PIRAMIDA.ID- Hari ini, 28 Juni 1965, 55 tahun yang lalu adalah lahirnya harian Kompas. Kompas pertama terbit dengan hanya empat halaman dan enam iklan. Hingga hari ini, Kompas tampil menjadi media moderat yang berpengaruh di Indonesia.
Salah satu sosok di balik lahirnya harian Kompas adalah Petrus Kanisius Ojong atau lebih dikenal P.K. Ojong. Bersama Jacob Oetama, ia dikenal sebagai pendiri harian Kompas.
Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng-Koen (lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia, 25 Juli 1920 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 31 Mei 1980 pada umur 59 tahun) adalah salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia (bersama Jakob Oetama).
Ojong menjadi jurnalis sejak awal usia 30-an. Ojong mempunyai enam anak, empat di antaranya laki-laki. PK Ojong meninggal tahun 1980.
Lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Auw Jong Peng-Koen. Ayahnya, Auw Jong Pauw, sejak dini mengajarkannya untuk hemat, disiplin, dan tekun. Auw Jong Pauw awalnya adalah petani di Pulau Quemoy (kini wilayah Taiwan) yang kemudian merantau ke Sumatra Barat.
Di kemudian hari, Auw Jong Pauw menjadi juragan tembakau di Payakumbuh, dan menghidupi keluarga besar 11 anak dari dua istri, istri pertama Auw Jong Pauw meninggal setelah melahirkan anak ke-7. Peng-Koen (PK Ojong) adalah anak sulung dari istri kedua. Saat Peng-Koen kecil, jumlah mobil di Payakumbuh tak sampai sepuluh, salah satunya milik ayahnya.
Semasa hidupnya, Ojong dikenal sebagai pribadi yang sederhana, jujur, bertanggung jawab, dan pandai mengelola keuangan.
Dia tidak suka menyumbang untuk acara pesta yang menghamburkan uang, namun memberikan donasi kepada yang membutuhkan bantuan. Selain itu, PK Ojong juga seorang pekerja keras dan mengutamakan persatuan bangsa berdasarkan Bhineka Tunggal Ika.
Semasa bersekolah di Hollandsch Chineesche School (HCS, sekolah dasar khusus warga Tionghoa) Payakumbuh, Ojong dikenal sebagai anak yang disiplin dan serius. Pada masa itu, ia berkenalan dengan ajaran agama Katolik.
Beberapa waktu kemudian, dia masuk Katolik dan mendapat nama baptis Andreas. Peng Koen kemudian sempat pindah ke HCS Padang, lalu melanjutkan ke Hollandsche Chineesche Kweekschool.
Di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK, sekolah guru), ia gemar membaca koran dan majalah yang dilanggani perkumpulan penghuni asrama. Di sini Auwjong Peng Koen mulai belajar menelaah cara penulisan dan penyajian gagasan.
Di sekolah guru setingkat SLTA ini, Peng Koen terpilih sebagai ketua perkumpulan siswa. Ia bertugas menyediakan bahan bacaan buat anggota serta menyelenggarakan pesta malam Tahun Baru Imlek dan piknik akhir tahun. Ojong kemudian meneruskan studinya di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 1951.
Pada awalnya, PK Ojong bekerja sebagai guru di SD Budi Mulia di Mangga Besar Jakarta.Ojong mempelajari mengenai jurnalistik pada tahun 1946, ketika dia bergabung dengan Star Weekly, sebuah mahalan untuk komunitas Tionghoa-Indonesia.
Dia memulai kariernya sebagai kontributor dan akhirnya menjadi redaktur pelaksana hingga Star Weekly dibubarkan pemerintah karena ulasan luar negeri yang ditulis Ojong dinilai mengkritik kebijakan pemerintah. Antara tahun 1946-1951, Ojong merupakan anggota redaksi surat kabar harian Keng Po dan mingguan Star Weekly.
PK Ojong juga dikenal sebagai tokoh di beberapa organisasi seperti anggota Badan Pimpinan Pusat Partai Katolik, bendahara Pengurus Pusat Serikat Penerbit Surat Kabar, bendahara Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah kebudayaan Horison, bendahara Lingkaran Seni Jakarta, anggota Dewan Kurator lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum Jaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarumanegara (penyelenggara Universitas Tarumanegara), dan koordinator Serikat Pers Katolik Internasional wilayah Indonesia, serta pendiri dan direktur Kantor Berita Katolik Asia di Hongkong.
Pada tahun 1963, Ojong bersama dengan Jakob Oetama mendirikan majalah Intisari, cikal bakal dari harian Kompas. Pada tahun 1965, mereka mendirikan harian Kompas yang menjadi harian nasional Indonesia hingga saat ini.
Pada tahun 1970 hingga akhir hidupnya, PK Ojong merupakan pimpinan umum dari PT Gramedia yang bergerak di bidang penerbitan.
PK Ojong wafat pada 31 Mei 1980. Untuk mengenang jasanya, patung Ojong didirikan di halaman Bentara Budaya Jakarta, suatu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.
Cuplikan perjalanan hidup Petrus Kanisius Ojong, yang dibesut Helen Ishwara dalam buku PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001) terasa bak tuntunan bagi wartawan dalam membangun media cetak dengan baik dan benar. Pengalamannya, berlatar belakang intrik politik Orde Lama dan Orde Baru, begitu rinci.
Sumber:
- Jakob Oetama: Pak Ojong Sudah Berada di Surga. 28 Juni 2012. Kompas.com – Kurnia Sari Aziza. Editor: Hertanto Soebijoto.
- P.K. Ojong: A simple life – full of achievement. October 14 2001. The Jakarta Post. Lie Hua.
- Kompas Gramedia: Founders.
- Dari Sang Pemula ke Jaringan Bisnis KG. Hidupkatolik.com – Edisi No. 45 Tanggal 6 November 2011 (11 Januari 2012). F. Rahardi.