PIRAMIDA.ID- Presiden Joko Widodo menandatangani PP No. 35 Tahun 2020 tentang “Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban” pada tanggal 7 Juli 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 8 Juli 2020.
Dalam PP tersebut negara akan menutupi setiap kerugian yang nyata diderita setiap korban dalam bentuk berupa kompensasi, bantuan medis, dan psikologis.
Namun pemerintah diminta tidak hanya fokus dalam memenuhi setiap kerugian yang dialami oleh korban pelanggaran HAM berat masa lalu dan terorisme.
Korban pelanggaran HAM 1965, misalnya, meminta negara juga mengakui telah melakukan kejahatan kemanusiaan besar masa lalu serta menghukum para pelaku kejahatan.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen. (Purn) Agus Widjojo memandang titik tengah penyelesaian atas permintaan tersebut adalah dengan melakukan rekonsiliasi nasional.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo, menjelaskan walaupun PP tersebut telah diperbaharui, pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu sulit dilakukan karena syarat utama dari kompensasi adalah melalui putusan pengadilan, yang hingga kini sulit untuk dilakukan.
“Kami mau keadilan dan pengakuan”
Sebagai korban pelanggaran HAM pada 1965-1966-, Bedjo Untung tidak bisa melupakan saat ia ditangkap, disiksa, dipenjara selama sembilan tahun, hingga menjalani pekerjaan paksa tanpa melalui proses hukum.
Ia dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. “Saya waktu itu masih pelajar, 17 tahun. Saya ditangkap, disiksa, dan dipenjara. Masa muda saya habis dalam penjara. Saya tidak bisa kuliah, dan hilang masa depan. Itu kerugian besar,” kata Bedjo kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Senin (27/07).
Walaupun ia mendapatkan pelayanan medis dan psiko sosial dari LPSK selama sekitar satu setengah tahun, penyiksaan masa lalu sulit ia lupakan. Apalagi, saat Bedjo melihat para pelaku kini masih bebas dan menjalani kehidupan tanpa rasa bersalah.
“Untuk itu saya tetap mendesak agar pengadilan HAM ad hoc dibentuk agar para pelaku dihukum. Dan karena pelaku mengatasnamakan negara maka negara harus bertanggung jawab dan mengaku di depan publik telah melakukan kejahatan kemanusiaan,” kata Bedjo.
Komnas HAM: Jangan sampai PP ini menutup agenda keadilan
Komnas HAM menegaskan bahwa dengan dikeluarkannya PP tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut bukan berarti pelanggaran HAM masa lalu selesai.
“Jangan sampai dengan PP itu mengesampingkan agenda keadilan itu sendiri sehingga tidak dituntaskan,” kata Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam.
Pemberian kompensasi lanjut Choirul hanya satu dari tiga dimensi kewajiban yang perlu dipenuhi oleh pemerintah.
“Dua dimensi lainnya adalah satu permintaan maaf dari negara sebagai bentuk komitmen tidak akan berulang lagi kasus yang sama di masa mendatang, serta kedua adalah proses pengadilan yang independen dan adil, artinya diuji di depan pengadilan,” katanya.
Usai PP ditandatangani, kata Choirul, Komnas HAM akan mempelajari dan mengeksekusi perintah dari aturan tersebut.
“PP bagus di tulisan tapi sulit diimplementasikan”
Pengadilan Ad Hoc, lanjut Bedjo, juga beririsan dengan pemberian kompensasi yang mensyaratkan untuk harus dimulainya penyidikan hingga putusan pengadilan. Jika itu tidak dilakukan, tambahnya, maka kompensasi tidak bisa diberikan.
“Pertanyaan saya, apakah korban 1965 sudah dilakukan penyidikan untuk pengadilan? Sampai sekarang belum ada, jadi kalau pun PP ini dilaksanakan saya khawatir ini tidak bisa dijalankan secara maksimal,” kata Bedjo yang merupakan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65).
“PP ini saya khawatir hanya untuk menyenangkan kami para korban tapi tidak bisa diimplementasikan karena mensyaratkan adanya penyidikan, padahal kami belum ada penyidikan, belum ada pelaku diadili, jadi saya pikir sangat-sangat membingungkan bagi saya,” kata Bedjo.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, yang mengatakan tidak bisa memberikan kompensasi bagi 11 tindak pidana pelanggaran HAM berat masa lalu yang diselidiki Komnas HAM.
