Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Bagi saya, Pramoedya adalah salah satu dari tiga penggambar besar bangsa kita. Jika Nurcholish Madjid adalah penggambar paling fasih tentang ”Islam dan Indonesia,” lalu HAMKA adalah penggambar setia tentang ”umat dan sikap,” maka Pram adalah penggambar idealis tentang ”rakyat dan nasibnya.”
Cara Pram menggambar Indonesia sangat detail. Walau orang kampung, dia berpikir dan bertindak dunia. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925—wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, Pram secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia.
Berasal dari keluarga yang punya ”sikap” dan pengabdian pada idealisme, Pram adalah pewaris dan penanda keluarga besarnya. Buktinya adalah, ia menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing dan beberapa kali mendapat nominasi Nobel Sastra. Satu momen yang tak dipunyai sastrawan lainnya di Indonesia.
Bukti lainnya, ketika Pramoedya Ananta Toer meninggal, ribuan tokoh datang berziarah dan menyanyikan lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya. Pasti ini sulit dilakukan oleh manusia biasa.
Kata Nabi, ”jika engkau ingin tahu apa nasib mayat di akhirat nanti, lihatlah yang datang berziarah. Banyaknya peziarah yang datang adalah bukti doa dan kehilangan dari banyak orang.” Dan, jasad Pram telah membuktikan sabda Nabi dengan kematian yang diantarkan begitu banyak kawan serta menguras air mata para ”Pramisme.”
Sebagai sastrawan dunia, Pram memang dahsyat dan memikat. Publik internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, menjulukinya sebagai Albert Camus Indonesia. Bahkan Pram masuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.
Profilnya pernah ditulis di New Yorker dan The New York Time. Pram juga dianggap sebagai orang paling berpengaruh di Asia menurut majalah Time sehingga memperoleh berbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award.
Jika kita baca novel-novel sejarah yang dibuat Pram, kita akan temukan sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah umum. Bukunya punya ciri yang sama sekali berbeda dengan sejarah yang diajarkan di bangku-bangku sekolah.
Hal ini mungkin karena Pram menyukai karya Leo Tolstoy, Anton Chekov, Gunter Grass dan John Steinbeck yang memang sering menulis apa yang tidak dipikirkan oleh ”yang umum.” Sebab, Pram punya ciri dan cara tersendiri dalam menuliskan sejarah dan peristiwa di sekitar kita. Ciri utamanya adalah realisme yang menghentak, penuh pesan dan kaya makna.
Republik Yang Memenjara, Dunia Yang Terkagum
Pram bagai potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dipenjara di negerinya sendiri oleh para penguasa yang pongah dan pendek umur. Sebaliknya, ia panjang umur walau sudah mati karena warisan buku baik kumpulan cerpen maupun novel.
Hidupnya kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Karena itu, waktunya habis di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman kebiadaban Soekarno, maupun rezim jahat Soeharto.
Waktu revolusi kemerdekaan masih berkobar, ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Selanjutnya dijebloskan lagi oleh Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia yang ditulisnya. Sebuah buku yang berisi penentangan terhadap peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Lalu, rezim Soeharto menangkapnya setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat [LEKRA]—onderbouw Partai Komunis Indonesia—ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan sehingga ia terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Bahkan setelah bebas ia masih dijadikan tahanan rumah dengan menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas,’ hak-hak sipilnya terus dibrangus, buku-bukunya dilarang beredar.
Bahkan larangannya belum dicabut sampai hari ini. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, , rumahnya dan tulisan-tulisannya. Waktunya terus menerus diawasi oleh intel-intel yang membatasi geraknya. Karena itu, tidak seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya.
Ia khawatir bila mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.
**
Pertanyaan banyak orang pada Pram adalah, kenapa ia begitu kuat? Siapa yang mengajari dan sangat berpengaruh dalam hidupnya? ”Hidup di Indonesia yang tak berperikemanusiaan tentu harus kuat dan tabah. Jika tidak, kita akan ditindasinya bahkan dilenyapkan, begitu kata Pram.”
Dan, ternyata bagi Pram, ibulah yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Saidah, nama ibu Pram adalah sumber inspirasi. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya terinspirasi oleh ibunya.
Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun.” Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan: ibunya.” Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu Pramoedya berumur 17 tahun.
Setelah ibu tiada, Pram dan adiknya menetap di Jakarta dan masuk ke Radio Vakschool. Pram dilatih menjadi operator radio yang ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Selanjutnya, Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei.
Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer dan jurnalis sekaligus. Pada tahun 1945, Pram bergabung dengan para nasionalis melawan Belanda. Lalu, ia bekerja di radio dan membuat majalah berbahasa Indonesia sebelum ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Pada tahun-tahun inilah—selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949)—Pram menulis novel pertamanya, Perburuan (1950).
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi. Sedangkan Tjerita Dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita Dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pram rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pram mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.
Kecakapannya dalam menulis buku juga dikarenakan Pram bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Sejarah kemudian menulis bahwa akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ini, Pram jadi anggota pleno dan wakil ketua Lembaga Sastra. Pram juga pendiri Akademi Multatuli yang disponsori LEKRA. Dari sinilah bibit penjara selalu menjenguknya. Dan, sekali waktu keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja Pram tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar.
