Reiner Emyot Ointoe*
PIRAMIDA.ID- “Politisi tak percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya.”
Presiden Perancis, Charles de Gaulle (1890-1970).
Hampir tak terhindar jika politik Pilkada yang semakin dekat akan terus digoda oleh pelbagai kepentingan di pusat-pusat kekuasaan. Salah satu kepentingan itu bersumber dari konsolidasi ulang politik identitas.
Sebagai suatu kekuatan politik, identitas muncul dalam berbagai varian ketika kolonialisme digusur oleh tumbuhnya sejarah nasionalisme di kawasan bekas koloni.
Varian identitas yang paling mencuat berasal dari apa yang oleh Lothrop Stoddard disebut “pasang-surut warna kulit” dalam bukunya “Rising Tide of Color Against White World-Supremacy” (1920).
Buku Stoddard yang sangat disukai Soekarno ini akhirnya diterjemahkan ketika ia telah jadi presiden pertama RI.
Selain menyulut muncul ide rasialis, politik identitas yang lahir dari rahim nasionalisme-demokrasi masih tak bebas dari interes politik elit kekuasaan.
Identitas, betapapun pentingnya, tak garansi yang menjamin bahwa varian antara warna kulit dan ideologi vis a vis agama sangat menyedot hasrat dan kepentingan dalam elit kekuasaan.
Tersembunyi maupun terang-terangan, varian rangkap politik identitas gemar memakainya.
Karena itu, jurnalis dan ilmuwan politik Harold R. Isaacs (1910-1986), harus menuliskan ulang bangkitnya identitas kelompok dalam pergeseran politik di era 70-an.
Identitas kelompok sebagai imigran yang bangkit di negara-negara sumber kolonialisme, khusus Eropa Barat, tak luput dari menjamurnya politik identitas.
Tuntutan mereka adalah anti-rasialis dan diskriminasi yang begitu pekat menyelimuti pusat-pusat kekuasaan global.
Rupanya, kebangkitan “pemujaan suku” (idols of tribe) — dalam terminologi Isaacs — menjadi pentungan politik bagi kelompok-kelompok minoritas yang tak punya akses pada elit dan pusat kekuasan.
Setengah abad kelak, Ami Chua masih menemukan gerakan itu meski di tengah akses-akses kelompok minoritas tak lagi dijauhi oleh kepentingan elit dan pusat kekuasaan.
Tampaknya, pasang-surut dan dinamika politik identitas, terutama di kawasan dengan varian-varian suku dan agama yang menonjol, masih menjadi instrumen yang menyita, diperlukan serta menjadi garansi bagi bentuk-bentuk politik populisme.
Di beberapa daerah yang berlangsung Pilkada serentak, politik identitas masih menjadi mainan mayoritas dalam paket politik “floating mass” yang digula-gulai oleh kelompok minoritas yang memiliki sumberdaya modal yang memadai.
Ibarat iklan, politik identitas adalah “sembako bagi mayoritas yang diambangkan oleh elit internal dan eksternal yang konspiratif.”
Dan di meja roulet Pilkada, identitas harus ditanggalkan untuk menikmati persekutuan “casino Lucifer”.
Penulis merupakan penggiat literasi dan media sosial.