PIRAMIDA.ID- Ketua Kalyanamitra, Listyowati, mengatakan di masa pandemi Covid-19 sekarang ini perempuan dililit begitu banyak keterbatasan, tidak saja dalam ruang publik, tetapi juga domestik. Merujuk pada pelaksanaan Pilkada yang akan dilangsungkan 9 Desember mendatang, perempuan diperkirakan tidak akan bisa memainkan peran secara maksimal, baik sebagai pemilih, maupun calon yang akan bertarung.
Sebagai pemilih, perempuan memiliki keterbatasan akses informasi mengenai proses pilkada karena lebih banyak berada di rumah dan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Walhasil perempuan mungkin tidak akan datang ke TPS dan berpotensi kehilangan suara.
Sementara sebagai calon yang akan dipilih dalam pilkada, lanjut Listyowati, perempuan akan menghadapi masalah berupa kekurangan modal atau anggaran, kurangnya penguatan kapasitas karena keterbatasan akses informasi, waktu, dan tenaga; serta lemahnya dukungan dari partai politik yang mendukungnya dengan alasan pandemi Covid-19. Ini membuat calon perempuan berkurang atau bahkan tidak ada.
Dalam diskusi bertajuk “Akses Perempuan di Pilkada 2020” yang dilangsungkan di Jakarta, Rabu (22/7), diketahui bahwa dampak pandemi terhadap pilkada itu diperkirakan membuat pemenuhan hak-hak perempuan dan penyelesaian isu perempuan akan terhambat, sementara tingkat partisipasi perempuan rendah.
Banyak Faktor Yang Menyurutkan Langkah Perempuan di Dunia Politik
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara Ardiles Mario Rivelino Mewoh mengatakan hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam proses politik dan pemilihan umum adalah hak dasar. Hak-hak ini diakui dalam instrumen hukum regional dan internasional.
Selain itu perempuan berhak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan.
Kaum hawa juga berhak berpartisipasi dalam lembaga swadaya masyarakat dan perkumpulan yang peduli terhadap kehidupan bermasyarakat dan politik di semua negara.
“Sangat penting bahwa memang perempuan dan laki-laki itu secara penuh dan aktif dalam proses pengambilan keputusan politik. Jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan, tidak menanggapi suara perempuan, dan membatasi hak-hak perempuan, sesungguhnya demokrasi itu hanya separuh warganya,” kata Ardiles.
Menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan persentase perempuan dalam politik kecil. Antara lain karena memang jumlah perempuan yang aktif atau peduli politik lebih sedikit dibanding laki-laki karena menilai politik sebagai dunia yang keras. Juga stereotip bahwa perempuan merupakan penanggungjawab utama urusan rumah tangga, tidak percaya diri dan kurang membuka diri pada dunia luar.
Hal lain yang ikut menyurutkan persentase perempuan dalam politik adalah karena sistem pemilu, peran organisasi dan partai politik, serta nilai budaya.
Ardiles menekankan Undang-undang Pilkada belum sepenuhnya mengadopsi tindakan khusus untuk mendorong keterlibatan perempuan secara lebih intensif dalam politik.
Dia mencontohkan belum ada pengaturan soal pengurangan syarat minimal dukungan untuk calon perseorangan perempuan dalam pemilihan kepala daerah, atau pengurangan minimal jumlah kursi bagi partai politik atau gabungan partai politik buat mengajukan calon perempuan.
Survei Kompas: 90,4% Warga Setuju Perempuan Masuk dalam Dunia Politik
Hasil survei yang dilakukan tim Litbang Kompas pada 2018 menunjukkan persepsi masyarakat luas semakin baik dengan makin meningkatnya kehadiran perempuan dalam kontestasi pilkada. Sebanyak 74 persen masyarakat setuju perempuan menjadi pemimpin. Bahkan 90,4 persen masyarakat setuju perempuan masuk dalam dunia politik.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah Zatriawati mengakui wabah Covid-19 saat ini terjadi akan menghambat keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan dan pengawasan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilangsungkan pada 9 Desember mendatang.
Pemilihan kepala daerah tahun ini akan dilaksanakan di 270 wilayah yang meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Menurut Zatriawati, jumlah pengawas perempuan dalam pemilihan kepala daerah 2020 lebih sedikit ketimbang pengawas lelaki. Dari 7.593 calon pengawas Pilkada 2020 yang lolos seleksi administrasi, perempuan hanya berjumlah 1.209 orang (16 persen). Dari jumlah 2.107 anggota Bawaslu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, terdapat hanya 362 perempuan.
Untuk di Sulawesi tengah, lanjut Zatriawati, dari 81.927 anggota Pengawas Pemilihan Umum (panwaslu di tingkat desa atau kelurahan, yang berkelamin perempuan sebanyak 25.675 orang (31 persen).
“Berdasarkan latar belakang pekerjaan, ternyata ibu rumah tangga berada di level 12 persen menjadi bagian dari penyelenggara pengawas pemilihan umum. Yang paling tinggi karyawan atau honorer (27,14 persen). Kemudian di level kedua ada petani (18,52 persen),” kata Zatriawati.
Sumber: VOA Indonesia/Fathiyah Wardah