Ados Aleksander Sianturi*
PIRAMIDA.ID- “Ada hantu berkeliaran di Eropa – hantu Komunisme.” Begitulah seruan awal manifesto Partai Komunis yang digagas oleh Karl Marx dan Engels.
Komunisme adalah ideologi revolusi yang menuntut pembebasan kaum buruh (proletar) dari segala bentuk penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh kaum-kaum pemilik modal yang berkuasa (borjuis).
Kaum borjuis mempekerjakan para pekerja (proletar) di pabrik industri yang berisikan mesinzmesin “peringan tangan” para pekerja.
Betul memang, mesin-mesin pada industri tersebut membantu meringankan pekerjaan para pekerja dan cukup mengedukasi para pekerja tentang majunya teknologi perindustrian yang sudah ada pada saat itu. Tetapi bukan itu masalahnya.
Kaum borjuis melakukan tindakan yang semena-mena kepada kaum pekerja seperti pemberian upah yang tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan, penghapusan tatanan hidup lama masyarakat, membiarkan para pekerja mati kelaparan, demi kepuasan kaum borjuis terhadap kekuasaan dan kapital yang melimpah.
Singkatnya, kaum borjuis memanfaatkan tenaga banyak orang demi kepuasan pribadi melalui industri dengan hak milik perseorangan. Tak bisa dipungkiri semua peristiwa tersebut melahirkan revolusi proletariat yang luar biasa. Penghapusan milik perseorangan menjadi ikhtisar perjuangan mereka.
Siapa sangka “hantu komunisme” tersebut sampai ke Indonesia dan menjadi salah satu pilar penting dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah saat itu.
Komunisme bisa dikatakan sangat relevan dengan situasi Indonesia saat itu walau ada sedikit perbedaan ciri penindasan dengan penindasan di Eropa.
Jika di Eropa kaum-kaum buruh ditindas di industri kaum borjuis, di Indonesia masyarakat ditindas oleh kolonialisme. Sangat banyak cara komunisme untuk masuk dan “berkiprah” di Indonesia.
Salah satunya, yaitu banyaknya pemuda bangsa yang bersekolah di luar Indonesia, seperti Belanda, Rusia dan kembali ke tanah air dengan membawa pemikiran komunisme.
Ideologi komunisme cukup banyak melahirkan pemikir-pemikir jenius saat itu. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya masyarakat Indonesia terjun dan mendalami ideologi komunis. Saat itu angkanya mencapai jutaan orang.
Komunisme telah menjadi ideologi brilian bagi penganutnya yang bergerak dalam salah satu lembaga politik pergerakan yang bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka, D.N Aidit, Njoto, Semaoen menjadi tokoh-tokoh penting dalam pergerakan ini.
Partai Komunis Indonesia ini sempat mencapai puncak kejayaannya setelah puluhan tahun bergerak di bawah tanah. Kejayaan PKI dimulai pada tahun 1924 hingga tahun 1965.
Masa-masa itu PKI bagaikan sedang di atas langit walaupun banyak sekali rintangan yang dihadapi. Kejayaan tersebut ditandai dengan banyaknya pemuda yang tertarik dan bergabung di dalamnya dan berhasilnya PKI menghimpun kaum buruh dan tani untuk satu suara menegakkan revolusi.
Selain itu, kejayaan PKI juga terlihat pada berhasilnya PKI menyandang status sebagai partai ke-4 pemenang pemilu pada tahun 1955 dan berhasil mendapatkan kursi-kursi pemerintahan.
Tapi nasib “buruk” menimpa PKI saat itu. PKI yang semula berjuang menuju “jalan damai” harus tersesat dalam beberapa pemberontakan, seperti Pemberontakan Madiun 1948 hingga yang lebih keji, yaitu GESTOK atau yang lebih familiar disebut G30/PKI.
G30S/PKI menumpas para nasionalis, yaitu jenderal-jenderal besar yang dianggap menentang kemauannya sekaligus untuk melancarkan kudetanya.
Akan tetapi hal ini sampai sekarang masih menimbulkan konspirasi mengingat banyaknya versi-versi terkait peristiwa ini di dalam negeri maupun dari luar negeri.
Ada yang mengatakan bahwa ini adalah upaya PKI untuk mengkudeta kekuasaan Sukarno, ada yang mengatakan gerakan ini adalah konsep Amerika yang anti-komunis untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno melalui PKI, hingga versi bahwa Soeharto lah “biang keladi” dari semua ini dengan cara mengkambing hitamkan PKI.
12 Maret 1966 menjadi hari sial bagi PKI karena PKI dibubarkan oleh Soeharto yang katanya mendapat mandat dari Ir. Soekarno yang sudah menjabat sebagai presiden kala itu. Hingga akhirnya PKI menyandang status partai terlarang. Hal inilah yang menjadi awal mula dari phobia ini.
Stigma terhadap komunisme ditempah sedemikian rupa menjadi suatu hal yang sangat menyeramkan. Bahkan yang tidak tahu menahu mengenai komunisme pun seketika ketar-ketir saat mendengar kata ini. Komunisme yang notabenenya merupakan suatu ideologi berubah menjadi momok yang luar biasa menakutkan.
