Christania Paruntu*
PIRAMIDA.ID- Urgensi Sustainable Development Goals
Seiring berjalannya waktu, Bumi sudah menuju kepada kerusakan parah yang tidak disadari oleh manusia. Eksploitasi alam secara berlebihan pada akhirnya membawa dampak buruk kepada manusia itu sendiri; dari Gletser Antartika mencair semakin cepat, fenomena turun salju di Gurun Sahara bahkan anomali cuaca yang juga terjadi di Indonesia dapat kita refleksikan sebagai tanda-tanda kerusakan alam sudah mulai terlihat yang mengancam umat manusia mulai menuju pada kepunahan.
Maka, untuk menghentikan kehancuran generasi mendatang para pemimpin dunia mulai menyusun berbagai strategi berkaitan dengan bagaimana cara memenuhi kebutuhan namun tetap mengantisipasi kerusakan planet. Strategi tersebut terjawab dalam konsep pembangunan berkelanjutan (development goals).
Pembangunan berkelanjutan (development goals) menyerukan upaya bersama guna membangun masa depan yang inklusif, berkelanjutan dan tangguh untuk manusia dan planet. Agar pembangunan berkelanjutan dapat dicapai, penting untuk menyelaraskan tiga elemen inti, yakni pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Elemen-elemen ini saling terkait dan semuanya amat penting untuk kesejahteraan individu maupun masyarakat.
Pengentasan kemiskinan dalam semua bentuk dan dimensinya merupakan sebuah persyaratan yang sangat diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, haruslah dilakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan adil yang menciptakan peluang yang lebih besar untuk semua, mengurangi ketidaksetaraan, meningkatkan standar kehidupan dasar, mendorong pembangunan dan inklusi sosial yang adil serta mendorong pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem yang berkelanjutan dan terpadu.
Sejak tahun 2015 berakhir, saat itulah ujung waktu dari kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) ditetapkan. Negara-negara di dunia pun mulai merumuskan sebuah platform berkelanjutan untuk dapat mencapai cita-cita mulia dari MDGs tersebut. Untuk itu, pada tanggal 25-27 September 2015 terjadi pertemuan akbar di markas PBB di New York yang dihadiri perwakilan dari 193 negara termasuk Indonesia. Pertemuan Sustainable Development Summit ini berhasil mengesahkan dokumen yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs). Adapun 17 Goals dari SDGs adalah sebagai berikut:
17 Goals tersebut lebih banyak dibandingkan goals MDGs yang telah berakhir. Diharapkan goals tersebut dapat tercapai pada tahun 2030 nanti sesuai dengan kesepakatan puncak berakhirnya SDGs.
Dalam konteks nasional, kita terbiasa dengan frasa “Pembangunan Manusia yang Seutuhnya” sesuai dengan visi pembangunan nasional yang tercantum dalam Tap MPR No 4/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yaitu: “Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.”
Hal ini tentunya selaras dengan SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan yang kemudian oleh pemerintah diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Secara jelas bahwa, SDGs sudah menjadi komitmen nasional yang bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mendorong pencapaiannya melainkan seluruh komponen masyarakat yang ada.
Secara lanjut dijelaskan dalam pedoman teknis pelaksanaan SDGs bahwa terdapat empat komponen utama yang penting, yakni pemerintah, akademisi, filantropi dan organisasi kemasyarakatan untuk mendorong agar upaya pencapaian goals SDGs ini dapat berjalan optimal untuk mewujudkan visi pembangunan Indonesia itu sendiri.
Menyongsong Era Baru: Smart Society 5.0
Di sisi lain, dunia mulai masuk pada tahapan perkembangan lainnya yang dikenal dengan Smart Society atau Era Society 5.0. Society 5.0 didefinisikan sebagai sebuah konsep pembangunan masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan pemecahan masalah-masalah sosial oleh sebuah sistem yang memadukan ruang maya dan ruang nyata.
Pada tahapan perkembangan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, manusia telah mengalami empat tahap kehidupan, yaitu Berburu (era 1.0), Bertani (era 2.0), Industri (era 3.0) dan Teknologi Informasi (4.0). Konsep Society 5.0 mulai diperkenalkan oleh Jepang pada tahun 2019 dengan tujuan untuk mengantisipasi degradasi manusia sebagai dampak dari era 4.0.
Titik perbedaannya adalah, Industri 4.0 berfokus pada produksi sedangkan Society 5.0 berupaya menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Artinya, Konsep revolusi industri 4.0 dengan society 5.0 tidak memiliki perbedaan jauh, revolusi industri 4.0 menekankan pada kecerdasan buatan (AI) sedangkan society 5.0 menekankan pada sisi manusianya.
Prioritas society 5.0 ini berada pada High Order Thinking Skill (HOTS) atau manusia dituntut cara berpikir secara kompleks, berjenjang, dan sistematis, inilah yang disebut dengan cara berpikir tingkat tinggi society 5.0. Dengan memanfaatkan dampak teknologi dan hasil industri 4.0 maka pengalaman integrasi teknologi dalam peningkatan kualitas hidup, tanggung jawab sosial dan berkelanjutan.
