PIRAMIDA.ID- Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada 2016 mengeluarkan pernyataan pastoral PGI tentang LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, dan queer), yang ditujukan kepada seluruh pimpinan gereja anggota PGI.
Hal ini terkait dengan maraknya aksi kekerasan dan diskriminasi yang dialami kelompok ini di masyarakat, termasuk yang terjadi di dalam gereja.
Surat pastoral PGI ini menekankan pentingnya menghormati setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, dan tidak melakukan kekerasan maupun diskrimasi terhadap kelompok LGBTIQ yang dianggap berbeda dengan orang pada umumnya.
Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, Jeirry Sumampow, mengatakan bahwa PGI melalui surat pastoral itu merekomendasikan agar para pemimpin gereja mempertimbangkan hasil penelitian di bidang kedokteran dan psikiatri terkait LGBTIQ, dengan tidak mengkategorikannya sebagai penyakit atau penyimpangan mental, serta sebuah kejahatan.
Jeirry mengingatkan agar gereja mulai membuka diri dan menerima keberadaan kelompok LGBTIQ, sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dihormati. Sikap ini penting, agar tidak ada lagi aksi kekerasan, penindasan, dan diskiminasi yang dialami kelompok ini, termasuk yang merupakan warga gereja.
“Jadi posisi PGI waktu itu memang ingin supaya kekerasan, penindasan ini berhenti. Dan bagaimana gereja-gereja membuka diri untuk menerima kelompok LGBT ini dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gereja, tidak sekedar sebetulnya dilayani, tapi juga ikut dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gereja,” kata Jeirry Sumampow.
Jeirry Sumampow mengatakan, surat pastoral PGI memang memunculkan pro kontra di kalangan gereja anggota PGI, namun tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan sikap dan ajaran gereja terkait LGBTIQ. Gereja justru diajak untuk mulai mendalami masalah ini lebih lanjut dengan melakukan sejumlah kajian.
“Setiap gereja itu bisa mengambil sikap dan posisinya sendiri, berdasarkan kajian teologis dan kajian-kajian yang mereka lakukan. Jadi, gereja-gereja memang bisa berbeda sikap dengan apa yang sudah disampaikan oleh PGI ketika itu. Ini terkait memang dengan struktur dan posisi kelembagaan PGI, dalam hubungan dengan gereja-gereja. Otoritas sepenuhnya memang masih ada di tangan gereja-gereja sendiri, apalagi berkaitan dengan teologi dan ajaran,” imbuh Jeirry.
Surat Pastoral PGI Dipuji
Meilanny Risamasu, salah seorang pendeta gereja anggota PGI, menilai surat pastoral PGI sebagai langkah awal yang baik bagi gereja untuk mulai mendengarkan dan menyuarakan suara kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan, termasuk suara kelompok LGBTIQ. Sudah saatnya gereja membuka ruang untuk mengatasi masalah-masalah berkaitan dengan kelompok yang dimarginalkan.
“Buat saya pribadi itu menjadi pijakan yang membuka ruang, bahwa ada kesempatan suara-suara mereka yang selama ini dimarginalkan itu, naik ke permukaan. Itu saja dulu. Naik ke permukaan dalam arti, mereka selama ini memang dibuat tenggelam, mereka ini sesama kita, manusia ciptaan Tuhan yang ada hidup bersama-sama dengan kita, tapi suara mereka, hak-hak mereka ditenggelamkan. Dan saya pikir gereja bisa berangkat dari situ,” ungkap Meilanny Risamasu.
Pendeta Stephen Suleeman, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mengatakan pembicaraan mengenai isu seksualitas sudah menjadi perhatian dewan gereja dunia, sejak sidang raya di New Delhi, India, pada 1963, dan berlanjut pada sidang raya di Kanada pada 1985.
Selain isu seksualitas, kehadiran perempuan dalam pelayanan gereja juga menjadi perhatian. Isu-isu itu terus menjadi pembahasan pada sidang raya di Busan, Korea Selatan, dan dalam sidang raya di Jerman pada 2022 nanti diharapkan akan disahkan dokumen terkait sikap keberpihakan gereja dunia beserta anggotanya terhadap kelompok LGBTIQ.
Surat Pastoral PGI Bukan Untuk Melawan Hukum di Indonesia
Surat pastoral PGI yang diterbitkan pada 2016 lalu, kata Stephen, tentu saja tidak diterima oleh semua anggota PGI. Ini karena masih adanya pandangan yang mengaitkan isu ini dengan perkawinan sesama jenis. Stephen mengatakan, bahwa gereja tidak akan berlawanan dengan hukum di Indonesia mengenai perkawinan, namun membuka diri untuk menerima keberadaan kelompok LGBTIQ sebagai sesama manusia dan menciptakan gereja sebagai ruang yang aman bagi siapa saja.
“Sebetulnya, penolakan terhadap LGBTIQ ini umumnya adalah disebabkan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin gereja tentang perkembangan yang terjadi di dunia psikologi psikiatri. Di kalangan psikologi psikiatri, para ahli jiwa sudah menemukan bahwa LGBTIQ itu bukanlah sebuah penyakit jiwa, bukanlah sebuah kelainan, ini adalah sekedar varian dalam seksualitas manusia,” ujar Stephen Suleeman.
Pendeta Gereja Komunitas Anugerah, Suarbudaya Rahadian, mengajak semua orang termasuk para pemimpin Gereja untuk mau terlibat dan berinteraksi secara langsung dengan kelompok LGBTIQ, dan memahami apa yang kelompok ini rasakan serta alami. Tafsir teologi, kata Suarbudaya Rahadian, akan terus berkembang seiring zaman, namun perjumpaan secara langsung antar manusia jauh lebih penting untuk mengikis persepsi dan perilaku yang mendiskriminasikan sesama manusia lain akibat kurangnya pemahaman.
“Orang bisa disuguhi berbagai tafsir alternatif, berbagai buku teologi yang kompleks, dan boleh kata ditulis oleh profesor-profesor Biblika yang hebat-hebat. Tapi menurut saya, tanpa pengalaman langsung, interaksi, berbagi, dan sama-sama merengkuh kerapuhan, dan mengakui bahwa kita tidak mengerti dan tidak paham, kita tidak mungkin bisa memahami, kita tidak mungkin bisa berempati, apalagi sampai dalam tahap menerima. Perjumpaan yang tulus, yang jujur, terutama dengan yang kita anggap berbeda, itu menjadi modal dasar untuk kita mengerti,” terang Suarbudaya Rahadian.
Belum ada data resmi soal jumlah LGBTIQ yang mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan oleh umat beragama, khususnya di gereja. Hal ini diduga karena banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya atau menyelesaikannya secara diam-diam.(*)
VOA Indonesia.