Stigma yang digiring Orde Baru mengenai komunisme yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat menurut penulis ada beberapa, yaitu:
1.Komunisme adalah ideologi yang ingin menggantikan ideologi Pancasila;
2.Komunisme identik dengan kekerasan dan kekejian;
3.Komunisme adalah ideologi yang tidak mengakui adanya Tuhan;
4.Penganut Komunisme adalah orang-orang yang tak berperikemanusiaan.
Dengan dalil Supersemar yang hingga kini belum terbukti keabsahannya itu, Soeharto berhasil menyingkirkan Presiden Soekarno.
Desukarnoisasi kelihatannya menjadi salah satu proker utama dalam rezim Soeharto yang dikenal dengan Rezim Orde Baru (Orba). Segala hal yang berbau marxisme, komunisme, Soekarno, dan ajaran-ajarannya berhasil ditumpas habis dengan menyebarkan ketakutan dan stigma yang sangat negatif ditujukan kepada rakyat banyak.
Sebelumnya pembantaian berjilid-jilid yang sangat tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan telah dilancarkan oleh Soeharto terhadap PKI dan simpatisan PKI. Penyiksaan, penembakan hingga pemenggalan terhadap PKI, simpatisan PKI, hingga warga biasa yang belum tentu jadi PKI. Mereka jadi korban program kerja pembersihan Komunis ini.
Sebagian sejarawan sepakat bahwa setidaknya korban pembantaian ini mencapai angka setengah juta orang. Mulai dari Jawa, Sumatera, hingga ke daerah Bali menjadi objek pembantaian ini.
Pembantaian ini membuat warga Indonesia mengalami traumatik yang luar biasa. Semuanya menjadi murung dan enggan terkena percikan ideologi komunis karena tak mau mati kena bantai.
Berhasil dengan pembantaian tak menyurutkan semangat Soeharto yang pada saat itu telah menjadi orang nomor 1 di republik ini untuk membersihkan komunisme hingga keakar-akarnya, yaitu dengan cara pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C. Noer yang diproduseri oleh G. Dwipayana.
Film ini meraih kesuksesan secara komersial. Tak hanya itu film propaganda ini juga sangat sukses menyebarkan ketakutan terhadap komunis oleh siapa yang menontonnya terlebih kepada penonton yang sebelumnya tidak tahu menahu soal PKI.
Bagaikan menyelam sambil minum air, selain menyebar ketakutan yang berlebih terhadap komunis dan PKI, Soeharto juga berhasil melakukan desukarnoisasi. Tulisan, brosur atau apapun yang berkaitan dengan Sukarno ditumpas habis oleh Soeharto. Entah apa yang dipikirkan beliau ini.
Kita memang pantas marah kepada PKI jika memang betul-betul terlibat dalam G30S/PKI karena sudah membunuh dengan kejam 10 jenderal yang sekarang kita sebut dengan pahlawan revolusi, akan tetapi kita harus lebih marah jika kemudian ratusan ribu manusia dibunuh dengan lebih sangat keji alih-alih untuk membela revolusi.
Layak kita akui orde baru adalah era yang sangat mumpuni dalam melakukan stigmatisasi akan komunisme ini. Akan tetapi zaman telah berlalu, di era modern ini ketakutan akan komunisme ini hendaknya dikurangi dan memandang ideologi komunisme dari perspektif yang berbeda. Bukan dari sudut pandang yang itu itu saja. Kita harus bisa bangkit dari masa lalu beranjak ke pembenahan masa depan.
Bagaimana pun peristiwa yang berkaitan dengan komunisme telah terjadi. Sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi untuk ditakuti melainkan sesuatu yang harus digali dan dipelajari kembali.
Guna keberlanjutan sebuah cerita yang bermanfaat dan sebagai alat analisa polemik yang terjadi di negara ini.
Dewasa ini isu kebangkitan komunisme sering digoreng guna kepentingan politik. Sangat tak logis lagi jika kita terus mengkambing-hitamkan komunisme dengan berbagai macam stigmanya hingga kita lupa masalah lain yang nyata sudah ada di depan mata, yaitu merebahnya paham liberalisme dan sekularisme.
Paham ini sudah sangat akrab dengan kehidupan kita dan tanpa kita sadari akan menggerus jati diri bangsa kita. Agaknya kita lebih memfokuskan diri terhadap bahaya yang ditimbulkan hal ini daripada terus meneriakkan bahaya komunisme yang nyatanya sudah mati.
Phobia akan komunisme adalah produk orde baru yang begitu laris hingga kini. Akan tetapi produk tersebut sepertinya sudah kedaluarsa dan sudah selayaknya kita terangsang untuk mempelajari sedikit banyak komunisme secara akademis tanpa bermaksud untuk menggantikan ideologi Pancasila.
Tetaplah bela Pancasila selagi masih merasa warga Indonesia. Jangan takabur dan terlena saat melihat keriah riuhan bangsa lain. Patrikan nasionalisme dalam sanubari dan nyatakan sikap patriotisme dalam diri. Cintai bangsa ini dan jangan sekali-sekali melupakan sejarah.(*)
Penulis merupakan seorang mahasiswa Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi. Anggota GMNI Cabang Jambi.