Priadi Pasaribu*
PIRAMIDA.ID- Demokrasi merupakan sebuah konsensus bangsa ini. Di mana kekuasaan besar berada di tangan rakyat dan rakyat juga ikut andil dalam menentukan arah jalannya pemerintahan guna membangun suatu susunan masyarakat yang lebih baik.
Pemilu sebagai anak dari demokrasi, harus dipraktikkan dan terus dijalankan sesuai dengan UU yang berlaku.
Sejatinya pemilu merupakan pesta rakyat. Dengan pemilu, kita dapat memilih siapa yang berhak dan tidak pantas memimpin ke depannya. Dengan kata lain pemilu harus dilaksanakan penuh gembira, damai dan sukacita.
Meskipun pemilu kali ini menuai pro dan kontra, melalui banyak pertimbangan dan diskusi panjang, pemerintah akhirnya menyetujui akan melanjutkan pilkada. Pilkada serentak ini akan dilaksanakan pada tanggal 09 Desember 2020.
Diikuti oleh 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di seluruh Indonesia, termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Hembusan angin Pilkada Kab. Humbang Hasundutan (Humbahas) semakin kencang dengan atmosfer berbeda membawa rasa yang berbeda pula di masyarakat. Setidaknya ada dua fenomena berbeda yang akan disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat Humbahas yang berbeda dengan pelaksanaan pilkada sebelumnya.
Pertama, fenomena Kotak Kosong
Lazimnya, pemilu selalu diikuti oleh dua atau lebih kandidat yang akan saling berkompetisi. Akhir dari kontestasi politik ini akan melahirkan pemenang yang pada akhirnya akan menduduki sebuah jabatan. Namun ada juga fenomena pemilu yang unik, yang hanya diikuti satu pasangan calon saja alias tunggal. Sehingga yang berkompetisi bukan human vs human melainkan human vs kolom kosong.
Kejadian ini memang jarang terjadi tapi bisa dijumpai di sejumlah daerah di Indonesia. Dan kali ini masyarakat di Humbang Hasundutan berkesempatan merasakannya.
Pilkada Humbahas kali ini hanya diikuti satu pasangan calon. Seorang petahana, yaitu Dosmar Banjarnahor-Oloan Nababan, mereka berhasil memborong banyak parpol bahkan mendapat dukungan dari partai politik oposisi.
Rentetan fakta tersebut menandakan bahwa demokrasi yang terjadi sudah mengalami kemunduran. Bahwa partai-partai yang ada tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi kader-kader yang siap berlaga. Kebuntuan di internal partai merupakan kerusakan demokrasi sebab partai politik merupakan tiang dari tegaknya demokrasi.
Bisa jadi ini sarat akan kepentingan elit atau kepentingan partai saja. Rakyat sepertinya akan dinina-bobokkan dan diyakinkan bahwa yang pantas memimpin hanya satu orang saja, satu golongan saja atau satu calon saja, yang lain tidak. Sehingga partai beramai-ramai mendukung satu paslon saja.
Alasan lain yang menyebabkan terciptanya calon tunggal, kuat dugaan adalah ketakutan dukungan. Terlebih ini merupakan calon petahana yang memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Kepopuleran petahana di mata masyarakat menjadi alasan logis seorang calon (lawan) tidak berani untuk maju.
Namun, masyarakat Humbahas masih memiliki jalan lain ketika pemimpin yang ditawarkan tidak pantas untuk dipilih. Masyarakat dengan hak pilihnya bisa untuk memilih kotak kosong atau kolom kosong. Tidak perlu merasa takut karena ini dihalalkan dalam UU untuk menjamin hak konstitusional dalam menentukan pilihannya.
Kedua, fenomena Covid-19
Selain itu, suasana Pilkada Humbahas tidak hanya begitu saja. Kondisi ruang publik kita sekarang sudah berbeda dengan dengan suasana pilkada sebelumnya. Sebab kita sedang dihadapkan dengan kenyataan pandemi Covid-19 yang secara terang-terangan mengubah seluruh pola gerak hidup manusia. Termasuk mempengaruhi sendi-sendi pemilu kita.
Pendemi ini telah mengubah pola pelaksanaan pilkada. Seperti, tidak diperkenankan membuat kerumunan, memakai masker, menjaga jarak dengan orang lain hingga harus mencuci tangan sebelum dan sesudah masuk ke bilik suara. Semuanya telah mengalami perubahan dari pilkada sebelumnya.
Pandemi ini juga berpotensi besar merusak demokrasi manakala masyarakat enggan untuk berpartisipasi. Jika partisipasi sedikit maka demokrasi yang dibangun juga akan melemah. Karena partisipasi menjadi fundamental dalam membentuk demokrasi.
Tentunya masyarakat memiliki ketakutan untuk meyukseskan pilkada ini. Resiko besar dan nyawa menjadi taruhannya. Khawatir bisa terinfeksi virus Covid-19 dan dapat menimbulkan klaster baru.
Maka pemerintah harus bisa menyakinkan bahwa pilkada ini tidak membahayakan nyawa masyarakat. Memberikan regulasi yang jelas dan aman, menyediakan prasarana yang mendukung.
Kepemimpinan yang ideal
Melihat fenomena tersebut, maka penulis berharap masyarakat benar-benar mengerti arti dari memilih seorang pemimpin. Sehingga benar-benar peduli dengan suara yang akan diberikan di TPS nanti. Hak yang kita berikan melalui sistem pemilu akan menentukan bagaimana kondisi kita kedepannya. Aman atau tidak, adil atau tidak dan sejahtera atau tidak.
Maka ada beberapa kriteria seorang pemimpin ideal yang dapat mayarakat jadikan sebagai sebuah acuan untuk memilih seorang calon itu layak atau tidak.
(1) Kapasitas. Berbicara tentang kemampuan verbal atau intelegensi seorang pemimpin;
(2) Prestasi. Mempunyai pengetahuan yang mumpuni menjadi syarat wajib untuk memimpin;
(3) Tanggung jawab. Bagaimana pun seorang pemimpin harus bertanggung jawab menuntaskan tugas dan kewajibannya;
(4) Partisipasi. Dan pada akhirnya seorang pemimpin dituntut untuk turun ke masyarakat, melihat kondisi real sehingga melihat masalah secara objektif bukan hanya subjektif.
Dengan memperhatikan model kepemimpinan tersebut, masyarakat yang akan menyongsong pilkada dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik.
Mengingat setiap pilihan yang dipilih memiliki konsekuensinya, baik mencoblos calon tunggal maupun memilih menusuk kolom kosong.
Jadi semoga masyarakat Humbahas semakin sadar akan hal itu sehingga bertanggung jawab dalam memberikan pilihannya.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Jambi.