Untuk itu, Pram mengaku menggunakan caranya sendiri dalam mengajar. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran. Hal ini karena koran adalah penyuplai informasi terkini yang hadir dengan rajin. Koran adalah jendela pengetahuan terbaru dan potret utama sebuah bangsa. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.
Dalam perjalanannya nanti, dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Perlakuan yang sangat menyakitkan dan tidak manusiawi. Lalu, Pram melawan. Ia menuliskan perlawanan ini dalam berbagai kesempatan. Intinya satu, republik ini bukan milik satu dua suku. Ia milik semua suku. Milik anak semua bangsa yang tinggal dan mau berkarya demi Indonesia.
Tahun 1965-an, Soeharto jadi presiden kedua dengan dukungan Amerika yang tidak suka Soekarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan PKI dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis.
Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang disokong militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965 selama 15 tahun. Alasan pengadilan memenjarakannya adalah karena perlawanannya dengan kritis pada Soeharto dan (anggapan) dukungannya pada Soekarno.
Padahal, rezim Soekarno juga menghukumnya. Alasan pengadilan waktu itu ada dua. Pertama, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikel yang dikumpulkan menjadi buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, Pram mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Buku ini dengan sangat jelas mengkritik cara pemaknaan republik yang timpang dan rasis.
Menjadi Penggambar Terhebat Tentang Indonesia
Tahun 1972-1979, Pram terpaksa diizinkan rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali hingga menghasilkan tetralogi (4) rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan.
Saking hebohnya, pemerintah membredelnya. Sedang dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca saat itu terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan beberapa karya awalnya, karya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana tetapi menohok dan subtansial. Apanya yang subtansial? Tentu perlawanannya.
Bagi Pram, hanya dengan melawan, bangsa ini merdeka. Dan hanya dengan melawan, feodalisme dapat diruntuhkan. Jika kaum muda merasa dijajah kaum tua, satu-satunya cara adalah ”melawan.”
”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya [h.405].” Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali kita kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan.
Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina [h.646].” Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian.” Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa.” Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan?
Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut [h.536].” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Penggambaran bangsa kita yang kalah walau sudah melawan menjadi topik subtansial dari Pram. Istilah kerennya adalah, ”tidak semua perjuangan akan menghasilkan.” Sebab, perlawanan dipikirkan kaum cerdas, dilaksanakan kaum pemberani, ditunggangi kaum jahat dan dinikmati kaum licik.
Saya kira, bagi para pejuang Indonesia yang ingin merdeka 100% harus sadar akan hal ini. Agar tak kecewa ketika gagal dan kalah bahkan dipenjara. Hadiahnya cuma ”panjang dikenang” oleh generasi berikutnya. Selebihnya, ia hanya cerita. Sebab karena hanya cerita, kita lihat hari ini kaum muda kehilangan perlawanan. Sebaliknya mereka jadi hamba atas apa saja.
Sekaligus menegaskan bahwa bangsa kita secara umum adalah ”bangsa hamba sahaya. ”Hamba sahaya jelita, disiksa. Hamba sahaya jelata disetrika. Hamba sahaya berseragam dibunuh alutista.” Tetapi, para hamba sahaya ini masih ingin jadi hambanya hamba. Buktinya, kekuatan kaum muda hari ini terpuruk mentalitasnya dengan menjadi ”sekedar pekerja” atau tim sukses tanpa format yang jelas.
Mereka serentak menjadi pagar ayu dan dayang-dayang yang tak malu mengemis plus tahu bahwa ”tidak ada perkaderan” dalam tradisi kita. Mereka tak berani ambil resiko seperti Soekarno dan Tan Malaka yang dipenjara. Padahal, tidak ada yang lebih berbahaya selain tidak adanya keberanian mengambil resiko kata Pep Guardiola, pelatih Klub Bercelona ketika mengantarkan klubnya juara piala Chmapions 2009.
Kita memang kehilangan keberanian dan ketakutan terhadap resiko-resiko yang tak seberapa. Inilah awal mula kehancuran bangsa. Sebuah kehancuran karena berasal dari kaum muda yang tak melawan, yang tak punya idealisme.
Padahal, bagi Pram, kaum tua hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat. Kaum tua terlalu banyak pikiran, kurang tindakan. Kaum tua terlalu banyak larangan, terlalu banyak perintah. Kerana itu mereka sedikit sekali pemberontakan, terlalu kecil perlawanan. Bagi Pram, kita tak bisa berharap pada kaum tua. Pada kaum mudalah kita menaruh harapan.
Bahwa kaum muda sampai hari ini belum memenuhi harapan kita, biarlah zaman yang menilainya. Zamanlah yang akan menjadi saksi, adakah kaum muda berani melawan atau sekedar menjadi pengemis di negeri ini!
***
Sejarah kemudian mencatat, karena perlawanan Pram pada penjajah [asing maupun lokal] maka enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya. Sepeninggalnya, kita tahu bahwa Pram adalah pribadi yang kuat minatnya pada sejarah sehingga suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian dikliping.
Sekarang buku-bukunya harus dibaca anak-anak muda, apalagi karena dapat dilihat dan didapat di setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
Buat Indonesia, Pram telah mewariskan ”gambaran utuh” tentang apa yang harus dilakukan. Sebuah warisan tak ternilai yang harus segera diterjemahkan oleh kaum muda jika ingin rakyat selamat dari amok neo-kolonialisme.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).