PIRAMIDA.ID- Meski telah menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada akhirnya resmi menjadi Undang-Undang setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada 5 Oktober 2020 lalu dan mulai berlaku setelah Presiden Joko Widodo menandatangani pada 2 November 2020.
Pasca ditandatangani Joko Widodo, undang-undang yang telah diberi nomor 11 tahun 2020 itu disebut masih bermasalah. Sebagai contoh, dalam Pasal 6 (halaman 6 UU Cipta Kerja merujuk Pasal 5 ayat 1 huruf a padahal di Pasal 5 UU ini tidak ada ayat tersebut). Kedua, pada Pasal 53 (halaman 757) ayat (5) pasal itu harusnya merujuk pada ayat (4), tapi ditulisnya ayat (3). Ketiga, kejanggalan di Pasal 151 yang masuk dalam BAB IX Kawasan Ekonomi. Pasal 151 ayat (1) merujuk Pasal 141 huruf b soal Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, padahal Pasal 141 tak mempunyai ayat sama sekali.
Melihat hal tersebut, Alboin Samosir, selaku Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman berpendapat, “Semenjak awal undang-undang ini sudah bermasalah, mulai dari proses legislasi hingga pembahasan sudah banyak aspirasi didengungkan, tetapi DPR dan pemerintah tutup mata dan dianggap angin lalu. Tentu saja ini akan menjadi preseden buruk dalam ketatanegaran kita.”
Ia menambahkan, “Terjadinya kesalahan ini menjadi bukti bahwa undang-undang ini dikerjakan secara serampangan, tidak penuh kehati-hatian, dan yang pastinya kesalahan ini tidak terlepas dari proses legislasi di DPR yang dikerjakan secara tertutup dan terburu-buru.”
Selain itu, ia juga menegaskan pengesahan ‘undang-undang gigantik’ ini yang tentunya berdampak gigantik pula terhadap publik, tentu sebuah kekonyolan apabila terjadi kecolongan dengan adanya kesalahan-kesalahan teknis pengetikan di dalamnya.
“Setiap kata-kata yang tertuang di dalam undang-undang yang telah disahkan itu sudah pasti memiliki muatan makna dan dampak. Apabila ada kecolongan dengan dalih kesalahan pengetikan ini, sudah pasti itu kesalahan fatal yang tidak bisa ditolerir,” ungkapnya tegas.
Ia menambah, selain juga undang-undang ini bermasalah secara materiil, kesalahan-kesalahan konyol ini berpotensi mengandung bahaya laten di dalamnya sebab hilangnya kepastian hukum.
“Pernyataan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara yang menyatakan tidak ada kesalahan yang berarti tidak sepenuhnya tepat, karena muatan pasal seperti ini rawan untuk diplintir di kemudian hari dan berpeluang menjadi pasal karet. Oleh karena itu, perlu ada sikap tegas dari Presiden Joko Widodo untuk mengatasi kegaduhan ini, yakni dengan menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU),” tutupnya.(*)