PIRAMIDA.ID- Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menyayangkan adanya tindakan rasisme terhadap orang Papua, di mana dalam hal ini dialami oleh Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Tindakan rasisme ini diketahui dilakukan oleh akun FB bernama Ambroncius Nababan yang mengunggah status gambar/meme percakapan dengan menyertakan wajah Natalius Pigai disandingkan dengan gorilla yang memperbincangkan soal vaksin.
Diketahui, akun tersebut juga menyinggung sikap Natalius Pigai yang menolak vaksin dengan mengatakan, “Edodoeee pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies. Sa setuju pace.” Di postingan yang lain juga ia menuliskan, “Mohon maaf yg sebesar-besar nya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?”
Benidiktus Papa selaku Ketua Presidium PP PMKRI menyayangkan dan mengecam tindakan rasisme tersebut.
“Perbedaan pendapat adalah keniscayaan, termasuk juga soal pro-kontra vaksin. Namun membalas perbedaan pendapat tersebut dengan rasisme merupakan tindakan tidak beradab,” terangnya.
Beni juga meminta agar pelaku rasisme tersebut ditindak agar tidak terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama sekali terjadi, mungkin segar dalam ingatan kita bagaimana tindakan rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya. Karena itu, negara harus perlu hadir menyelesaikan permasalahan ini, pelaku rasisme perlu ditindak dengan tegas,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, perlakuan rasisme ini bukan hanya tentang Natalius Pigai, tetapi dengan orang Papua lainnya.
“Apa yang dilakukan oleh Ambroncius tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Ras tepatnya di Pasal 4 huruf a yang memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama ia mengatakan, agar kiranya undang-undang ini dapat dioptimalkan untuk menindak para pelaku rasisme. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang ini dan juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Karena itu, polisi harus segera menangkap dan menindak pelaku, agar memberikan kenyamanan dan kepastian di masyarakat,” tegasnya.
Alboin Samosir, Pengurus Pusat PMKRI mengatakan, tindakan rasisme terhadap orang Papua tampil dalam banyak bentuk wajah.
“Rasisme terhadap orang Papua, tidak hanya olokan yang menjurus ke rasialis tetapi juga sikap-sikap atau kebiasaan orang Papua yang cenderung didiskreditkan dan distigma negatif,” imbuhnya.
Ia berharap, tindakan-tindakan seperti ini harusnya mulai ditanggalkan, orang Papua harus mendapatkan kedudukan yang sama sebagai warga negara Indonesia, meletakkan kemanusian di atas segalanya. Agar kiranya, tidak terjadi konflik sturuktural maupun horizontal.
“Perlakuan rasisme yang dialami oleh Natalius Pigai dan orang Papua pada umumnya harus menjadi perhatian kita bersama, sebagai bangsa yang lahir dari keberagaman baiklah kiranya kita adil sejak dalam pikiran, menyelamatkan diri kita dari rasisme kita sendiri dan kemanusiaan kita yang harus diperkuat kembali,” tutupnya.(*)