Memasuki era Society 5.0, big data yang dikumpulkan oleh serba internet (Internet of Things) akan diubah menjadi jenis kecerdasan baru oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan akan menyentuh setiap sudut kehidupan masyarakat. Sementara kita bergerak menuju Society 5.0 semua segi kehidupan orang akan menjadi lebih nyaman dan berkelanjutan tidak perlu dihantui oleh disrupsi teknologi.
Korelasi antara SDGs dan Society 5.0
SDGs dan Smart Society 5.0 memiliki kaitan erat satu sama lain, Society 5.0 akan menyelesaikan masalah-masalah sosial selaras dengan alam, karena Society 5.0 mempunyai arah yang sama dengan SDGs. Misalkan dari segi kesehatan, kita akan mulai mengarah pada health/medical yang dikembangkan pada Society 5.0 yang dikolerasikan dengan tujuan SDGs yang ke-3, yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia.
Dalam SDGs, Indonesia memiliki target pada tahun 2030 di bidang kesehatan yang secara linier bersinggungan pula dengan Window of Opportunity Bonus Demografi, di antaranya menurunkan sepertiga kematian dini karena penyakit tidak menular (PTM) yang berfokus pada 4 PTM utama penyebab 60% kematian, yaitu: Kardiovaskuler, Diabetes Melitus, Kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan pengendalian 4 faktor risiko bersama yang dapat mencegah PTM sampai 80 persen, yakni diet tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, dan mengkonsumsi alkohol.
Teknologi digital yang sudah lebih dulu tiba dalam komunikasi sosial antar individu menjadi peluang bagaimana pengendalian PTM dapat lebih optimal dilaksanakan dalam memberikan sosialisasi untuk mencegah kesakitan dan kematian akibat PTM.
Maka, Smart Society 5.0 yang merupakan kolaborasi antara kecanggihan teknologi dan kecerdasan manusia akan membantu penyelesaian masalah kesehatan dalam hal ini PTM yang dahulunya kesulitan untuk diintervensi dikarenakan beberapa faktor seperti keterbatasan kapasitas manusia untuk melakukan komunikasi dapat dijawab oleh teknologi untuk dapat dikomunikasikan lewat media sosial atau teknologi seperti Telemedicine tidak dapat menggantikan kapasitas manusia untuk menjelaskan pengobatan dan intervensi yang tepat, di sinilah manusia hadir untuk memberikan penjelasan.
Sehingga, goals dari SDGs dapat tercapai dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien yang diperkenalkan oleh Smart Society 5.0.
SDGs dan Smart 5.0 dalam Ajaran Sosial Gereja
dalam konteks pembangunan dan teknologi, gereja mendefinisikan manusia dari dua sisi, yakni manusia sebagai tujuan pokok dari setiap upaya pembangunan dan manusia sebagai juga subyek pembangunan. Setiap upaya pembangunan pasti menyentuh bidang ekologi (lingkungan hidup) sebagai tempat berlangsungnya pembangunan dan obyek pembangunan bahkan dapat dikatakan bahwa manusia dan ciptaan dapat menjadi korban pembangunan. Karena itu manusia dan lingkungan memiliki konektivitas yang tidak bisa terpisahkan dalam pembangunan.
Seiring berjalannya zaman, teknologi menjadi komponen tambahan yang tak terpisahkan dalam pembangunan. Maka, manusia, lingkungan dan teknologi menjadi komponen yang saling berkaitan dalam pembangunan akan dunia ini dengan harapan akan membawa ke arah dunia yang berkelanjutan.
Dalam ensiklik Caritas in Veritate yang dikeluarkan oleh Benediktus XVI pada tahun 2009 juga menegaskan perhatiannya pada lingkungan hidup di mana beliau menyampaikan sejumlah hal seperti: manusia perlu mencermati “gramatika” lingkungan hidup karena dengan memahaminya manusia dapat menyesuaikan diri dan hidupnya selaras dengan “gramatika” alam.
Namun beliau juga mengingatkan agar alam dan manusia dilihat sebagai satu kesatuan ciptaan, di mana manusia memiliki tempat khas dan bahwa alam tidaklah lebih utama dari manusia. Manusia diminta untuk menjadi pemelihara alam, agar menikmati hasilnya dan mengolahnya dengan cara-cara baru yang berkelanjutan. Untuk itu amat dibutuhkan perubahan gaya hidup yang mesti lahir dari perubahan mental.
Gereja juga mendorong upaya pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam demi kehidupan manusia termasuk mendorong kemajuan teknologi yang semakin menolong manusia memperoleh hasil optimal dalam pengelolaan alam ciptaan.
PMKRI dalam “Dua Arus Besar”
PMKRI merupakan organisasi kemasyarakatan berbasis mahasiswa yang telah berdiri sejak tahun 1947 dan telah berkontribusi sebagai pilar bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan dan keberlangsungan republik ini. Bahkan, perjuangan nahasiswa Katolik sudah dimulai sejak Katholieke Studenten Vereniging (KSV) terbentuk pada tahun 1928. Artinya, PMKRI juga memiliki hak dan kewajiban dalam optimalisasi pilar-pilar SDGs yang sudah berlangsung sejak tahun 2016 ini.
