PIRAMIDA.ID- Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) Bidang Agraria Maritim menggelar webinar bertajuk “Bank Tanah untuk Kepentingan Investasi atau Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemakmuran Rakyat”.
Acara yang dilangsungkan pada Senin, 24 Januari 2022 kemarin, dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari mahasiswa maupun kader GMKI, akademisi, dan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, serta masyarakat umum.
Di situ, para peserta berinteraksi dalam memberikan gagasan tentang bank tanah sudah sesuai atau tidak dengan cita-cita dan tujuan reforma agraria, bank tanah untuk kepantingan umum masyarakat Indonesia, dan investasi tidak menganggu tanah ulayat masyarakat.
Diskusi ini dipandu oleh moderator oleh Goldy Christian selaku Sekretaris Fungsional Bidang Agraria Maritim PP GMKI.
Narasumber yang turut hadir dalam acara itu, yakni Direktur Jenderal Pengadaan & Pengembangan Pertanahan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sekaligus Dewan Pengawas Badan Bank Tanah Ir. Embun Sari, M.Si.
Kemudian, akademis hukum agraria sekaligus Wakil Ketua Tim Pakar Pengurus Pusat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Dr. Darwin Ginting, S.H., M.H., S.p.N, dan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika.
Dalam kata sambutannya, Ketua Bidang Agraria Maritim PP GMKI, Kaleb Elevansi menyampaikan bahwa bank tanah sempat menjadi polemik dikarenakan hal tersebut berkaitan dengan reforma agraria yang juga lahir dari Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2022.
Kaleb berpandangan, bank tanah menjadi hal yang serius untuk diperhatikan dikarenakan bahwa tanah-tanah terlantar ataupun tanah kosong yang tidak dimanfaatkan dan digunakan, baik milik rakyat ataupun para investor akan diambil alih oleh bank tanah untuk kepentingan investasi.
Menurut GMKI, permasalahan yang kompleks dalam bidang pertanahan di Indonesia adalah bagaimana, mengatasi konflik-konflik agraria, persediaan, pemanfaatan dan peruntukan untuk pembangunan.
Munculnya bank tanah pada perkembangan agraria di Indonesia memunculkan pikiran-pikiran kritis di mana akan terjadi liberalisasi pasar tanah yang akan banyak mendatangkan investor asing dan kemudahan bagi orang asing untuk menguasai tanah, hal tersebut bisa mengancam keberadaan tanah di Indonesia.
Kemudian, konsep bank tanah ini mengadopsi asas domein verklaring (negaraisasi tanah) dan menyelewengkan hak menguasai dari negara, yang mana konsep tersebut dipakai pada jaman kolonial Belanda.
Kaleb mengatakan, bahwa pada tahun 2021 telah terjadi kasus sebanyak 40 kasus pada Proyek Strategis Nasional. Adapun proyek tersebut adalah pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, kereta api, kawasan industri, pariwisata hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK), dan juga pembangunan properti maupun berkaitan dengan proyek-proyek investasi.
Yang menjadi perhatian sekarang adalah dengan adanya kehadiran bank tanah di Indonesia apakah dapat memberikan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, terutama dengan akan hadirnya para investor untuk berinvestasi dengan pemanfaatan tanah di Indonesia.
Melihat itu, Kaleb lantas memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia terkait langkah-langkah yang harus dilakukan.
Pemerintah Indonesia haruslah melihat bank tanah sebagai cita-cita serta tujuan dari reforma agraria agar benar-benar terwujud dan juga pemerintah harus siap serta mencari solusi jikalau akan muncul konflik-konflik sosial yang baru, sehingga bisa terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
“Pemerintah dalam pelaksanaan bank tanah ini harus berdampak positif bagi rakyat dan juga dengan hadirnya investasi terutama pihak asing di Indonesia tidak akan mencederai nilai-nilai kebangsaan serta tetap diberikan batasan bagi mereka,” ujarnya.
