PIRAMIDA.ID- “Aku bermimpi di mana pada suatu hari nanti keempat anakku akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulitnya tetapi berdasarkan karakter.”
Siang itu, 28 Agustus 1963, seorang aktivis dan pendeta bernama Martin Luther King Jr. membakar 250 ribu orang yang berkumpul di depan Lincoln Memorial. “I have a dream”, demikian pidato itu diingat, menjadi salah satu pidato paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat.
Dalam pidatonya, King berbicara mengenai pengangguran, masalah rasial, serta keadilan sosial. Dengan suara menggetarkan, Luther King Jr. menyuarakan hak-hak Sipil, kesetaraan antara kulit putih dan kulit berwarna, serta pencabutan undang-undang dan kebijakan yang mendukung segregasi berdasarkan ras.
Terinspirasi oleh pidato Gettysburg Lincoln pada 1863, yang menekankan kesetaraan dan kemerdekaan, King menekankan bahwa kondisi kulit hitam tak mengalami perubahan setelah Amerika berjalan selama satu abad semenjak Perang Sipil berakhir.
Hingga kini rasisme masih menjadi masalah akut di Amerika Serikat. Orang kulit hitam rentan dikriminalisasi. Pada 2013 para aktivis kulit hitam mengorganisasi gerakan Black Lives Matter guna berkampanye menolak kekerasan aparat terhadap orang kulit hitam.
Sejarah diskriminasi Amerika tak bisa dilepaskan dari perbudakan dan Perang Sipil yang meletus pada 1861 sampai 1865. Perang itu melibatkan wilayah selatan dan utara, Union melawan Konfederasi, antara pihak yang menolak perbudakan dan memberlakukan perbudakan.
Wilayah Selatan kalah, tetapi memberlakukan segregasi ketat di berbagai fasilitas publik, mulai dari pendidikan, transportasi umum, hingga toilet. Orang kulit putih dan kulit berwarna (termasuk kulit hitam) dilarang memakai toilet yang sama, duduk ke kelas yang sama, bahkan minum di tempat yang sama. Lebih dari itu, di wilayah selatan, orang kulit hitam dan berwarna tak punya hak untuk mencoblos dalam pemilu.
Membela Kulit Hitam dan Buruh
Jauh sebelum pidato di Lincoln memorial, King dikenal sebagai pembela warga kulit hitam. Lahir di Atlanta, Georgia, pada 15 Januari 1929 King dibesarkan dengan konsep “memperlakukan semua orang dengan baik” dan menolak bentuk diskriminasi rasial. Georgia, tempat kelahiran King, merupakan negara bagian pendukung perbudakan pada era Perang Sipil. Undang-undang segregasi juga berlaku hingga tahun 1960-an.
Pada 1955 King memimpin aksi boikot terhadap kebijakan bus yang memisahkan kulit putih dan hitam. Kasus bermula ketika Rosa Parks ditahan polisi di Montgomery karena duduk di bangku untuk kulit putih.
Boikot berlangsung selama 381 hari tanpa kekerasan. Pada 1956 boikot berhasil mendesak Mahkamah Agung menganulir kebijakan pemisahan bus di Montgomery dan menyebutnya “inkonstitusional”.
Delapan tahun berselang, King kembali turun ke jalan. Kali ini rombongan King menuju Birmingham, Alabama. Ia ditangkap aparat dan dijebloskan penjara. Meski demikian, hukuman penjara itu malah memberinya sorotan yang lebih besar: penjara menjadi tempat untuk King melakukan kampanye hak-hak sipil.
Tak sebatas membicarakan isu rasial kulit hitam dan hak sipil, King juga getol bicara tentang gerakan buruh. Menurut Thomas Sugrue, profesor sejarah dan sosiologi Universitas Pennsylvania, serikat buruh merupakan sekutu penting dalam upaya kesetaraan rasial di Amerika, bahkan sejak zaman Perang Sipil.
