Oleh: Andry Napitupulu*
PIRAMIDA.ID- Tepatnya tertanggal 4 september 2022 lalu, sekira pukul 14.30, Presiden Jokowi resmi mengumumkan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), di mana sebelumnya harga pertalite Rp7.650 menjadi Rp10.000; harga pertamax Rp12.500 menjadi Rp14.500; dan, solar Rp5.150 menjadi Rp6.800.
Kenaikan harga BBM tersebut membuat masyarakat sangat terkejut dan kecewa, bahkan ketika BBM naik maka ada beberapa dampak, yakni:
1. Tingkat inflasi bisa tembus 6%
2. Suku bunga uang semakin tinggi
3. Dapat memicu stagflasi
4. Pasar saham akan tertekan
5. Tarif angkutan darat naik 15%
Namun di samping itu, bahwa subsidi untuk akhir tahun ini dialihkan menjadi BLT BBM kepada orang yang tidak mampu atau masyarakat yang membutuhkan.
Secara lebih rinci, bantuan sosial Rp24,17 triliun akan diperuntukkan bagi 20,65 juta keluarga yang masing-masing akan mendapatkan Rp150 ribu per bulan untuk empat bulan dengan total Rp12,4 triliun, pemberian subsidi upah sebesar Rp600 ribu per pekerja bagi 16 juta pekerja yang berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta tiap bulan dengan toral Rp9,6 triliun, serta total Rp2,17 triliun yang berasal dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil pemerintah daerah untuk subsidi transportasi angkutan umum, ojek online, dan nelayan.
Secara logika dan hitungan dalam perekonomian, hal tersebut tidak memberikan solusi yang bijak terhadap masyarakat bahkan membantu masyarakat saja tidak cukup.
Rp502,4 T untuk subsidi BBM yang sangat pesat energinya meledak pada bulan Agustus terakhir, namun tidak terarah untuk masyarakat golongan bawah, artinya pemerintah harus evaluasi dan meng-crosscheck mengapa subsidi sebesar itu tidak terarah sampai ke masyarakat.
Kita ketahui bahwa Perpres No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), peraturan ini yang memberangkatkan bagaimana penyaluran subsidi BBM agar terarah kepada masyarakat, dalam artian jangan sampai kita negara Indonesia yang memiliki payung hukum, namun lupa akan sebuah peraturan.
Singkatnya, jika kenaikan harga BBM kali ini akan membuat masyarakat sengsara, harapannya pemerintah pusat dapat lebih teliti mengenai subsidi yang akan disalurkan supaya terarah.
Di samping itu, pertanyaannya mengapa DPR menolak akan kenaikan BBM namun menteri sepakat untuk kenaikan harga BBM sehingga presiden memutuskan harga BBM naik.
Seyogianya, kalau memang sesama pemerintah, baik itu legislatif dan eksekutif sebaiknya mencari solusi dan jalan keluar demi kepentingan kesejahteraan masyarakat, khususnya di bidang perekonomian, bukan malah memutuskan sepihak oleh legislatif sehingga kita melihat antar eksekutif dan legislatif bersaing. Apakah ada tanda untuk kepentingan menurunkan Jokowi atau Jokowi 3 periode, atau mungkin kepentingan pilkada tahun 2022?
Penutup, kita melihat bahwa setiap daerah sudah turun untuk menyuarakan hak-hak kesejahteraan masyarakat, untuk itu marilah kita meleburkan diri, baik itu mahasiswa, buruh, petani, pedagang dan seluruh elemen Kota Pematang Siantar agar bersatu untuk menyuarakan kepentingan kita bersama sebagai masyarakat Indonesia.
Jangan sampai pemerintah membuat kita sengsara, karena tanpa suara kita mereka tidak bisa duduk ditatanan pemerintah saat ini. Mari bersatulah semua elemen Kota Pematang Siantar untuk aksi turun ke jalan menyuarakan suara kita bersama kepada pemerintah. Tolak kenaikan harga BBM!(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar.