Oleh: Alboin Samosir*
PIRAMIDA.ID- Upaya untuk mengeliminir keberadaan masyarakat adat kembali terjadi. Kali ini dialami oleh Masyarakat Adat Lamtoras. Pada 18 Juli 2022, aparat dari pihak kepolisian, militer, dan karyawan perusahaan berupaya mengusir aksi blokade Masyarakat Adat Lamtoras untuk menghentikan aktivitas perusahaan terkait wilayah konsesi yang beririsan dengan wilayah adat.
Sejumlah perempuan adat mengalami dikabarkan luka-luka akibat terjatuh menghindari mesin pemotong kayu yang diarahkan ke wajah mereka pada peristiwa tersebut.
Kejadian seperti itu bukan pemandangan baru di Indonesia. Di banyak daerah, konflik antara masyarakat adat dan pemilik izin konsesi yang melibatkan aparat, masih marak terjadi. Perebutan tanah menjadi isu lama yang sampai sekarang belum menemukan titik terang.
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan wilayah adatnya, masih menjadi perjuangan yang senatiasa disuarakan oleh masyarakat adat. Namun, sampai saat ini, mimpi tersebut belum juga menunjukkan perkembangan yang baik dan bisa segera terwujud. Lantas, apa yang menjadi kendala di balik itu?
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat
Pada dasarnya, keberadaan masyarakat adat telah mendapatkan tempat di konstitusi Indonesia, khususnya pada Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang (UU) Dasar 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Hak-hak tradisionil yang dimaksud mencakup kepercayaan, corak budaya, hukum adat yang berlaku, dan tanah atau biasa disebut hak ulayat. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1965 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Pokok Agraria), terdapat pengakuan bersyarat yang secara substansi sama dengan syarat pengakuan masyarakat adat.
Lalu, berkaca dari serangkain kasus yang dialami oleh masyarakat adat, terutama terkait dengan hak ulayat – meminjam istilah Jacques Derrida yang dikutip dari buku ‘Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida’ yang ditulis oleh Chrsitopher Norris – apabila didekontruksi, letak permasalahan mengapa begitu sulit mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara adalah adanya pengakuan semu alias pengakuan bersyarat dalam konstitusi maupun UU yang justru melemahkan perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan.
Seperti dalam Pasal 3 UU Pokok Agraria, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan, yakni sepanjang menurut kenyataanya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak bertentangan dengan UU dan peraturan lain yang lebih tinggi, di mana syarat tersebut masih menjadi kesatuan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Akar Masalah Agraria
Pengakuan semu dapat dilihat dari politik hukum pengakuan hak ulayat maupun hak masyarakat adat di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Gunawan Wiradi melalui Kata Pengantar dalam buku Noer Fauzi “Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria dari Tuntutan Lokal Hingga Global” bahwa, “jantung permasalahan agraria terletak di wilayah politik.”
Maka, sesungguhnya dapat diketahui akar dari permasalahan masyarakat adat yang berkenaan dengan hak ulayat, terletak dari political will para pemangku jabatan atau kebijakan di negeri ini.
Pengakuan terhadap hak ulayat juga kiranya harus dilihat dari kacamata dan sudut yang berbeda. Dalam memandang permasalahan hak ulayat, negara harus berkaca dari pertimbangan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang diputuskan pada tanggal 16 Mei 2013 yang menyatakan bahwa, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Putusan itu menyatakan negara mengakui keberadaan masyarakat adat jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Adanya syarat dalam proses pengakuan tersebut, tentu saja menunjukkan bagaimana politik hukum yang dipakai pada pembentukan UU, menunjukkan keengganan untuk mengakui keberadaan dari masyarakat adat, bahkan memandangnya sebagai ancaman yang menggangu kedaulatan bangsa dan negara.
Dalam Bukunya yang berjudul ‘Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Empat Persyaratan Yuridis Eksistensi Masyarakat Hukum Adat’ Saafroedin Bahar mengatakan, “berbeda dengan visi sejarah dan sikap moral para pendiri negara yang menghormati eksistensi dari masyarakat hukum adat ini, sikap dasar para negarawan dan penyelenggara negara generasi kedua dan ketiga ini justru mencurigai masyarakat adat sebagai bagian dari ancaman suku, agama, ras, dan antar-golongan.”