“Untuk korban tindak pidana HAM berat masa lalu memang belum bisa dilakukan apapun. Karena di UU tentang Pengadilan HAM, kompensasi bisa diberikan usai adanya putusan pengadilan HAM Ad Hoc. Ini yang masih menjadi kendala,” kata Hasto.
Untuk itu, LPSK fokus memberikan bantuan medis, psikologis dan psiko sosial bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Memang sedih juga, di satu sisi perhatian negara pada korban teroris sangat maju, tapi bagi korban pelanggaran HAM berat, perhatian masih sangat kurang,” katanya.
‘Pemerintah memahami kesulitan keluarga korban’
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
“PP itu adalah wujud komitmen Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam melindungi WNI yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan tindak pidana terorisme baik di dalam maupun luar negeri,” kata juru bicara presiden bidang hukum Dini Shanti Purwono beberapa waktu lalu dalam siaran pers.
Dalam PP tersebut, kata Dini, negara menutupi setiap kerugian yang nyata diderita setiap korban dalam bentuk berupa kompensasi, bantuan medis, dan psikologis.
“Pemerintah memahami kesulitan dan kesedihan pihak keluarga yang menjadi korban aksi terorisme. Karenanya PP ini diperbaharui untuk meringankan beban keluarga korban dari sisi ekonomi,” jelas Dini Purwono.
Adapun proses untuk mendapat kompensasi bisa diajukan korban tindak pidana terorisme, keluarga, atau ahli warisnya melalui LPSK, tambahnya.
Permohonannya, kata Dini, dapat diajukan sejak dimulainya penyidikan tindak pidana terorisme dan paling lambat sebelum pemeriksaan terdakwa. Uraian perhitungan mengenai besaran kompensasi akan ditetapkan LPSK.
Sebelumnya pemerintah merilis 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terus ditangani.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pelanggaran HAM berat pada masa lalu merupakan tindakan terencana yang dilakukan negara yang merampas hak asasi rakyatnya atau by mission.
Di sisi lain, Mahfud menegaskan pelanggaran HAM berat tidak terjadi di era kepemimpinan Jokowi.
Kesebelas pelanggaran HAM berat masa lalu itu yaitu peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1986; pembantaian Talangsari, Lampung 1989; tragedi Rumoh Geudong di Aceh 1989-1998; penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1998.
Kemudian penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998; tragedi Semanggi I dan II 1998-1999; tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh tahun 1999; Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua tahun 2001; kasus Wamena, Papua 2003; dan tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan, Aceh tahun 2003.
“Jalan tengah adalah rekonsiliasi”
Titik tengah penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu adalah melalui rekonsiliasi nasional, menurut Gubernur Lemhanas Letjen. (Purn) Agus Widjojo.
Masalah, menurutnya, akan terus berlarut jika para pihak terus saling menyalahkan tanpa terlebih dahulu melakukan intropeksi diri dengan cara mengakui kesalahan masing-masing untuk kemudian membangun kepercayaan antar pihak yang bertikai.
“Tidak ada cara lebih adil selain rekonsiliasi karena ada truth seeking untuk memenuhi rasa keadilan kedua pihak dalam mengetahui apa yang terjadi dan bermuara pada healing process.
“Korban 1965 harus jujur dan membuka bagaimana perilaku PKI sebelum 2 Oktober 1965, bahwa PKI juga melakukan pembunuhan. Dan di sisi lain negara juga harus mulai mengakui kesalahan dan mengambil tanggung jawab tentang tindakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan,” kata Agus.
Metode ini tambah Agus disebut dengan keadilan yang restoratif, bukan proses keadilan retributif yang mensyaratkan untuk dilakukannya sebuah pengadilan ad hoc HAM yang sulit dipenuhi.
“Saya tidak percaya rekonsiliasi bisa dilakukan tanpa peran pemerintah. Pemerintah harus hadir untuk memulai dalam pencarian kebenaran dan proses penyembuhan. Kuncinya adalah kemauan politik pemerintah dalam membentuk entitas yang terdiri dari guru-guru bangsa sebagai penengah dan pencerah agar move on,” kata Agus.
Sumber: BBC Indonesia