dihargai, sehingga menurut (Nash, 2003) kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah ketika karakteristik feminisme perempuan tersebut diterima oleh masyarakat dan dihargai.
Ekofeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia untuk mendominasi dunia bukan manusia, atau alam. Karena perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi.
Ekofeminis adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Menurut Wikipedia, ekofeminisme adalah suatu paham tentang keterkaitan antara perempuan dana lam semesta terutama dalam ketidakberdayaan dan ketidakadilan perlakuan kepada keduanya. Istilah ekofeminisme muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Francoise d’Eaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la mort.
Dalam karya ini mengungkapkan pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam, bahwa pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat terjadi secara terpisah dari yang lain.
Setelah Eaubonne mempopulerkan istilah ekofeminis, kurang lebih satu dasawarsa kemudian Karen J. Warren menspesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme. (1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminis harus memasukkan perspektif ekologi, dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.
Karen J. Warren juga menyatakan, keyakinan, nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkal yang opresif. Yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan sub-ordinasi secara umum serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya. Menurutnya modus berfikir patriarki yang hirarkis, dualistik, dan opresif telah merusak perempuan dan alam.
Dalam banyak hal, ekofeminisme mirip dengan “ekologi-dalam” atau deep ecology. Deep ecology merupakan aliran etika lingkungan yang dikembangkan di Skandinavia oleh Arne Naess buah dari hasil perdiskusiannya dengan Sigmund Kvaloy dan Nils Faarlund yang mana prinsip ekologi-dalam tersebut di antaranya adalah:
1. Kesejahteraan dan pertumbuhan kehidupan manusia dan bukan manusia di bumi mempunyai nilai masing-masing (nilai intrinsic yang sinonim, nilai inheren). Nilai-nilai ini saling bergantung dari kegunaan dunia bukan manusia untuk tujuan/kepentingan manusia.
2. Kekayaan dan keragaman hayati berkontribusi terhadap pengejawantahan nilai-nilai ini, dan juga nilai-nilai di dalam setiap kekayaan dan keragaman hayati itu.
3. Manusia tidak berhak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman ini, kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang vital.
4. Peningkatan kualitas hidup dan kebudayaan manusia sejalan dengan penurunan substansial populasi manusia. Peningkatan kehidupan bukan manusia memerlukan penurunan itu.
5. Pada saat ini, campur tangan manusia terhadap dunia bukan manusia sangat berlebihan, dan situasi ini dengan cepat semakin bertambah buruk.
6. Kebijakan harus diganti. Kebijakan ini mempengaruhi struktur dasar ekonomi, teknologi, dan ideology. Keadaan yang dihasilkan akan sangat berbeda dari yang terjadi saat ini.
7. Perubahan ideologi yang utama adalah penghargaan terhadap kualitas hidup (yang terkandung dalam situasi dengan nilai inheren) daripada tunduk kepada standar kualitas hidup yang terus-menerus meningkat. Akan ada kesadaraan yang mendalam dari perbedaan antara besar dan besar sekali.
8. Mereka yang mengakui poin yang tengah berlangsung, mempunyai kewajiban untuk secara langsung atau tidak langsung melaksanakan perubahan yang harus dilakukan.
Meskipun ekofeminisme mirip dengan ekologi-dalam namun secara umum ekofeminis menyalahkan ekologis-dalam, karena mereka gagal melihat satu poin penting. Ekologis-dalam secara keliru telah melawankan antrophormofisme secara umum, ketika yang menjadi masalah sesungguhnya bukanlah semata-mata keterpusatan pada manusia di dunia Barat, melainkan keterpusatan pada laki-laki. Androsentrisme, dan bukannya antrophormofisme, yang merupakan musuh utama perempuan dana lam.
Menurut Ynestra King, “Pengakuan atas hubungan antara perempuan dengan alam dan posisi perempuan sebagai jembatan antara alam dan kebudayaan menghadirkan tiga arah kemungkinan feminisme”.
Arah pertama adalah memisahkan hubungan antara perempuan dengan alam, dengan secara mutlak mengintegrasi perempuan ke dalam kebudayaan dan ranah produksi.
Kedua adalah menegaskan kembali hubungan perempuan dengan alam, dengan mengajukan pendapat bahwa alam perempuan bukan saja berbeda, melainkan juga lebih baik daripada budaya laki-laki.
Ketiga adalah cara dan isi ekofeminis sejati ada dalam pengakuan bahwa meskipun dualism alam-kebudayaan adalah produk kebudayaan, kita dapat secara sadar memilih untuk tidak memisahkan hubungan perempuan – alam dengan menggabungkan diri dengan kebudayaan laki-laki. Sebaliknya kita dapat memanfaatkannya sebagai suatu posisi strategis untuk menciptakan suatu jenis kebudayaan dan politik yang berbeda, yang akan mengintegrasikan bentuk pengetahuan intuitif, spiritual, dan rasional, dengan merangkul baik ilmu pengetahuan.
Dalam esainya yang secara luas dimuat dalam berbagai antologi, The Land Ethic, Aldo Leopold menulis bahwa kita harus memikirkan alam sebagai “mata air energi yang mengalir melalui siklus tanah, tumbuhan, dan binatang.”
Leopold percaya bahwa bumi adalah suatu sistem kehidupan, suatu persimpangan elemen yang saling berkait dan saling bergantung dengan sangat rumit, yang berfungsi sebagai keseluruhan organisme. Jika suatu elemen dari sistem ini sakit, keseluruhan sistem mungkin sakit juga; dan satu-satunya cara untuk mengobati sistem ini adalah dengan merawat atau menyembuhkan bagian yang sakit.
Menyembuhkan bagian yang sakit dalam hal ini adalah bagaiman kerusakan alam dapat terjadi. Tidak melulu kerusakan disebabkan oleh murni perubahan cuaca di dalam banyak perdiskusian menyoal lingkungan ada banyak data yang mengungkapkan contoh-contoh kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia. Oleh karenanya manusia juga lah yang perlu menyembuhkan bagian yang sakit serta merawat alam tidak perduli dari suku, ras dan gender sekalipun. Menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Pada kesempatan Hari Lingkungan Sedunia ini, mari kita sejenak berucap terima kasih kepada ibu Bumi yang masih mau menyusui kita. Kita masih disajikan pepohonan yang walaupun untuk ukuran di Indonesia semakin ke sini semakin kurang. Kita semakin menyadari betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan melestarikan lingkungan.(*)
Istilah-istilah:
Opresi adalah tindakan perampasan kemerdekaan individu dengan memaksa individu melakukan sesuatu yang tidak ia kehendaki.
Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. Subyek antropomorfisme seperti binatang yang digambarkan sebagai makhluk dengan motivasi manusia, dapat berpikir dan berbicara, atau benda alam seperti angin atau matahari.
Androsentrisme adalah sebuah pemahaman yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dari dunia. Lelaki dipahami sebagai patokan untuk memandang tentang dunia, tentang kebudayaan, dan tentang sejarah.
Sumber: Buku Feminist Thought karya Rosemarie Putnam Tong, Wikipedia, KBBI.
Penulis merupakan founder Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi). Saat ini tinggal di Jakarta.