PIRAMIDA.ID- Setiap bangsa memiliki definsi tersendiri mengenai seorang pahlawan, seperti halnya pada sisi sebaliknya ketika menyebut seseorang sebagai pengkhianat.
Bagi seorang serdadu, pertempuranlah yang menentukan di mana dirinya berada, pada sisi pahlawan atau pengkhianat, sebuah persoalan yang lebih besar dari sekadar menang ataupun kalah.
Johannes Cornelis Princen, bisa dibilang pengecualian, dia berada pada dua sisi itu. Di negeri kelahirannya Belanda, pria yang sering dipanggil Poncke Princen ini dikecam, dicaci maki, bahkan diancam akan dibunuh.
Tidak aneh, pasalnya pria kelahiran Den Haagn–21 November 1925–ini memilih menjadi pembelot, ketika pecang perang kemerdekaan antara Indonesia dengan Belanda. Princen, seorang serdadu bule bergabung dengan tentara-tentara republiken.
Sedari belia, Princen memang pemuja kebebasan, dia pernah mengenyam pendidikan di seminari dari 1939-1943. Dia memang dibesarkan dalam keluarga liberal yang memeluk agama Kristen Katolik, sehingga berkeinginan menjadi pastor misionaris.
Tetapi Princen kemudian tidak menyelesaikan studinya untuk menjadi pastor, alasannya karena sulit menghilangkan hasrat kepada perempuan. Lalu pecahlah Perang Dunia II, pada tahun 1943 tentara Nazi Jerman melakukan invansi dan menduduki Belanda.
Dikutip dari Brabants Erfgoed, Princen yang masih muda ingin bergabung dengan tentara Sekutu, karena itulah dia mencoba pergi ke Inggris pada tahun 1943, namun ditangkap oleh tentara Jerman. Dirinya kemudian dipenjara di beberapa tempat, seperti di Vaught, Utrecht, Amersfoort, dan pada akhirnya di Bocholt, Jerman.
Di dalam penjara, dirinya kemudian mendapat sebuah inspirasi dari sebuah roman yang berjudul Leven en daden van Pastoor Poncke van Damme in Vlaanderen Pastoor Poncke (1941) oleh Jan Eekhout (1900-1978). Seringkali Princen membacakannya di depan para tahanan lain.
“Dari situ dia dapat julukan ‘Poncke’, yang dia suka sandang sampai akhir hayatnya,” sebut Hans van den Akker dalam tulisannya yang berjudul Kehidupan Jan ‘Poncke’ Princen.
Poncke kemudian lepas dari penjara pada Mei 1945. Baru saja lepas, dirinya kemudian ditangkap kembali, kali ini oleh pemerintah Belanda karena menolak wajib militer.
Karena desakan dari Pemerintah Belanda, dirinya kemudian masuk dalam dinas militer untuk dikirim ke tanah jajahan Belanda di timur yaitu Indonesia. Poncke lalu bergabung dengan tentara Kerajaan Belanda, Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Membelot karena melihat kekejaman
Pada 22 Oktober 1947, Poncke sampai di Indonesia. Di sini dirinya langsung masuk tahanan dengan vonis 12 bulan penjara–menjadi 4 bulan tanpa syarat–karena menolak ikut wajib militer.
Dia masuk tahanan Cipinang (Jakarta Timur) lalu di Poncol (Cimahi). Di penjara ini, Poncke mendengar kabar kawan politiknya, Piet van Staveren meloloskan diri dan bergabung dengan tentara Indonesia.
Selepas dari masa hukuman, Poncke kembali ke dinas militer dengan jabatan kopral bagian medikasi satu dalam Divisi 7 December. Di sini dirinya mulai melihat beragam kekejaman tentara Belanda kepada orang Indonesia yang tidak bisa dibenarkan.
Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke menyebrang garis demarkasi dengan bergabung ke tentara republikan. Pada tahun 1949, ketika tentara Belanda melakukan serangan ke Yogyakarta, dia sudah ikut bergabung dengan divisi Siliwangi.
Poncke bahkan terlihat mengikuti longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Dirinya kemudian menikah dengan orang Sunda bernama Odah yang ikut juga menenaminya bergeriliya.