Ketakutan negara akan ancaman masyarakat adat yang seolah ingin memisahkan diri dari Indonesia, mungkin terbangun dari serangkaian aksi yang pernah terjadi di beberapa daerah, seperti Permesta, PRRI, dan sebagainya.
Namun, berdasarkan penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh AMAN, ICRAF, dan Forest People Program pada 2002-2003, menemukan bahwa yang diinginkan oleh masyarakat adat adalah pengakuan atas diri mereka dan jaminan atas pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat mereka.
Mengenai pengakuan bersyarat yang dimuat dalam UU Pokok Agraria, Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul ‘Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum)’ dengan menggunakan ilustrasi mengemukakan bahwa memasukkan kambing (hukum adat) ke dalam kandang macan (hukum negara) sebagai akibat tindakan ahli hukum yang merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan normatif tanpa ada kesadaran antropologis dan sosiologis yang cukup, maka tinggal tunggu saatnya kambing tersebut dimakan macan.
Apa yang disampaikannya itu menunjukkan adanya kontraproduktif dalam UU Pokok Agraria, di mana jelas diungkapkan bahwa hukum agraria nasional bersumber atas hukum adat. Namun, dengan adanya syarat dan itu dimaknai secara normatif, maka secara tidak langsung penggunaan hukum adat dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, telah dinegasikan.
Jalan Keluar bagi Sekelumit Persoalan
Seharusnya UU Pokok Agraria dimaknai secara partisipatif dan dibangun berdasarkan semangat dari masyarakat adat. Dr. Sukirno melalui bukunya yang berjudul ‘Politik Hukum Pengakuan Hak Ulayat’ mengatakan bahwa, “Pemberlakuan hukum adat tidak didasarkan pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau alat kekuasaan lainnya, melainkan dibuat berdasarkan tindakan yang dibuat oleh adat dan oleh masyarakat adat yang dianggap patuh dan mengikat.”
Maka, dengan begitu pengakuan bersyarat yang dimuat dalam UU Pokok Agraria – terkait dengan hukum yang berlaku di tengah masyarakat adat – seharusnya bisa diakomodir dan dijadikan landasan sesuai dengan istilah yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven, yakni living law (Imam Sudiyat, 1985) merupakan pendekatan sociological jurisprudence yang juga digaungkan oleh sejumlah cendikiawan hukum yang dimaknai sebagai hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Politik hukum setengah hati pada akhirnya akan melahirkan aturan turunan dan sektoral yang tumpang tindih serta berimplikasi pada kerumitan pengaturan soal masyarakat adat. Hal itu juga berpotensi memunculkan konflik, terutama konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Maka, upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan mimpi pada pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat adalah mengamendemen UUD 1945 secara terbatas pada Pasal 18B ayat (2) serta perubahan atas sejumlah UU dan aturan sektoral lainnya yang berkaitan dengan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat atau hak masyarakat adat yang memudahkan masyarakat adat untuk mendapatkan dan menikmati haknya.
Alternatif lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan membentuk sebuah lembaga khusus yang langsung berada di bawah presiden untuk menjadi lembaga tunggal yang mengurus dan mengatur urusan mengenai masyarakat adat.
Dan yang terpenting dari semua itu, yaitu mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebab UU tersebut akan menjadi pembuka jalan untuk mewujudkan mimpi lama tersebut sekaligus menjadi solusi dari berbagai persoalan dan konflik yang menjerat masyarakat adat.
Terakhir, saya ingin mengutip apa yang disampaikan oleh Frans Magnis Suseno dalam buku ‘Reaktualisasi Pancasila dan Kemajemukan Bangsa Indonesia’ yang mengatakan bahwa, “tak mungkin mempertahankan persatuan bangsa dengan paksaan, tetapi semua komponen hanya akan mau bersatu apabila identitas mereka dihormati dalam Indonesia yang satu di mana orang tidak perlu melepaskan kekhasan agamanya, budayanya, dan kesukuannya untuk menjadi Indonesia.”(*)
Penulis merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan (PGK) PP PMKRI 2020-2022.