PIRAMIDA.ID- Pilkada tanggal 9 Desember 2020 mungkin berlangsung masih di tengah pandemi virus corona. Begitu pula tahapannya, seperti kampanye yang tentu saja hanya bisa diselenggarakan secara terbatas. Bagi kandidat, situasi ini tentu saja tidak menguntungkan untuk meraup dukungan publik secara luas.
Internet menjadi solusi menghadapi situasi sulit ini. Iklan media daring dan media sosial kemungkinan akan mengalami peningkatan cukup signifikan. Begitu pula peran pembentuk opini, yang biasa disebut sebagai buzzer atau influencer.
Titi Anggraini dari Perludem menilai, keterlibatan buzzer maupun influencer tidak menjadi masalah sebagai salah satu kerja pemenangan. Namun, kecenderungan ini membawa masalah baru, misalnya soal pelaporan dana kampanye.
“Masalahnya, skema akuntabilitas kita itu belum mampu menjangkau sebaik itu. Untuk menjangkau akuntabilitas keterlibatan buzzer, kita enggak tahu mana buzzer yang terima bayaran, mana buzzer yang memang simpatisan, mana yang memang loyal secara politik,” kata Titi.
Jangankan kampanye daring, Indonesia bahkan belum akuntabel dalam pengaturan dana kampanye konvensional. Misalnya, kata Titi, Indonesia belum memiliki aturan pembatasan transaksi tunai dalam kampanye. Mayoritas transaksi kampanye masih dilakukan secara tunai.
Di sisi lain, ada aturan yang mewajibkan pelaporan dana kampanye melalui rekening khusus, namun diketahui bersama pelaporan ini tidak pernah mampu menjangkau seluruh transaksi. “Termasuk soal transparansi iklan kampanye di media sosial. Ini juga penting diketahui oleh para peserta pemilihan,”tambah Titi.
Lima Pilar Program Facebook
Platform media sosial seperti Facebook tentu saja berperan besar di era kampanye daring menjelang Pilkada 2020 ini. Dalam ajang Pemilu secara global, Facebook telah menetapkan dua misi mereka yaitu mempersulit pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk intervensi ke dalamnya dan mempermudah publik agar suara mereka lebih cepat didengar.
Manajer Hubungan Pemerintahan Facebook Indonesia, Noudhy Valdryno memastikan platform tersebut tetap konsisten mengusung dua misi itu di ajang Pilkada 2020. Facebook Indonesia melihat ada dua tantangan besar di Desember nanti. Keduanya adalah Pilkada di area-area dengan ancaman konflik lokal dan juga Pilkada di area yang literasi digitalnya masih rendah.
“Masyarakat diberi kebebasan berekspresi, bagaimana kita bisa menggunakan itu dengan bijaksana. Salah satunya pilar itu adalah literasi digital. Pilkada di area dengan literasi digital yang rendah menjadi perhatian kami,” kata Noudhy.
Secara detail, Noudhy memaparkan lima pilar program Facebook dalam ajang pemilihan, yang juga sudah diterapkan dalam Pemilu 2019.
Pilar pertama adalah skrining terus menerus terhadap akun-akun palsu yang ada di platform mereka kami. Selain itu, pilar kedua Facebook adalah menekan distribusi berita palsu dengan bekerja sama bersama pemeriksa fakta. Pemeriksa fakta adalah pihak ketiga, yang jika menemukan berita palsu, maka akan menyematkan label.
Facebook berharap pengguna sadar dengan tidak menyebarkan kembali berita yang sudah disemati label sebagai berita palsu. Ada enam pihak yang bekerja sama dengan Facebook dalam program ini yaitu Tempo, Tirto, Kompas, Liputan 6, AFP dan Mafindo.
Pilar ketiga Facebook adalah komitmen mereka untuk membuat iklan lebih transparan, khususnya iklan politik. “Sekarang kalau ada calon-calon memasang iklan politik, rekan-rekan bisa langsung tahu dia bayar berapa, range tanggal-tanggalnya, lalu siapa yang membayar iklan tersebut. Apakah misalnya DPP Partai, atau Paslon sendiri, atau menggunakan pihak ketiga dan lain-lain,” jelas Noudhy.
Dua pilar lain yang diterapkan Facebook, adalah terus mendeteksi potensi perilaku palsu yang terkoordinasi dan membantu penyelenggara untuk melakukan sosialisasi. Peran ini dilakukan dalam pemilu di seluruh dunia.
KPU Sesuaikan Aturan
Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam diskusi ini membeberkan langkah KPU untuk melakukan harmonisasi sejumlah peraturan. Dari pertemuan dengan sejumlah pihak, terkait isu kampanye daring, KPU akan menentukan segera batasan media sosial dan media daring. Meski banyak regulasi sudah membuat batasan soal itu, tetapi KPU merasa perlu menyesuaikan kaitannya dengan kegiatan kampanye.
“Kami mencoba untuk merumuskan, apa yang menjadi ruang lingkup kampanye di media sosial,” kata Raka.
Dalam konteks kampanye, masing-masing peserta Pilkada akan diminta membuat akun baru dan mendaftarkannya ke KPU. Akun resmi ini akan digunakan selama masa kampanye, dan kemudian dinonaktifkan pada masa tenang tetapi tetap memungkinkan penelusuran oleh pihak berwenang jika terdapat isian yang melanggar ketentuan.
Di media daring, peserta Pilkada bisa memasang iklan kampanye sekaligus menyelenggarakan kampanye. Langkah ini diambil karena dimungkinkan akan ada pembatasan jumlah peserta pertemuan konvensional. Karena itu, kampanye secara luas bisa dilakukan pasangan calon melalui media daring. KPU juga akan menetapkan aturan mengenai iklan yang bisa dipasang oleh peserta Pilkada.
“Dalam konsep yang disusun terakhir, itu merujuk kepada masa kampanye di media cetak dan elektronik. Apakah nanti, misalnya difasilitasi KPU atau kemudian dilakukan sendiri oleh peserta Pilkada, masih kami kaji dalam beberapa hari ini, dengan prinsip keadilan dan kesetaraan,” lanjut Raka.
Prinsip kesetaraan perlu diperhatikan agar kandidat tertentu yang memiliki kekuatan finansial besar, tidak mendominasi. Selain itu, seluruh konten kampanye dan iklan juga harus diverifikasi oleh KPU bersama pihak terkait seperti Bawaslu, Komisi Informasi atau KPI.
Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Timur, Moh. Amin memastikan lembaga itu akan mengawasi kampanye daring. “Bawaslu memiliki wewenang mengawasi semua akun media sosial yang didaftarkan ke KPU,” kata Amin.
Namun Amin juga mengingatkan, bahwa Bawaslu juga akan melakukan pengawasan terhadap akun-akun yang tidak didaftarkan ke KPU, tetapi dimanfaatkan sebagai sarana kampanye oleh peserta Pilkada.
Sumber: VOA Indonesia/Nurhadi Sucahyo