PIRAMIDA.ID- Dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Republik Indonesia (PP PMKRI) memberikan sejumlah catatan kritis terkait dengan pelanggaran HAM yang masih terjadi di Indonesia yang sampai saat ini belum diselesaikan dan tidak menemukan jalan keluar.
Alboin Samosir selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI menilai peringatan hari HAM tanpa penyelesaian pelanggaran HAM, merupakan sesuatu yang sia-sia belaka. Pemaknaan hari HAM yang berlangsung setiap tahun, tidak menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah untuk segera menuntaskan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
“Instrumen hukum yang sudah disediakan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM harusnya dapat dioptimalkan dengan baik. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM serta Undang-Undang Nomor 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM, dapat menjadi modal yang ampuh untuk menjerat para pelanggar HAM yang sampai saat ini masih hidup berkeliaran dengan bebas,” bebernya dalam rilis tertulis yang diterima redaksi, Sabtu (11/12/2021).
“Terdapat beberapa pelanggaran HAM yang sampai saat ini menantikan politicall will dari pemerintah untuk segera diselesaikan, di mana berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terdapat 12 pelanggaran HAM yang menanti untuk diselesaikan, di antaranya adalah peristiwa genosida 1965-1966, peristiwa Semanggi, peristiwa Trisakti 1 dan 2, Wasior 2001, Wamena 2003, Paniai, dan penghilangan paksa para aktivis pada 1997-1998,” lanjutnya.
Ia menambahkan, selain proses penyelesaian pelanggaran HAM yang mendesak untuk segera diselesaikan, pemerintah juga harus segera menyelesaikan beberapa rancangan undang-undang yang mampu menjadi jawaban untuk maraknya pelanggaran HAM yang terjadi, di antaranya adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasaan Seksual, RUU Masyarakat Adat, dan perlunya untuk segera merevisi UU No 19 tahun 2016 perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Penyelesaian beberapa RUU ini bukanlah tanpa alasan. Seperti pengesahan RUU PKS mendesak untuk segera diselesaikan mengingat hukum yang berlaku saat ini belum mampu mengakomodir keselamatan perempuan agar terhindar dari kekerasaan seksual. Angka kekerasaan seksual yang meningkat setiap tahun juga menjadi alasan mengapa UU sangat penting disahkan,” jelasnya
Ia juga menuturkan, hal yang sama berlaku juga RUU Masyarakat Adat. Menurutnya, kita yang merupakan bagian integral dari masyarakat adat, perlu menempatkan masyarakat sebagai warga negara yang wajib diakui dan dilindungi, namun hingga saat ini proses pengakuan terhadap masyarakat adat sering sekali menemui jalan bantu, bahkan tidak jarang berujung dengan bentrok (konflik), kriminalisasi, hingga penggusuran.
Alboin menikai, selain membutuhkan itikad baik dari pemerintah, disahkannya RUU ini bisa mempercepat proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
“Dan mengapa perlu untuk segera merevisi UU ITE dikarenakan dalam perjalanannya undang-undang hadir sebagai simbol timpangnya demokrasi, terancamnnya kebebasan, hingga sebagai alat penindas oleh penguasa. Muatan dari pasal ini, terutama di Pasal 27 ayat (1), dan (3) sarat dengan subjektifitas dan penafsiran yang bias alias multitafsir hingga kemungkinan untuk disalahgunakan sangat terbuka luas. Tercatat beberapa aktivis yang bersuara melalui media sosial untuk mengkritik pemerintah terjerat oleh Undang-undang ini,” tuturnya.
Di kesempatan yang sama, Zakarias Willy selaku Ketua Lembaga Kajian Otonomi Khusus Papua PP PMKRI juga menyoroti secara spesifik dugaan pelanggaran HAM di Papua.
“Dalam interval 1969 hingga 2021 terdapat banyak sekali pelanggaran HAM tanpa ada upaya untuk menyelasaikannya, di antaranya adalah operasi Trikora di Nduga, Wamena berdarah, Biak berdarah, Wasior berdarah, Abe berdarah, Paniai berdarah, Serui berdarah, dan daerah lainya di Papua. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Papua, yaitu pemerkosaan, perampasan ruang hidup, diskriminasi, hingga pembunuhan,” terangnya.
Pria yang berasal dari Manokwari ini juga mengatakan, revisi UU Otonomi Khusus Papua yang saat ini sudah disahkan dan pemekaran provinsi di Papua sesungguhnya belum menjawab penyelesaian permasalahan HAM di Papua dan menyembuhkan rasa keadilan di masyarakat, sebab, adanya kebijakan ini sering sekali mengabaikan aspek yang paling penting dari masyarakat Papua, yakni perlunya pengakuan dan perlindungan dari pemerintah.
“Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sudah sedemikian kompleks. Oleh karena itu perlu ada langkah serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Membuka dialog antara pemerintah dengan masyarakat Papua serta memberikan kesempatan bagi jurnalis baik itu jurnalis asing untuk meliput kejadian yang ada di Papua,” harapnya.
Zakaria menjelaskan, selain menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah, Zakarias juga meminta agar kiranya duta besar Vatikan di Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melihat dan merespon pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, di mana sebagian besar yang menjadi korban adalah para jemaat Katolik.
Hal ini juga untuk menindaklanjuti seruan dari para pastor pribumi yang ada Papua agar KWI dan 5 keuskupan yang ada Papua segera merespon dan bersikap atas permasalahan ini.
“Atas nama kemanusiaan, kiranya tidak ada lagi yang meregang nyawa dengan sia-sia akibat konflik yang masih saja terjadi. Atas nama kemanusiaan hentikan upaya militerisasi di Papua. Papua harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi generasi Papua untuk merajut mimpi untuk membawa Papua jauh lebih lagi di kemudian hari. Dan yang terpenting hentikan perebutan sumber daya alam di Papua, sebab perebutan inilah yang sering sekali menjadi awal lahirnya konflik dan pelanggaran HAM,” pungkasnya.(*)