PIRAMIDA.ID- “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”
(Kisah Para Rasul 1:8)
Peristiwa kenaikan Yesus Kristus adalah momen krusial sekaligus kontroversial dalam tradisi kekristenan. Krusial karena momen kenaikan-Nya memastikan kuasa Roh Kudus memenuhi hati setiap orang percaya (Yoh. 16:7). Roh Kudus atau Penghibur berperan untuk mengajarkan dan mengingatkan murid-murid-Nya tentang ajaran dan teladan Yesus (Yoh. 14:26). Namun, kenaikan Yesus juga kontroversial karena mayoritas para teolog modern meragukan historisitas dari peristiwa ini.
Akibatnya, refleksi perihal kenaikan Yesus menjadi minim dan gersang karena terpental dari pergumulan ekonomi-politik, kebudayaan, dan problem sosial kontemporer. Sifat krusial dan kontroversialnya menempatkan peristiwa kenaikan Yesus dalam ketegangan teologis, etis, dan politis.
Pada akhirnya, korban dari ketegangan tersebut adalah umat Kristen sendiri. Apa signifikansi dari peristiwa kenaikan Yesus kala menghadapi dinamika politik di Indonesia yang bergerak nyaris tanpa ideologi? Apakah kenaikan Yesus masih relevan di hadapan krisis lingkungan yang kian menjadi-jadi? Apa implikasi praktis dari naiknya Yesus ke surga terhadap realitas human trafficking dan prostitusi online yang sedang marak terjadi? Ketika kekristenan gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kenaikan Yesus Kristus kehilangan signifikansinya dalam kontestasi ide di ruang publik untuk mewujudkan peran sebagai garam dunia (Mrk. 9:50).
Padahal, jika menilik kembali detik-detik kenaikan Yesus, Dia diperhadapkan dengan sebuah pertanyaan sederhana dari murid-Nya. Mereka bertanya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan (Yun. apokathistaneis: to restore to its former state ) kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6). Pertanyaan ini muncul bukan atas keresahan dari satu orang saja, melainkan keresahan kolektif dari semua orang yang hadir ketika itu. Pada masa itu, Imperium Romawi menjajah Israel.
Kemiskinan, represi, dan eksploitasi menjadi pemandangan sehari-hari bagi mereka. Realitas penindasan tersebut menyeret imajinasi mereka ke belakang, yaitu pada masa kerajaan Daud yang melimpah dengan kemuliaan dan kejayaan. Mereka merindukan kondisi kehidupan seperti di era Daud. Jadi, sebelum Yesus terangkat ke surga, mereka bertanya, “Sudikah Yesus untuk segera merestorasi Israel?”
Yesus tidak eksplisit menjawab pertanyaan mereka. Yesus berkata, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya,” (Kis. 1:7). Jawaban Yesus rasanya kurang memuaskan. Namun, Dia melanjutkan jawabannya, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi,” (1:8). Setelah mendengarnya, mereka pun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru (Mrk. 16:20).
Apa arti perkataan ini? Yesus memang menahan diri untuk menjawab kapan dan bagaimana Israel direstorasi. Namun, Yesus memberitahukan siapa aktor yang merestorasi Israel, yaitu para murid sendiri. Artinya, dengan memberi kuasa kepada para murid, Yesus memunculkan prinsip bahwa hanya mereka yang tertindaslah yang berkewajiban untuk membebaskan dirinya dari ketertindasan. Yesus menekankan bahwa para muridlah yang bertanggung jawab dalam proyek pemulihan Israel. Namun, walau terangkat ke surga, Yesus tidak meninggalkan mereka sendirian.
Sebaliknya, Yesus kian dekat dengan mereka karena Dia menurunkan Roh Kudus untuk memberi kuasa dalam memberitakan Injil ke seluruh dunia. Apakah Injil itu? Injil adalah kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, pembebasan orang-orang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 17–19). Para muridlah yang harus memulihkan keadaannya sendiri.
Relevansi kenaikan Yesus mulai mendapatkan titik terang. Ketika Yesus di bumi, tangan-Nya sendiri yang merestorasi dan mengimplementasikan Injil. Tongkat estafet kemudian berganti kepada para murid yang diperlengkapi oleh kuasa Roh Kudus sejak Yesus duduk di sebelah kanan Allah (Mrk. 19:19). Orang-orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus menjadi representasi kehadiran Yesus untuk memulihkan keadaan.
