Lestari Simanjuntak*
PIRAMIDA.ID- Akhir-akhir ini saya senang mendengar podcast; yaitu siaran non-streaming yang disampaikan melalui audio. Mirip seperti radio, bedanya itu harus diunduh dulu sehingga bisa didengarkan berulang-ulang dan konten-kontennya menarik. Satu lagi, podcaster-nya juga harus menyenangkan.
Dari salah satu akun podcaster, saya tertarik salah satu topik yang mengulas tentang “Peta Usia Kehidupan Manusia”. Isi topik ini menjelaskan bagaimana keadaan finansial dari manusia menurut rentang usianya dari 20 sampai 50 tahun.
Saya yang masih hidup di lingkungan saat ini, sebenarnya belum terlalu mempersoalkan fase dari tahapan usia seseorang dalam kehidupannya. Yang penting harus bekerja, kecuali tuntutan untuk segera menikah jika sudah tepat usianya – menurut mereka.
Kutipan dalam “Buku Sukses Finansial Lewat Astrologi dan Peta Kehidupan” oleh I. Ophelia mengatakan bahwa melalui peta kehidupan tergambar tiga faktor penting yang menentukan sebuah kesuksesan finansial, yaitu:
- Luck, Hoki, atau Keberuntungan;
- Ambisi/ Drive/ Disiplin;
- Intelektualitas.
Pemetaan usia di sini adalah menyinggung tentang bagaimana seyogianya sikap manusia menyikapi kehidupan yang dijalaninya di rentang usia yang dilewati menuju finansial yang matang dan mandiri.
Sejak usia manusia baru dilahirkan hingga berumur 20 tahun adalah saat-saat di mana orangtua dan lingkungan sekitarnya memperkenalkan hal-hal yang baik dan buruk, yang memungkinkan bakal terjadi atau tidak.
Masa di mana manusia masih butuh arahan dan dampingan termasuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Jika saat ini sudah sangat banyak anak-anak yang sudah bisa mendapatkan uang sendiri melalui karya-karya yang dituntut oleh zaman, bukanlah berarti menjadi patokan dapat dikatakan mandiri. Karena jika tidak didampingi kemungkinan besar akan tidak tertata dengan baik.
Di usia 20-an adalah masa belajar (benar-benar belajar). Dimulai dari pendalaman pengetahuan, pengenalan tentang kejadian-kejadian di dunia, melakukan segala pekerjaan yang semampunya dengan sendiri hingga pengenalan jati diri.
Aaron Smith, seorang CEO di sebuah perusahaan fitness dan pilates yang sudah khatam soal kegagalan, berpendapat bahwa, baginya usia 20-an adalah masa-masa krusial, yang mengharuskan untuk bersikap egois akan semua hal yang diinginkan.
Fase ini adalah masa agar kita berjuang dan mengorbankan segala hal untuk mencapainya, selagi masih muda dan belum berkeluarga.
Yang menarik adalah di usia ini meski sudah memiliki pekerjaan tetap, jangan pernah batasi diri untuk berpindah karir jika yang saat ini memang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipertahankan. Artinya, lebih banyak gagal lebih banyak pengalaman.
Kemudian menjajaki usia 30-an adalah fase di mana kita melakukan banyak evaluasi jalan hidup dan melakukan perubahan atau disebut juga “audit kehidupan”. Mulai memantapkan diri untuk membuat pilihan di bidang yang mana mumpuni kemampuan diri untuk digeluti dan disenangi.
Pada abad ke-20, psikolog Harvard, William James mengatakan bahwa, setelah berusia 30 tahun, kepribadiannya ‘seperti plester’. James percaya bahwa kepribadian cenderung menstabilkan sikap dewasa.
Pada dasarnya tujuan manusia adalah untuk bahagia di sepanjang hidupnya, namun jika manusia lebih menyadari bahwa di usia inilah manusia memulai saat bahagia dalam hidupnya, yaitu benar-benar mengenal dirinya dan apa yang seharusnya dilakukannya. Sehingga yang terjadi adalah finansial mulai dipupuk dengan baik.
Lalu di usia 40-an menuju 50-an adalah bagian manusia bersikap lebih realistis. Suatu puncak yang sudah diwujud-nyatakan melalui usaha-usaha yang dilakukan di rentang usia sebelumnya.
Terlepas itu benar-benar berhasil ataupun biasa saja, namun rasa kepuasan itu akan timbul secara sendirinya karena segala cara sudah dilakukan. Finansial akan menjadi yang paling utama, baik untuk perbaikan diri sendiri dan keluarga maupun keturunan di masa depan. Dan rentan untuk bersosial.
Jonathan Rauch, seorang peneliti di Brookings Institution di Washington menemukan jika otak manusia mengalami perubahan saat semakin menua, yaitu setiap kali otak akan semakin mengurangi fokus terhadap ambisi dan menambah fokus pada keterhubungan dengan manusia lain.
Raunch berargumen jika tidak semua orang melalui siklus yang sama, karena faktor penyakit, pengangguran, atau perceraian. Namun manusia harus menghargai kesempatan yang tercipta dengan memahami dan mengalahkan logika yang berseberangan.
Secara garis besar bahwa teori tentang pemetaan ini bukan menjadi tuntutan bagi manusia untuk egois dalam memahami pemenuhan finansial di dalam hidupnya, namun sebagai acuan bahwa kadang manusia terlena akan dunia yang diciptakannya sendiri sehingga lalai memantapkan dirinya di masa depan.
Saya sendiri saat ini sudah di usia 20-an dan beberapa tahun ke depan akan menginjak usia 30-an. Jika semesta mengizinkan, sudilah kiranya masih mempersilakan saya untuk belajar lebih keras lagi, sehingga nyatalah nantinya bahwa secara finansial saya mampu berdiri sendiri. Kembali lagi, lebih banyak gagal lebih banyak pengalaman, bukan?
Kalau teman-teman, bagaimana?
Penulis merupakan pegiat sosial dan tenaga pendidik.
Editor: Red/Hen