Hizkia Ronaldus Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Hubungan siswa dan guru di suatu sekolah tercipta dengan adanya interaksi dalam bentuk proses belajar mengajar, di mana guru yang melakukan dan/atau memberi pembelajaran sedangkan siswa adalah penerima pembelajaran.
Terciptanya interaksi dalam belajar mengajar tidak hanya antara guru dan siswa, namun ada bebarapa komponen-komponen yang menciptakan serta mendukung keberlangsungan proses belajar mengajar tersebut, salah satu komponen tersebut adalah evaluasi pembelajaran.
Arifin (2013:5) mengemukakan bahwa pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari pada sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka mengambil suatu keputusan. Dari itu maka evaluasi terjadi tidak hanya sekali namun akan dilakukan terus menerus selama proses tersebut terjadi.
Hasil evaluasi tersebut juga tidak menjadi kesimpulan yang mutlak yang dijadikan suatu kesimpulan namun sebagai bahan acuan dalam proses belajar mengajar selanjutnya, seperti yang dikatakan oleh Whrighstone (dalam Febriani, R: 2019) mengemukakan rumusan pendidikan sebagai berikut, “Educational evaluation is theestimation of the growth and progress of pupils toward obiectives of valuesin the cuticulum” ‘(Evaluasi Pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemaiuan Peserta didik ke arah berbagai tujuan atau nilai yang tetah ditetapkan dalam kurikulum)’.
Dengan evaluasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan proses pembelajaran dan tujuan pembelajaran. Dengan evaluasi tersebut maka ketika seluruh proses pembelajaran yang dirumuskan dalam suatu kurikulum dengan kompetensi yang telah tetapkan maka ujian akhir sekolah seperti apakah yang ingin diketahui dan dilihat?
Dengan konsep evaluasi pemebelajaran tersebut barang tentu evaluasi di akhir jenjang sekolah tidak menjadi sesuatu hal yang wajib dan menjadi penentu yang sering kita sebut sebagai kelulusan sekolah. Ketuntasan seorang siswa dalam pembelajaran bahwa ia telah melalui seluruh rangkai kompetensi yang telah di rumuskan untuk suatu jenjang.
Jika melihat ketercapaian dan pelaksanaan proses pembelajaran dengan kompetensi yang telah di rumuskan, tidak memiliki batas suatu kultur dan budaya. Kultur dan budaya adalah menjadi suatu pendukung dalam ketercapaian kompetensi tersebut.
Penyeragaman kultur dan budaya tersebutlah yang tidak boleh dilakukan, tetapi dengan keberagaman kultur dan budaya itulah yang membuat proses belajar mengajar akan memiliki cirinya tanpa mengenyampingkan ketercapaian dari kompetensi yang telah dirumuskan.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Matematika Universitas HKBP Nommensen.