Jika mengamati kondisi Indonesia saat ini, tak berlebihan rasanya jika mengatakan bahwa kita pun sedang terjajah hingga kini. Dalam dunia politik, kita dijajah oleh kekosongan ide dan ilusi. Alih-alih mementaskan sayembara gagasan, tajuk politik kita disesaki oleh angka-angka elektabilitas dan survei. Dalam dunia ekonomi, kemiskinan sepertinya sudah menjadi kondisi alami.
Namun walau begitu, kemiskinan tersebut tidak rata terbagi. Pemberitaan media menunjukkan para pejabat kerap pamer harta tanpa sedikit pun bersimpati. Dunia pendidikan kita dijajah oleh birokrasi sehingga kesibukan dosen bukanlah mengajar dan meneliti, melainkan repot berurusan dengan matriks akreditasi. Nelangsa dunia pendidikan kian menjadi-jadi jika menengok animo mahasiswa yang lebih tertarik pada open BO daripada menjadi perpanjangan lidah rakyat untuk menyuarakan aspirasi.
Kehidupan beragama kita, hingga hari ini, belum bebas dari kungkungan intoleransi. Fenomena penutupan rumah ibadah dan sulitnya mengurus izin mendirikan bangunan untuk beribadah di beberapa tempat masih saja terjadi. Cengkeraman kuku industri kapitalisme kian menghunjam sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan karena alam habis-habisan dieksploitasi.
Berkenaan dengan hari kenaikan Yesus dalam konteks krisis multidimensi ini, Parisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) menyerukan kita harus segera melakukan pemulihan atau restorasi. Kenaikan Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa tanggung jawab pemulihan bukan terletak di pundak pemerintah semata. Dunia juga tidak akan lebih baik dengan duduk berpangku tangan dan berdoa sambil menanti kedatangan Sang Mesias kembali. Sebagai umat Kristen sekaligus warga negara, kita harus berpartisipasi aktif guna mengentaskan krisis multidimensi ini. Tanpa aksi nyata, restorasi hanya angan-angan belaka.
Namun, pertanyaannya kuncinya adalah apa aksi nyatanya? Jawabannya mungkin terdengar klise, yaitu memberitakan Injil. Setelah Yesus naik ke surga, para murid menerima kuasa dan segera pergi untuk memberitakan Injil. Hanya saja, memberitakan Injil bukan berarti sekadar mempersiapkan manusia untuk masuk surga.
Sebaliknya, Injil adalah sebuah imajinasi tentang menurunkan Kerajaan Surga ke bumi (Mat. 5:10). Injil merupakan kabar pendamaian antara manusia dengan Allah, alam, dan sesamanya (band. Kej. 3). Artinya, kita harus mengubah orientasi penginjilan. Tujuan penginjilan bukan lagi terletak pada aksi verbal semata dengan tumpuan pertanyaan, “Ke mana Anda setelah mati?” Melampaui pertanyaan tersebut, penginjilan harus mampu menjawab persoalan-persoalan struktural.
Ketika Yesus mengajarkan para murid-Nya berdoa, Dia menginginkan struktur Kerajaan Surga menggantikan struktur Kerajaan Romawi. Asumsi inilah yang menggerakkan Yesus mengatakan, “…datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Dengan kata lain, tugas pemberitaan Injil menjadi tugas semua orang percaya pada semua bidang kehidupan, seperti, politik, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Kekristenan harus merestorasi bidang-bidang kehidupan tersebut agar selaras dengan prinsip-prinsip Kerajaan Allah.
Peristiwa kenaikan Yesus merupakan titik legitimasi teologis kekristenan dalam mewujudkan tanggung jawab etis-politisnya di ruang publik, yaitu memulihkan keadaan. Tongkat estafet untuk merestorasi kenyataan telah berpindah dari Yesus kepada orang percaya ketika Dia telah naik ke surga. Yesus menganugerahi murid-murid-Nya kuasa Roh Kudus untuk memberi kesaksian tentang teladan hidup dan pelayanan-Nya. Dalam Manifesto Politik-Nya, menurut catatan Lukas, Yesus mendeklarasikan bahwa ciri praksis dari kuasa Roh Kudus adalah mengusahakan pembebasan dengan menghapuskan segala bentuk penindasan (Luk. 4:18–19). Inilah pesan Injil yang sejati. Selamat memperingati hari kenaikan Tuhan Yesus Kristus!(*)