Embun Sari mengatakan, hilangnya tanah akibat bencana alam, harga tanah yang tinggi, ketersediaan tanah pemerintah yang terbatas, terjadinya urban sprawling berakibat pada tidak terkendalinya alih fungsi lahan dan perkembangan kota yang tidak efisien menjadi permasalahan pertanahan yang terjadi di Indonesia.
Dibutuhkannya ketersediaan tanah yang besar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan infrastruktur, energi, pengembangan kota baru dan program 1 juta rumah untuk MBR dan program pembangunan lainnya.
Embun Sari menyampaikan, bank tanah dibentuk dengan nilai-nilai untuk ekonomi berkeadilan atau keadilan pertanahan dengan karateristik non profit, fungsi sosial, privat/ekonomi, sovereignity/kedaulatan
Lebih lanjut, menurut Embun Sari, bahwa bank tanah tersebut memiliki tujuan untuk kepentingan umum dan sosial, dalam rangka pembangunan yang diperuntukkan untuk mendorong kebutuhan negara dan juga dalam rangka pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, Darwin Ginting menyampaikan tujuan bank tanah tidak spesifik, tetapi meliputi kepentingan umum dan swasta, maka diperlukan kesimbangan dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal reforma agraria harus diperioritaskan.
Dalam pengelolaan bank tanah, dibutuhkan sumber daya manusia orang yang mengerti dan menguasai kompleksitas masalah agraria, sehingga mampu mempercepat tercapainya realisasi reforma agraria.
“Dalam hal pemberian kewenangan kepada Menteri Agraria harus mengambil tindakan diskresi, harus selaras dengan visi-misi Presiden dalam bidang keagrariaan,” ujarnya.
“Tantangan yang dimiliki pemerintah adalah data tanah pertanahan yang harus akurat, up to date, dan tertib administrasi pertanahan agar pertanahan yang dikerjakan pemerintah bisa lebih baik,” sambung Darwin Ginting.
Darwin Ginting mengatakan, bahwa rekrutmen terhadap pengawas dan badan pelaksana tidak hanya di dasarkan kepada kompetensi dan keahlian, tetapi juga harus memperhatikan integritas, moral dan wawasan kebangsaan karena bank tanah ini memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menghimpun ketersediaan tanah untuk kepentingan nasional.
Di sisi lain, pembicara Dewi Kartika menyampaikan bahwa masalah bank tanah tidak bisa dipahami secara parsial dan hukum normatif saja, ada masalah orientasi ekonomi-politik agraria yang liberal dan kapitalistik.
Indonesia menghadapi beberpa beberapa permasalahan yang bersifat struktural, struktural, kronis, akibat neoliberalisme dan kapitalisme agraria.
“Permasalahan yang sering terjadi adalah ketimpangan struktur agraria, konflik agraria struktural, deagrarianisasi, ketimpangan struktural agraria yang kapitalistik, dan kerusakan ekologis yang meluas,” tutur Dewi Kartika.
Persoalan yang seharusnya diprioritaskan pemerintah adalah menyelesaikan konflik-konflik agraria dan juga menanggulangi praktek mafia tanah yang ada di Indonesia, bukan membentuk bank tanah.
Dewi Kartika mengatakan, bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial review Undang-Undang Cipta Kerja, bank tanah ini harus ditunda sampai betul-betul undang-undang tersebut diperbaiki atau direvisi dan juga bila perlu dicabut.
“Kebijakan yang diambil pemerintah dalam reforma agraria harus kembali kepada cita-cita Undang-Undang Dasar 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001. Menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman liberalisasi pertanahan dan kapitalisme agraria global,” ujarnya.
Dewi Kartika memberikan masukan dalam mencapai cita-cita reforma agraria pemerintah meluruskan paradigmatik atas reforma agraria; reforma agraria sejati (genuine agrarian reform) secara nasional dan sistematis; memperkuat kelembagaan sebagai jalan memenuhi dan memulihkan hak rakyat atas tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan kesejahteraan.
Di akhir, moderator webinar, Goldy Christian berkesimpulan bahwa pembangunan ataupun perwujudan reforma agraria harus diperuntukan bagi keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat Indonesia.(*)