Penulis: Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- “Kaum intelektual itu adalah mereka yang selalu berorientasi mengolah masa depan. Pertaruhan dan investasi politiknya adalah demi generasi yang akan datang.” Steve Fuller, The Intellectual (2005)
Kredo ini kembali mengingatkan kita tentang “kekosongan” yang cenderung terjadi di antara politik (praksis) dan peran kaum intelektual akhir-akhir ini. Kita, hari ini sedang berada dalam kondisi di mana pelembagaan politik tidak berjalan lurus dengan pendalaman demokrasi.
Politik berlangsung dalam suasana yang kering dan dangkal. Sekedar pertarungan kekuasaan dan kelompok kepentingan, tidak lebih.
Sistem kepartaian kita misalnya, tidak memiliki basis ideologi dan imajinasi kebudayaan yang argumentatif. Tetapi terjebak pada mistifikasi kekuasaan dan pemeliharaan membabi buta pendukung fanatis (supporters) bukan pemilih rasional (votters).
Sementara dalam relasi akademis dan praktis universitas cenderung berlangsung dalam konvensi kolonialisme epistemik. Miskin kreasi dan terobosan, cenderung terjebak pada formalitas prosedural dan kerangka pikir formal struktural.
Maaf saja, saya merasa inilah kondisi patologis kaum intelektual kita hari ini yang berujung meluasnya wilayah abu-abu etika publik. Lantas, relasi bagaimana yang ingin dimaksud antara politik dan kaum intelektual itu?
Evaluasi tentang kondisi intelektual politik kita belakangan ini secara cepat memperlihatkan berlangsungnya defisit ide dan gagasan yang serius. Politik diselenggarakan tanpa pertengkaran konseptual. Imajinasi dan arah politik tentang masa depan sekedar ditampilkan dalam capaian dan statistik pembangunan, namun ‘kualitas demokrasi’ tidak masuk dalam register kemajuan.
Ide dan gagasan kebijakan tidak lagi menjadi alat transaksi poltik intelektual. Politik telah dikontrakkan pada statistik dan “talk-show” maupun debat-debat karitatif yang hanya kuat pada sisi kesan, tapi cenderung lemah pada sisi pesan.
Kaum intelektual pun kemudian kehilangan energi perlawanan karena fasilitas statistik dan malah berbalik menjadi alat legitimasi kebijakan sesuai pesanan kelompok kepentingan.
Saya menyebutnya “selingkuh kuasa dan keilmuan”, menambahi perselingkuhan politik yang sudah ada sebelumnya yang berujung pada defisit politik nilai dalam penyelenggaraan politik kita.
Kita bisa mencari sumber defisit itu pada sistem kepartaian kita. Pertama, soal kaderisasi dalam partai. Kaderisasi memerlukan visi ideologis yang ketat, yakni prinsip pengatur orientasi kebijakan politik sosial partai.
Dengan itu, sang kader bertarung dalam politik. Ini memerlukan kejernihan konseptualisasi intelektual, karena sejatinya persaingan politik adalah persaingan gagasan nilai yang harus diselenggarakan untuk mempertahankan kemajemukan demokrasi. Ketiadaan persaingan ideologis ini membuat politik sekedar urusan traksaksional rutin.
Tidak melahirkan imajinasi perubahan dan inspirasi konseptual. Sebaliknya, keyakinan pada kebenaran perjuangan politik dan seluruh gairah intelektual yang menyertainya berubah menjadi proyek tukar tambah kepentingan elit yang oportunistik.
Hal ini kemudian berujung pada penyelenggaraan politik secara personal. Maksudnya, kendati partai politik dijalankan secara formal untuk memenuhi prosedur dan kerangka kerja negara hukum demokratis, yaitu kerangka kerja kepentingan publik, tetapi alam pikiran elite partai adalah alam pikiran privat, yang menganggap partai itu adalah milik pribadi.
Dengan jalan pikiran inilah kemudian partai politik diselenggarakan. Kaderisasi politik dalam tubuh partai tidak ditempuh demi pemenuhan ideologis, melainkan kenyamanan dan pengamanan genealogis pemilik partai.
Investasi personal ini menjadi ciri partai politik kita hari ini. Sehingga tidak perlu heran, ketokohan politik adalah ketokohan personal, bukan karena kekuatan gagasan konseptual partai.
