Oleh: Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya, saya diakui lewat anugerah itu sebagai Pelestari Opera Batak.
Untuk menerima Anugerah Kebudayaan itu saya ke Jakarta, didampingi istri dan ibu. Ibu saya “sponsor kecil” selama saya bolak-balik ke Tarutung untuk revitalisasi Opera Batak. Jadi wajar saja ikut mendampingi ke Jakarta waktu penyerahan anugerah itu di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), meskipun pihak Kemdikbud hanya menanggung transportasi, akomodasi, dan harian. Penyerahan anugerah berlangsung pada akhir Oktober 2016.
Sebelum ke Jakarta tim verifikator datang ke Siantar, ke sekretariat ketiga Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di sekitar Bahbolon Kiri. Mereka melakukan wawancara dan pengambilan gambar untuk tayangan di acara penyerahan anugerah. Mereka juga ke Laguboti melakukan hal yang serupa ke Pusat Parmalim Hutatinggi yang juga menerima anugerah di kategori Komunitas. Penerimaan Anugerah Komunitas Parmalim diwakili oleh Monang Naipospos.
Proses pengajuan untuk menjadi penerima anugerah saya lakukan setelah dua Maestro Opera Batak sudah mangkat. Zulkaidah Harahap mangkat pada 2013 sebelum pertama kali Opera Batak ke Jerman. Alister Nainggolan mangkat pada 2014 dan sempat ikut ke Jerman dengan dua anaknya. Kedua anaknya itu termasuk pewaris semangat Alister Nainggolan untuk Opera Batak.
Zulkaidah Harahap hampir tanpa pewaris semangat Opera Batak. Namun ada salah satu anaknya ingin seperti beliau menjadi maestro. Di pesta-pesta adat anak Zulkaidah itu bermain musik sesuai permintaan.
Zulkaidah Harahap sebagai maestro Opera Batak sejak bergabung bersama Alister Nainggolan. Keduanya saya ajukan pada 2007 dan langsung dikunjungi tim verifikasi dari Jakarta; Mbak Pudentia Mpss (Ketua ATL Pusat) dan Kenedi Nurhan (Wartawan Harian Kompas). Alister Nainggolan diwawancarai di Medan. Sedangkan Zulkaidah kami jumpai ke tempat tinggalnya di Tiga Dolok. Waktu itu Zulkaidah masih punya warung jualan di depan gudang KUD. Kadang beliau jualan tuak dan suaminya bermarga Gultom dulu ketemu melalui aktivitas Opera Batak di Tapanuli Selatan.
Tahun 2009 penghargaan diterima Zulkaidah Harahap untuk kedua kalinya. Namun dana tahunan hibah untuk Maestro dari Kemdikbud RI tetap berdasarkan SK 2007. Penghargaan tahun 2009 dihadiri langsung ke Jakarta. Sedangkan penghargaan bersama Alister Nainggolan tanpa acara penyerahan ke Jakarta.
Saya mengangkat telepon dari salah satu staf di Kemdikbud sebelum kabar 2009 ketahuan kemudian. Saya ditanyai tentang keluarga Tilhang Gultom sebagai pewaris. Saya bercerita agak keras sejak revitalisasi Opera Batak dilakukan di Tarutung tahun 2002 hingga memberikan rekomendasi nama Tilhang Gultom berbeda dengan gaya penciptaan lagu Nahum Situmorang. Penghargaan dilakukan kepada kedua tokoh itu.
Setelah PLOt beroperasi di Siantar pada 2015 saya berusaha menjumpai keturunan Tilhang Gultom di Tiga Dolok dan berharap dapat terlibat melalui PLOt untuk melanjutkan program revitalisasi Opera Batak. Namun respons yang saya terima tidak mendukung dan mengingat satu pernyataan kalau revitalisasi itu bukan tanggung jawab mereka. Saya pulang dari Tiga Dolok agak galau sambil mengendarai sepeda motor.
Saya menganggap keturunan Tilhang Gultom adalah pewaris Opera Batak. Namun melalui komunikasi lewat telepon tahun 2009 dengan staf Kemdikbud itu saya mempertanyakan pewarisan Opera Batak itu.
Setelah Zulkaidah Harahap untuk kedua kalinya menerima penghargaan Opera Batak, PLOt juga memberikan gelar khusus kepada kedua maestro. Untuk Zulkaidah PLOt memberikan gelar: Nai Angkola Soripada Tuan Boru Parungutungut Namangunghal Opera Batak. Penyerahan resmi gelar itu bersamaan dengan penancapan plank dekat halaman rumahnya di Tiga Dolok, bersamaan dengan kenduri untuk mensyukuri penghargaan kedua.
Dalam kenduri itu perwakilan Pemkab Simalungun hadir, selain penduduk sekitar yang turut bergembira atas pengakuan kemaestroan Zulkaidah Harahap. Keturunan Tilhang Gultom juga akhir hadir meskipun sebelumnya ada keberatan atas penghargaan yang diterima Zulkaidah Harahap. Putri Angkola itu memang termasuk pewaris semangat Opera Batak yang ditularkan Tilhang Gultom. Namun saya semakin yakin bahwa para pewaris Opera Batak itu dalam perkembangannya tidak bersifat kekeluargaan saja.
Protes di atas panggung akhirnya semakin ketara dari keturunan Gultom. Penduduk yang hadir tampaknya sudah mengetahui hubungan Zulkaidah dengan keturunan Tilhang Gultom. Gelagat mau ribut di acara kenduri akhir saya atasi dengan meminta mikrofon kembali dari juru bicara keturunan Tilhang Gultom. Kemudian saya menceritakan proses awal revitalisasi di Tarutung hingga PLOt gencar melanjutkan program itu serta melakukan apresiasi kepada para pemain Opera Batak terdahulu.
Di atas panggung acara kenduri itu saya akhirnya meminta surat ucapan terima kasih kepada PLOt agar dilakukan karena Opera Batak sudah dikenal kembali di luar usaha keluarga. Harapan itu saya sampaikan kepada keturunan karena dasar apresiasi kepada kemaestroan Zulkaidah Harahap adalah keterlibatan dalam misi dan visi PLOt.
Kalau klaim pewarisan Opera Batak bersifat keluarga mestinya surat ucapan terima kasih itu dapat juga dilakukan oleh keturunan Tilhang Gultom. Pewaris-pewaris Opera Batak di luar sifat kekeluargaan tidak sekedar hanya melihat satu sosok dalam perjalanan sejarah Opera Batak itu.
Ketika tawaran untuk ide pendirian Tilhang Opera House muncul lebih kurang tiga tahun lalu saya kurang bersedia terlibat karena fokus PLOt ingin sebuah “Gedung Opera Batak” yang tidak hanya mengapresiasi satu tokoh saja. Karena Opera Batak itu tidak muncul dari semangat satu tokoh saja hingga dikenal baik oleh masyarakat pendukung dan penonton-objektifnya.(*)
Penulis merupakan budayawan dan Direktur di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).