PMKRI berhak untuk mengevaluasi kinerja pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam realisasi SDGs di Indonesia, melakukan kajian-kajian akademis untuk menghasilkan rekomendasi yang strategis dalam pelaksanaan SDGs dan PMKRI berhak untuk melakukan advokasi kepada pemerintah pusat maupun daerah apabila terjadi gap antara data yang dipublikasi pemerintah dan data real di lapangan.
Di sisi lain, PMKRI berkewajiban atau bertanggung jawab akan keberhasilan pencapaian SDGs di Indonesia, Karena sebagai komponen yang mewakili masyarakat sipil, PMKRI tidak boleh ”masa bodoh” dengan upaya membawa dunia ke arah bumi yang berkelanjutan. Di sisi lain, PMKRI juga merupakan bagian dari gereja yang harus peka dan up to date dengan segala proses dan upaya untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat dari sikap destruktif manusia dengan melaksanakan amanat dari ensiklik Caritas in Veritate dan ensiklik Laudato Si.
Pada Tahun 2021, Pengurus Pusat PMKRI melakukan survei online berkaitan dengan pengetahuan terhadap SDGs dengan target responden adalah kader PMKRI. Dari 202 responden, sekitar 38% tidak mengetahui apa itu SDGs dan sekitar 81% tidak pernah terlibat dalam kegiatan realisasi SDGs baik di daerah maupun pusat. Hal ini tentunya menjadi catatan kritis evaluasi bersama bagi seluruh kader PMKRI se-Indonesia, di mana kader PMKRI harus mengambil peranan dalam realisasi pencapaian SDGs, realisasinya pun harus konkrit, berbasis data dan tentunya berdampak apalagi tahun 2030 yang menjadi akhir.
Untuk mampu mengambil peranan, kader PMKRI tentunya harus terlebih dahulu melakukan knowledge enrichment dari SDGs itu sendiri sudah tinggal 8 tahun lagi.
Lalu, apa yang harus dipersiapkan kader PMKRI dalam menghadapi “perpaduan dua arus” ini? Jawabannya adalah, PMKRI harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dari tiap aspek berikut ini:
1. Enrichment Knowledge
Pengayaan pengetahuan itu sangat penting, dalam konteks ber-PMKRI sudah jelas dalam tiga benang merah, yakni benang intelektualitas. Bahwasannya, kader PMKRI yang benar-benar berproses tidak akan merasa “gelasnya cepat penuh” atau memiliki sifat yang haus akan ilmu pengetahuan. Maka, untuk menjawab tantangan Smart Society 5.0 dan berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan, pengayaan pengetahuan merupakan tahap pertama untuk memulai semuanya. Karena, Ketika kita berpengetahuan maka kita dapat menyelesaikan setiap persoalan.
2. Character Building
Pembentukan karakter, pengembangan jati diri, dan kualitas diri. Kita tidak dapat pungkiri bahwa, banyak Kader PMKRI yang belum memahami benar jati diri dan kualitas dirinya seperti apa. Menjelang era Smart 5.0, penting memiliki karakter-karakter seperti konseptualisasi, rasional dan beralasan, reflektif, kemandirian berpikir, berpikir kriitis dan kreatif serta berdaya saing. Apabila hal ini tidak diatasi maka kader PMKRI tidak mampu untuk dapat bersaing, jangankan dengan teknologi, bahkan kader PMKRI dapat kalah saing dengan manusia lainnya.
3. Skill Upgrade
Jaman begitu cepat berubah, maka mengupgrade diri dan keahlian individi penting dalam ber-PMKRI. Menguasai dasar-dasar komputerisasi seperti penguasaan Microsoft Office atau aplikasi umum lainnya, mampu berargumentasi yang berbobot, penguasaan bahasa asing dan upgrade skill lainnya perlu untuk dilakukan oleh kader PMKRI. Karena tidak bisa dipungkiri, banyak jader PMKRI yang merasa berpuas diri akan skill yang sudah dimiliki, tanpa menyadari bahwa di luar sana begitu banyak orang yang sudah beribu-ribu langkah untuk mengembangkan skill dan dirinya. Sedangkan untuk mengambil peran dalam optimalisasi pilar-pilar SDGs, dibutuhkan skill yang sesuai dengan zaman.
Tahun 2030 yang merupakan puncak dari SDGs sudah di depan mata begitu juga dengan Smart Society 5.0 yang sudah mulai diterapkan di berbagai negara, artinya gabungan kedua arus tersebut mau tidak mau akan melanda kita, melanda PMKRI. Pilihan kita sebagai Individu hanya dua, Tergerus dengan arus atau mampu untuk berselancar atas arus tersebut. Saya memilih pilihan yang kedua, Bagaimana dengan Anda?(*)
Penulis merupakan Ketua Lembaga Kesehatan Masyarakat PP PMKRI.