Dalam pidatonya saat konvensi nasional Federasi Buruh dan Kongres Organisasi Industri Amerika (AFL-CIO) pada 11 Desember 1961, King menyatakan sudah saatnya warga kulit hitam mendapatkan upah layak, kondisi kerja adil, perumahan pantas huni, jaminan usia tua, asuransi kesehatan dan kesejahteraan, serta kondisi di mana keluarga dapat tumbuh, menjamin pendidikan untuk anak-anak mereka, dan memperoleh rasa hormat di masyarakat.
Pidato King di Lincoln Memorial menjadi salah satu momentum paling penting dalam perjuangan warga kulit hitam.
Improvisasi yang Melegenda dan Kematian Tragis
Dalam Behind the Dream (2013), penulis pidato King, Clarence B. Jones, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi mengenai persiapan pidato di Lincoln Memorial. Sebelum pidato dilaksanakan, pada Selasa 27 Agustus 1963 King mengadakan pertemuan dengan anggotanya di Hotel Willard. Agendanya ialah memoles naskah pidato untuk kali terakhir.
Keesokan paginya, naskah pidato selesai dan salinannya dikirimkan ke pers untuk disebarluaskan. Saat King maju ke podium dan membacakan naskah, semua tampak sesuai rencana. Barisan kata yang dirumuskan malam sebelumnya keluar tanpa kurang.
Namun, ketika sampai di paragraf tujuh, sesuatu luar biasa terjadi. King berhenti sejenak. Di belakangnya, Mahalia Jackson, seorang penyanyi gospel dan teman baik King, memintanya untuk bertutur tentang mimpi besar dan cita-cta. Seketika King mengabaikan naskah bikinan Jones, dan mulai berimprovisasi. Dari situlah lahir petikan “I Have a Dream” yang monumental.
Setengah abad lebih pidato King berlalu. Meski sudah berumur panjang, pidato di Lincoln Memorial tersebut masih relevan untuk kondisi saat ini. Sebuah jejak pendapat yang digelar oleh para periset Universitas Wisconsin-Madison dan Universitas Texas menyebutkan, sebanyak 137 ilmuwan mendefinisikan pidato King adalah pidato terbesar abad ke-20.
Selain itu, pidato King turut membawa inspirasi bagi gerakan demokrasi di negara-negara lain. Para demonstran di Lapangan Tiananmen, Cina menggunakan kalimat “I Have a Dream” sebagai salah satu atributnya untuk menggugah kesadaran pemerintah. Sedangkan di tembok Tepi Barat, Israel tulisan serupa tergores dengan gagahnya.
Namun demikian, rasisme terhadap kulit hitam masih ada. Sebulan setelah momentum Lincoln Memorial, kelompok supremasi kulit putih meledakkan gereja di Birmingham dan menewaskan empat orang. Publik dibuat geram oleh tindakan teror tersebut.
Tak lama kemudian, Kongres Amerika mensahkan Undang-Undang Hak Sipil 1964 yang menghapus pemisahan fasilitas publik bagi kulit putih dan kulit hitam. Pada tahun yang sama, King menerima Nobel Perdamaian.
Belum lama peristiwa Brimingham terjadi, kerusuhan pecah di Selma ketika para demonstran yang berjumlah 30.000 menuntut adanya hak voting bagi warga kulit hitam. King yang memimpin demonstrasi tersebut menuntut peningkatan partisipasi politik bagi kulit hitam di Selma.
Tuntutan di Selma mendorong Kongres mensahkan Undang-Undang Hak Voting yang menghapus banyak hambatan partisipasi politik bagi warga kulit hitam.
Usaha King terpaksa berakhir dengan tragis. Memphis menjadi saksi bagaimana King tewas ditembak seorang suprematis kulit putih bernama James Earl Ray pada 4 April 1968, tepat hari ini 51 tahun lalu. Kematian King mengakibatkan kerusuhan terjadi di seluruh negeri. Warga kulit hitam kehilangan salah satu juru bicaranya yang paling hebat.*)
Ditulis oleh Faisal Irfani, Wartawan Tirto.id