Pra Noto*
PIRAMIDA.ID- “La jebulane grusa grusu, keburu nafsu. Wekasane montang manting, ragate akeh, aku dewe kang kebanting” (Ah ternyata, tergesa-gesa terburu nafsu. Akhirnya pontang-panting biaya banyak. Aku sendiri yang rugi).
Demikianlah sepenggal bait akhir dari lirik lagu Kelinci Ucul, ciptaan Alm Ki Narto Sabdo.
Raja Dalang Nusantara itu tentu saja menitipkan sebuah pesan tersembunyi yang multitafsir. Berbagai penafsiran mungkin dapat dikerucutkan pada 1 titik, yakni jati diri.
Bahwa nafsu tidak akan hilang dari diri manusia, ia akan terus liar bagai kelinci yang lepas di hutan. Sebagian besar menuduh nafsu selalu membawa malapetaka, padahal tanpa nafsu, gairah hidup akan hampa.
Tidaklah sia-sia apa yang diciptakan-Nya, begitupun nafsu.
Hanya saja, pengembaraan manusia memang dipenuhi dinamika yang membuatnya akan terus bergulat dengan kenyataan dan harapan.
Ki Narto Sabdo begitu arif dalam menyampaikan gagasan intelektualnya; bahwa dengan sikap waspada, manusia dapat menemui kesejatian dalam pengembaraannya di dunia. Bukankah kita kerap kali lebih mengedepankan keinginan lahiriah?
Segala daya upaya kita lakukan demi mewujudkannya, bahkan terkadang melalui jalan pintas yang kemudian kita anggap menjadi sebuah “kepantasan”. Keinginan berlebihan itulah yang pada akhirnya membuat jiwa seseorang menemui kebingungan, kegelisahan, merasa kehilangan, dan cenderung materialistis.
Kajian kritis Ki Narto Sabdo dalam lagu ini masih relevan dengan apa yang terjadi dalam pembangunan kultur masyarakat modern kini. Kebanyakan dari informasi perlahan menjerumuskan manusia ke dalam lembah kebingungan. Alih-alih informasi itu bermanfaat, ia justru kian menuntun seseorang menuju kegelapan.
Sejatinya, manusia adalah makhluk yang tersesat, maka ia sangat membutuhkan petunjuk cahaya dalam hatinya. Ini penting, agar manusia eling lan waspodo (ingat dan waspada) terhadap perjanjian dirinya dengan Tuhan-nya. Puncaknya, proses pencarian diri atas petunjuk cahaya firman, akan menghidarkan manusia dari kerugian.
Almarhum Ki Narto Sabdo, pria Jawa kelahiran 25 Agustus 1925, adalah seorang dalang terbaik yang pernah dimiliki bumi nusantara, di mana ia tak lupa juga ‘menciptakan ‘seniman-seniman wayang kulit terbaik yang kini mewarisinya, yakni sosok Ki Manteb Sudarsono.
Bahwa esensi seni dan musik bukan berhenti pada hiburan semata, melainkan apakah penciptanya dan penikmatnya dapat saling berdialektika dan berdiskusi dalam hanyut alunan musik dan syair.
Penulis merupakan praktisi hukum. Memiliki minat dalam jurnalistik dan tema kebudayaan.