Kondisi ini yang membuat partai politik saat ini cenderung sekedar menjadi lahan investasi pragmatis pemilik modal untuk kepentingan bisnis dan jaringan kekuasaan. Dalam suasana politik traksaksional semacam itu, ruang imajinasi intelektual memang tidak begitu penting, karena tidak ada kegelisahan eksistensial yang mengalir dalam penyelenggaraan politik semacam itu.
Kita memiliki secara lengkap hampir semua instalasi demokrasi modern, tapi yang mengalir di dalamnya adalah arus politik lama; politik uang dan poltik identitas. Inilah defisit ‘politik nilai’ dalam praktik kepartaian kita.
Politik yang pedagogis hampir sulit kita jumpai dalam praktek politik kita, yang beredar dalam panggung politik kita adalah para ‘politisi entertainer’ dan ‘talk-show’ yang miskin pikiran dan cuma memproduksi ‘pencitraan’ saja.
Politik yang kurang mampu mengucapkan pikiran dan gagasan konseptual tentang politik kebangsaan. Tidak ada konsep politik yang mampu nembangkitkan imajinasi dan gairah publik untuk mengaktifkan percakapan intelektual membangun pikiran politik bangsa.
Politik tanpa refleksi adalah politik yang tidak melahirkan debat substantif tentang kebijakan publik. Kekosongan inilah yang kemudian pada akhirnya diisi oleh dua arus utama pragmatisme dan pendangkalan politik; politik uang (kapitalisasi) dan politik identitas (moralitas komunalisme). Dalam kondisi poltik di mana perspektif intelektual tidak diselenggarakan, ruang publik akan diserobot oleh dua kepentingan sempit tadi.
Dalam modus politik seperti ini, warga negara diturunkan derajatnya menjadi objek politik dan pemuasan kekuasaan semata. Melalui politik uang, kuasa modal menaklukkan keadilan, dan lewat moralitas komunal, otonomi dan kebebasan individu dikekang dalam hierarki ‘kesalehan’ dan fanatisme sempit.
Dalam dua proses itu, warga negara dicabut dari wilayah politik otentiknya, yakni “kebebasan”. Imperatif kuasa “pemilik modal dan pemilik moral” ini adalah dua sistem hierarki yang berbahaya dan dapat mengancam kemajemukan warga negara.
Pada titik inilah peran dan tugas historis kaum intelektual menjadi penting dan relevan, meminjam istilah Lefort, “menjaga kontinuitas ruang kosong demokrasi.” (Robertus Robet, 2008).
Dengan kata lain, tugas politik intelektual itu adalah suatu perjuangan nilai yang berujung pada praktek politik konkret, karena hanya pada level yang konkret dan historis itulah etika diproduksi, dan dengan itu politik mendeklarasikan pembaharuan.
Keterlibatan kaum intelektual dalam politik itu semestinya dalam kerangka investasi peradaban. Politik yang tidak perlu terjebak dalam aktualitas peristiwa, tetapi politik yang memelihara kesetiaan pada berbagai kemungkinan dan mengupayakan pemenuhannya. Pun begitu, politik intelektual tidak perlu kita kunci dalam habitat klasiknya, yakni universitas.
Sebab dalam konteks ini, pekerjaan intelektual itu bukan merupakan fungsi khas sebuah posisi sosial, melainkan suatu kebutuhan politik untuk membuka percakapan sosial agar sejarah tidak didefenisikan dalam suatu perspektif monolitik para kuasa modal dan kuasa moral tadi.
Sekali lagi, politik intelektual itu semacam politik tandingan dalam semua upaya untuk menantang kemungkinan baru dan membebaskan ‘pikiran’ dan ‘imajinasi’ publik dari dominasi kekuasaan dan monopoli kebenaran.
Titik beratnya tidak terletak pada hasil akhir perubahan, tetapi pada proses politik disensus yang secara terus menerus diartikulasikan yang pada gilirannya akan menghasilkan nyala politik dan kebudayaan baru.
Hemat saya, Anda dan saya tidak harus memiliki gelar akademis dan tetek-bengek status sosial lainnya untuk melakukan kerja-kerja intelektual itu. Gerakan awal misalnya, saya mengajak Anda mengatakan bahwa, “Indonesia ini bukan Re-privat, tetapi Re-publik!”
Anda setuju dengan saya, bukan?
Penulis merupakan pengasuh rubrik Sopolitika di Piramida.id