Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Berkaca pada sejarah bangsa dahulu, pendidikan digunakan sebagai alat perjuangan para pahlawan bangsa, seperti Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Dr.Soetomo, Sutan Syahrir dan masih banyak lainnya, untuk mengusir para penjajah Belanda dan Jepang. Pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan suatu bangsa, pendidikan pula formula paling ampuh untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan atau biasa disebut humanisme.
Maka dari itu, jika ingin melihat majunya suatu bangsa lihatlah pendidikannya. Dan jika ingin melihat bangsa yang mengimplementasikan hasil dari pendidikan, lihatlah rakyatnya yang memiliki kesadaran sosial.
Syarat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan biaya pendidikan yang terjangkau bagi seluruh golongan ekonomi masyarakat. Bahkan jika perlu, biaya pendidikan gratis. Hal ini tertera di Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat 1-2 Amandemen yang mengatakan:
1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan
2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai.
Artinya, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, baik itu dari pendidikan dasar ataupun sampai pada perguruan tinggi. Pada ayat 1 sudah sangat jelas bahwa warga negara ‘berhak’ mendapatkan pendidikan. Entah itu dari golongan ekonomi bawah ataupun menengah ke atas. Pada ayat 2 pula sudah sangat jelas bahwa pemerintah lah yang membiayai pendidikan warga negara.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini sangatlah ambyar rasanya bagi penulis, karena jika ada yang mengatakan bahwa hak warga negara mendapat pendidikan sudah sepenuhnya dipenuhi oleh negara.
Fenomena Partisipasi Pendidikan Naik Tapi Jutaan Anak Indonesia Masih Putus Sekolah
Angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia disebut meningkat tiap tahunnya. Di sisi lain, total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada di kisaran 4,5 juta anak. Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak.
Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah, sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332.
Namun walau demikian, pendidikan pun menghasilkan sifat dualisme, yaitu kebaikan dan keburukan.
Kini penulis beranggapan bahwa pendidikan telah dialihfungsikan menjadi wadah oleh sebagian orang yang berkuasa untuk menipu dan melanggengkan penjajahan gaya baru dengan dalih industrialisasi atau perkembangan zaman.
Pertanyaan fundamentalnya: apakah pendidikan dewasa ini menghantarkan sebuah konsep kemanusiaan atau memanusiakan manusia dan alam?
Semestinya, kurikulum pendidikan berisi tentang ekologi atau lingkungan, kepedulian antar sesama manusia, dan ujungnya menghantarkan peserta didik untuk mengenal hakikat sebuah kehidupan. Dengan demikian, lahirlah sebuah konsep kehidupan yang mencintai antar makhluk hidup.
Pendidikan dewasa ini hadir dan dipertontonkan hanya untuk melanggengkan status quo para pemegang kekuasaan dan praktek-praktek kapitalis. Bahkan, para mahasiswa jauh-jauh hari pola pikirnya sudah didoktrin untuk menjadi pekerja industri dari sebuah sistem kapitalisme. Efek dari doktrin itu, pola pikir mahasiswa tidak lagi berdaulat atas pikirannya sendiri.
Dan bukan hanya itu, pendidikan dewasa ini sangat sedikit memberikan ruang-ruang untuk berpikir kritis tentang jalannya sebuah realitas kehidupan. Penulis beranggapan bahwa hal ini disebabkan adanya suatu pola terselubung yang dibangun oleh pihak institusi pendidikan bahwa sekolah itu yah, hanya menyangkut persoalan uang, kemudian mendapatkan izasahsebagai tanda bukti kelulusan, kemudian mencari pekerjaan.
Lebih lanjut, matinya pendidikan yang tidak memanusiakan manusia itu karena adanya ketidakberanian dari pemerintah Indonesia untuk menjadi bangsa mandiri dan berdaulat. Koherensi dari pernyataan ini disebabkan pemerintah terlalu bergantung dengan negara adidaya. Mau tidak mau, dari segi politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan pemerintah mengikuti kehendak dari negara adidaya.
Alih-alih sekadar berani menjadi negara mandiri dan berdaulat, pemerintah malah diam-diam bersekongkol dengan oligarki untuk mempertahankan status quo. Dengan melihat persoalan ini, sudah seharusnya kita paham dan mengerti, bahwa tugas pemerintah bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan menciderai akal sehat anak bangsa demi memperlancar kapitalisme.
Nur Sayid Santoso Kristeva dalam bukunya Sejarah Ideologi Dunia menjelaskan, bila semakin penting suatu modal, peranan negara menjadi tereduksi, bahkan berpotensi hilang sama sekali. Negara hanya sekadar menjadi aktor pelengkap saja dalam drama ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang dijalankan oleh para kapitalis.
Sesuai dengan pernyataan John Kenneth Galbraith di dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme Amerika. Dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Adapun hubungan korporasi modern dan negara inilah yang didasarkan pada distribusi kekuasaan dan keuntungan. Sebagaimana hubungan itu berkembang antara korporasi modern dan birokrasi publik kapitalis yang membangun institusi swasta dan lapangan pekerjaan, negara yang membuat regulasi.
Dengan begitu, negara di sini melepas tanggung jawabnya atau bisa disebut sebagai budak dari para kapitalisme. Sebab, negara bekerja atas perintah kapitalis, bukan atas perintah diri sendiri atau bahkan rakyat.
Melihat persoalan semacam ini, saya ingin memperjelas lagi serta menutup tulisan ini, bahwa pendidikan yang seharusnya menghantarkan pada proses humanisme, malah diputarbalikkan menjadi dehumanisasi.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi.