Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- “Mas, jangan pingsan. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
Pandangan Gavin sudah kabur, tetapi dia masih bisa mendengar dengan jelas suara perempuan yang begitu lembut, menenangkan. Tubuhnya terangkat dengan mantap lalu dia dibaringkan ke kursi belakang mobil perempuan itu.
Perempuan itu berteriak memanggil perawat IGD segera setelah meghentikan mobil di depan pintu. Dua perawat datang membawa brankar dan menggendong Gavin agar dapat berbaring di brankar. Perempuan penyelamat itu menghilang, digantikan oleh perawat dan dokter yang memberi penanganan dengaan cekatan. (Dikutip dari buku “Perempuan Malam”).
**
Seorang lelaki melihat putra kesayangannya mengalami kecelakaan parah ketika belajar naik sepeda. Ia langsung membopong putranya ke dalam mobilnya dan dibawa ke rumah sakit agar segera mendapat pertolongan. Dengan bergegas ia membawa anaknya ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD).
“Mari, putera bapak kita bawa ke ruang operasi,” kata seorang perawat pada si lelaki yang membawa putranya yang mengalami kecelakaan parah itu.
“Oh… ya Allah … putraku, putraku tersayang!” seru seorang dokter, begitu melihat anak yang mengalami kecelakaan parah itu.
“Selamatkan dia!” seru si lelaki, ayah dari anak yang kecelakaan itu, dengan panik.
“Aku selalu jadi juru selamat!” sahut dokter bedah itu dengan mantap, sambil mempersiapkan proses operasi dengan cekatan. (Dikutip dari “Plato and a Platypus Walk into a Bar”)
***
Dari kedua penggalan cerita di atas, pada dasarnya ia memiliki inti yang sama, yakni memperbincangkan hadirnya perempuan penyelamat, yakni “perempuan malam” dan dokter bedah, yang tak lain adalah ibunya. Iya, kedua cerita di atas sama-sama membahas sosok perempuan.
Setelah membaca kedua cerita tersebut, terus terang, saya jadi merenung tentang peran signifikan perempuan. Ia mematahkan mitos yang menganggap dan menempatkan bahwa perempuan itu subjek yang harus dilindungi karena kerentanannya. Dan, kerap kali, justru hal yang tidak masuk akal di banyak kalangan lelaki bila ada perempuan yang tidak ingin ditempatkan sebagai subjek rentan.
Faktanya, dalam berbagai hal, peran perempuan lah yang justru melindungi dan menyelamatkan, baik secara psikis maupun fisik terhadap laki-laki.
Dus, mitos yang menghidup-hidupkan anggapan bahwa perempuan itu makhluk lemah inilah prinsip mendasar yang ditentang oleh para tokoh dari berbagai aliran feminisme yang ada, antara lain tentang aliran Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis dan Sosial, Feminisme Eksistensial, Feminisme Multikultural, dan Global.
Feminisme Liberal yang kelahirannya 27 April 1759 serta dimotori oleh Mary Wollstonecraft pada akhir abad ke-18 ini intinya memperjuangkan hak-hak perempuan agar punya hak setara dengan kaum lelaki di bidang politik, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, sehingga kaum perempuan tidak hanya terkurung di dalam rumah mengerjakan pekerjaan yang bersifat motherhood saja dan sekedar alat atau instrumen untuk kesenangan, kebahagian, dan kesempurnaan orang lain (kaum lelaki).
Wollstone berpendapat jika perempuan mempunyai kesempatan bekerja. Mereka punya peran penting dalam masyarakat. Sebagai contoh, kasus dokter bedah dalam “Joke Plato and a Platypus Walk into a Bar” di awal tadi. Dengan jelas perannya begitu penting, yaitu sebagai penyelamat baik dalam keluarga maupun masyarakat. Ya, selain sebagai dokter bedah perempuan itu, ia juga sudah barang tentu menjalankan tugas dan perannya mengerjakan pekerjaan rumah yang bersifat motherhood.
Bagaimana mungkin ia disebut makhluk lemah jika mampu melakukan peran multiganda?
Dipandang dari sudut aliran Feminisme Marxis dan Sosial, kaum perempuan dipandang sebagai makhluk lemah karena “dilemahkan” oleh struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat perempuan itu hidup.
Karenanya, untuk membebaskan diri dari kungkungan tersebut, setiap perempuan harus punya kesadaran dan keberanian untuk keluar dari kungkungan itu. Misal, jika seorang perempuan sejak kecil hanya diarahkan pada suatu pekerjaan kerumahtanggan, maka pekerjaan itu yang mempengaruhi sifat, minat, kebiasaan dan pola pikirnya.
Padahal perempuan punya hak yang sama, yaitu mendapat kesempatan merealisasikan potensi kemanusiannya secara penuh.
Pendapat feminis Mesir, Nawal El dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Wajah Telanjang Perempuan” menerangkan bahwa narasi berbunga-bunga “mengabaikan produktivitas perempuan yang bekerja di dalam rumah berarti mengabaikan sifat kemanusiaan” itu juga perlu dikritik.
Dan kritik narasi ini juga merupakan bagian dari suara keras yang didengungkan oleh para tokoh feminisme eksistensialis yang menentang anggapan bahwa perempuan itu memang ditakdirkan sebagai pekerja yang mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaan. Ini merupakan pekerjaan alamiah yang tidak perlu dihargai.
Karena menurut Nawal, anggapan ini merupakan rekaan budaya patriarki yang harus dikikis habis oleh kaum perempuan.
Iya, lebih dari itu, perempuan tak melulu terkekang dalam subjek kerumahtanggaan. Perempuan juga dapat, seperti yang diceritakan di atas, menjadi seorang penyelamat.
Karenanya, kesadaran dan edukasi kolektif perempuan menjadi penting untuk merubah paradigma patriarki yang usang tersebut. Dan pengubahan paradigma itu bisa dimulai dari edukasi diri kita dan lingkaran pertemanan kita.
Sudah siap mengubahnya?
Penulis merupakan mahasiswa di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Founder Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi).
Keren tulisannya dx