Di bawah komandan Kemal Idris (1923-2010), Poncke ditunjuk sebagai komandan sebuah pasukan yang dinamai Pasukan Istimewa. Misi dari pasukan ini adalah melakukan penyergapan dan penyerbuan terhadap pasukan Belanda, salah satunya tujuannya adalah merebut senjata.
Melihat adanya serdadu Belanda yang membelot ke pihak republikan, membuat Mayjen E. Engels (KNIL, 1895-1959) merasa sangat terganggu. Tidak bisa menutupi rasa bencinya, dia lalu memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Poncke.
Lalu terjadilah pertempuran sengit pada Agustus 1949, yang mengakibatkan Odah–sang istri yang tengah mengandung 2 bulan, dan 12 pejuang lainnya, dibunuh oleh tentara Belanda. Sementara itu Poncke yang menjadi target dari penyerangan itu berhasil meloloskan diri.
Setelah serah terima kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada 27 December 1949, Poncke akhirnya memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Dia kemudian menjadi mualaf dengan alasan tidak ingin tanggung untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
“Aku ingin menjadi bagian dari negara ini. Aku melakukan yang warga lainnya lakukan,” kata Princen dalam suatu wawancara yang dikutip dari Liputan6.
Tidak lama setelah itu, dirinya kemudian menunaikan ibadah ke Makkah dan mendapat gelar haji. Kemudian pria yang dikenal sebagai pejuang HAM itu lebih dikenal dengan sebutan Haji Johannes Cornelis Princen.
Pejuang kemanusiaan hingga akhir hayat
Pada tahun 1949, Poncke mendapat penghargaan Bintang Geriliya dari Presiden Soekarno. Selanjutnya dirinya menjadi politikus Indonesia pada 1956 dengan bergabung sebagai anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Akan tetapi karena kritiknya yang begitu keras dan sering kepada Presiden Soekarno, membuat Poncke ditahan dalam penjara dari 1957-1958, lalu 1962-1966.
Setelah perang kemerdekaan, Poncke memang pernah menulis surat kepada ibunya. Dia mengutarakan tidak ingin lama menjadi seorang tentara.
“Sementara ini saya tentu saja masih tetap dalam tentara (TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi toh sebisa mungkin saya ingin keluar. Masih ada karya lain yang lebih penting perlu dikerjakan,” begitu dia menulis surat kepada Ibunya di tanah air.
Ternyata karya yang lain bagi seorang Poncke adalah memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebuah nilai yang dirinya telah perjuangkan semenjak membelot masuk ke tentara republikan.
Pada 1966, dirinya lalu menjadi ketua dari Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Pada tahun 70an, Poncke mendirikan Lembaga Bantuan Hukum bersama teman-temannya.
Dirinya kemudian getol membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pun langsung dicap komunis, padahal orang lupa, dirinya juga pernah menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada Orde Lama (Orla).
Tidak hanya soal komunis, aksi kritis Poncke juga dilakukan saat ikut memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, pada 1974. Menurutnya proyek mercusuar itu tidak tepat dilakukan melihat kondisi rakyat yang sedang kesusahan, alhasil karena protes ini dirinya kembali masuk bui (1974-1976).
Setelah bebas, dirinya seperti tidak pernah bosan memperjuangkan keadilan, beberapa kasus seperti pembelaan HAM atas pembantaian Santa Cruz di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), lalu korban pembantaian Tanjung Priok pada 1984.
Selanjutnya pembelaan HAM terhadap mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang ditahan karena mendemo Menteri Dalam Negeri Rudini, pada 1989. Dirinya terus berjuang walau harus menggunakan kursi roda.
Poncke juga mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 1980, agar gerakan pembelaan HAM yang dilakukannya makin meluas. Pada 2002, dirinya dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award, sebagai tokoh HAM.
Pada Februari 2002, Princen meninggal dunia pada usia 76 tahun di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman Pondok Kelapa. Menjelang akhir usianya, dirinya terus bersikap optimis dan giat bekerja.
“Saya kira saya mempertahankan sejumlah nilai khas Belanda: ketulusan, cinta pada kebebasan, dan menghargai pendapat orang lain. Saya akan berjuang terus demi nilai-nilai tersebut,” tutup Princen.(*)
Good News From Indoensia