Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Ke mana kita kini bisa mencari elite yang punya gagasan? Sebab, tanpa elite yang cerdas, kepemimpinan kita defisit terobosan. Kini, semua menjalankan pikiran dan gagasan impor yang tak cocok digunakan sebagai solusi bangsa ini. Terlebih elite kita kini baru gagasan dan pikirannya blusukan, bimbang dan utang saja.
Padahal, kepemimpinan tanpa gagasan bagaikan tubuh tanpa tulang. Gagasan itulah penegak manusia, penopang sebuah bangsa, mantapnya bumi manusia, terangnya anak semua bangsa, pendar listrik rumah kaca plus jejak langkah negara. Kita lihat Einstein, misalnya. Dengan kecerdasan temuan Teori Relativitasnya, manusia jadi mudah mendiami planet ini.
Ada juga Sartre, Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, Sukarno, Che Guevara, Winston Churcill, John F. Kennedy, Rudyard Kipling, Hemingway, Mark Twain, Pablo Neruda, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer. Kesemua hidup dan menghidupi peradaban dengan gagasan-gagasan dan pikiran-pikirannya. Kini, kita sulit menemukan orang-orang yang berpikir seperti mereka. Bahaya.
“Sebab… yang paling berbahaya dari seorang manusia bukanlah jabatan atau posisinya, melainkan pikiran-pikirannya.”
Kini. Mari bicara gagasan ekonomi Pancasila. Ini soal lama tapi urgen. Gagasan ini adalah konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Ke kanan artinya bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri artinya mengalami intervensi negara dalam bentuk perencanaan terpusat.
Secara sederhana, Ekonomi Pancasila dapat disebut sebagai sebuah sistem ekonomi pasar terkelola dengan pengendalian pemerintah atau “ekonomi pasar berkeadilan.” Istilah lain yang mendekati pengertiannya adalah sistem ekonomi campuran, maksudnya campuran antara sistem kapitalisme dan sosialisme atau sistem ekonomi jalan ketiga. Singkatnya jalan ekonomi pancasila adalah jalan keadilan, pemerataan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama bergotong-royong.
Karenanya, tanpa menggurui pada kalian, izinkan saya mengulang kembali gagasan dan praktek kesalahan-kesalahan rezim Orba dan Neo-orba yang membuat pondasi liberalisme dan neoliberalisme. Rezim yang menyembah pasar penghasil dependensia (ketergantungan) dan ketimpangan (tidak mandiri).
Kita tahu bahwa teori ekonomi dependensia pertama kali dicetuskan Paul Baran. Dalam buku On The Political Economy Of Backwardness (1952), Baran menjelaskan berbagai faktor penyebab keterbelakangan ekonomi di negara postkolonial, terutama di Amerika Latin. Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat, elit internal dan investor asing, Baran melihat adanya kontradiksi antara imperialisme, proses industrialisasi dan ekonomi pembangunan umum di negara postkolonial tersebut.
Baran mengakui bahwa investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dari negara penjajah (MNC) di negara terjajah di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan nasional, namun di sisi lain peningkatan pendapatan di negara postkolonial tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat miskin tersebut karena tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Keuntungan yang dihasilkan oleh investasi perusahaan multinasional melalui eksploitasi sumber daya alam dan manusia (SDA&SDM) di negara postkolonial tidak dinikmati secara merata. Keuntungan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik saja. Baran menyimpulkan bahwa pada dasarnya “investasi asing tidak meningkatkan kesejahteraan negara postkolonial.” Yang terjadi hanya perubahan kebiasaan sosial rakyat miskin serta perubahan orientasi dari kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri menjadi orientasi produksi untuk memenuhi pasar luar negeri.
Singkatnya, liberalisme dan kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin, tetapi sangat berhasil menstabilisasi semua ketimpangan ekonomi dan sosial yang melekat dalam sistem kapitalis negara postkolonial. Jika sudah begitu, kepada siapa gagasan ini bisa disampaikan? Pada presidenkah sebagai pemimpin negara dan bangsa ini? Atau pada siapa? Putus asa aku kini. Terlebih dengan situasi yang terus memburuk. Belum terlihat seberkas cahaya di esok hari.
Kini. Mari sedikit serius. Arsitektur Ekopol Konstitusi itu tujuh: 1)Roadmap eko konstitusi (UU Perekonomian Nasional); 2)Sistem penganggaran; 3)Keuangan negara;
4)Pendapatan negara; 5)Belanja negara; 6)Pembiyayaan defisit dan hibah; 7)Struktur Kementrian/Lenbaga.
Tetapi, subnya ada 7 yaitu: 1)Membuat ulang Big Data; 2)Merekonstruksi e-ktp sebagai alat lacak dan konfigurasi; 3)Nasionalisasi SDA dan BUMN strategis; 4)Merevitalisasi Koperasi; 5)Kurs tetap; 6)Transformasi shadow economic; 7)Pajak super progresif.
Kawan, masih ingatkah dengan dialog-dialog kita menjelang pilwakot Solo kedua dulu? Saat kita bersumpah atas nama Pancasila dan rakyat miskin sepertimu untuk merubah struktur ekonomi warisan rezim begundal dan pesolek?
Engkau sudah lupa dan mencampakkannya rupanya. Kau panggil ratu rentenir untuk jadi begundal baru. Bukan memimpin sendiri tugas konstitusional itu.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre.