Oleh: Faesa Raud Atfal*
PIRAMIDA.ID- Eksistensi fenomena manusia silver di sudut kota-kota besar semakin menjamur, sehingga belakangan ini menjadi peristiwa yang telah berhasil menyita atensi dari berbagai kalangan.
Fenomena manusia silver sangat memprihatinkan, sebab di salah satu daerah, seorang ibu sampai hati menjadikan anak kandungnya yang masih berusia 10 bulan sebagai alat untuk mengemis dengan melumuri bayi tersebut dengan cat silver.
Hal tersebut dilakukan guna memelas belas kasihan orang lain agar mereka iba lalu memberikan uang kepadanya. Walaupun demikian, tak jarang juga dari manusia silver yang merupakan orang dewasa bahkan remaja yang kondisi tubuhnya masih sehat bugar dan mampu untuk bekerja, bukan mengemis seperti itu, bahkan banyak pula anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan oleh orang tuanya sebagai manusia silver untuk mengemis di jalanan.
Di balik fenomena manusia silver ini, terdapat beragam faktor yang memicu mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan, antara lain karena dilatarbelakangi oleh faktor kesulitan ekonomi, faktor urbanisasi, hingga faktor ketidakberdayaan. Terdapat empat gambaran problematika yang menjadi penyebab utama lahirnya manusia silver, yakni akibat dari kemiskinan di mana hal ini menjadi faktor dominan sehingga seseorang terpaksa mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selanjutnya masalah pendidikan, pada umumnya tingkat pendidikan manusia silver yang mengemis ini relatif rendah. Selain itu juga masalah keterampilan kerja turut mendorong mereka untuk mengemis, sebab pada umumnya mereka kurang memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan pasar serta tuntutan pasar kerja.
Kemudian masalah sosial budaya juga turut menjadi faktor pendorong pengemis, yakni dengan adanya mental pengemis atau gelandangan, rendahnya harga diri, sikap apatis terhadap nasib hidup menjadikan mereka enggan untuk berusaha mencari pekerjaan yang lebih layak.
Dengan beragam kontroversi yang muncul akibat fenomena manusia silver yang merebak, tentunya mengundang pro dan kontra dalam memandang polemik sosial yang kerap muncul pada masyarakat urban ini. Terdapat sejumlah pihak yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai manusia silver dinilai sebagai pekerja seni jalanan.
Padahal jika diperhatikan, aksi manusia silver di jalanan hanyalah sebatas aksi berdiri di tengah lampu merah dan memperagakan diri menjadi patung silver, tidak ada atraksi lainnya yang bernilai seni.
Di samping itu, terdapat beragam implikasi negatif terhadap pekerjaan sebagai manusia silver, seperti mendapat cibiran, terasingkan/dimarginalisasikan, mengganggu ketertiban umum dan keindahan kota serta mendapat razia. Hal ini menuai kontra terhadap manusia silver, karena citra pengemis yang didapatkan dari manusia silver ini menimbulkan masalah sosial di dalam masyarakat.
Selain itu juga mengecat sekujur tubuh dengan cat seperti pada manusia silver memiliki risiko yang berbahaya. Itu karena cat yang biasa digunakan pada manusia silver adalah pewarna tekstil. Tentunya pewarna tekstil ini tidak aman digunakan untuk kulit manusia, sehingga dapat menimbulkan dampak-dampak buruk bagi kesehatan, antara lain kulit dapat mengalami iritasi seperti bintil-bintil, kemerahan, hingga rasa gatal. Pada reaksi yang berat bahkan bisa timbul lepuh dan kematian jaringan kulit.
Tidak hanya itu, jika cat digunakan di bagian-bagian tubuh yang rentan seperti mata, hidung, dan bibir, bisa menyebabkan efek terbakar, mudah masuk ke peredaran darah, hingga beresiko masuk ke saluran pernapasan yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru. Efek jangka panjang penggunaan cat silver ini dipengaruhi oleh zat yang bersifat teratogenik pada cat yang bisa menyebabkan kanker kulit.
Bersandarkan pada perspektif sosiologi hukum yang melihat bahwa adanya hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial yang dalam potret yang ada sebagian besar dari mereka melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga masalah sosial seperti ini merupakan bahan evaluasi bagi pemerintah untuk meminimalisir para pengemis manusia silver yang marak terjadi di sejumlah wilayah.
Solusi yang dapat meminimalisir pengemis adalah memberikan bantuan berupa modal usaha, mendirikan organisasi yang dapat membantu mereka seperti rumah baca sehingga mereka mampu berpikir lebih baik sehingga tidak melakukan pekerjaan mengemis. Dan dapat memberikan pendidikan keterampilan agar dapat menunjang skill pekerjaan mereka.
Berkaitan dengan regulasi pemerintah terhadap manusia silver ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial yang berisi tentang penanganan gelandangan dan pengemis dengan maksud agar tidak ada lagi pengemis.
Pemerintah akan melakukan langkah-langkah preventif, koersif dan rehabilitatif demi mensejahterakan kehidupan pengemis dengan memberikan pelatihan khusus agar mempunyai motivasi untuk berjuang hidup, tidak mengandalkan belas kasih orang lain, namun dengan melakukan sesuatu seperti bekerja.
Pemerintah juga memberikan sanksi bagi siapa saja yang masih berbelas kasih memberikan uang kepada pengemis. Hal ini dilakukan pemerintah untuk memberikan efek putus asa bagi pengemis agar berhenti mengemis dan mengikuti program pelatihan khusus yang di sediakan oleh pemerintah guna bertahan hidup.
Meskipun telah diinisiasi kebijakan dari pemerintah mengenai penertiban manusia silver ini, akan tetapi akibat kurang terealisasikannya regulasi pemerintah tersebut membuat manusia silver tetap menjalankan aksinya di jalanan.
Oleh karena itu, pemerintah dan pihak lain perlu bersinergi mendukung kebijakan-kebijakan yang berlaku agar fenomena manusia silver dapat teratasi.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Jember Prodi Sosiologi yang sedang mengikuti Program Kemendikbud Pertukaran Pelajar di Univeristas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).