Presiden Prabowo ke Timur Tengah: Mengukuhkan Posisi Indonesia di Panggung Global
Oleh: Fawer Full Fander Sihite, S.Th., S.H., MAPS
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke lima negara di Timur Tengah Persatuan Emirat Arab (PEA), Turkiye, Mesir, Qatar, dan Yordania merupakan langkah strategis yang mencerminkan arah baru diplomasi Indonesia. Bagi saya, lawatan ini bukan sekadar kunjungan kenegaraan, tetapi simbol kuat bahwa Indonesia sedang memperkuat eksistensinya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Di tengah dinamika global dan ketegangan perang dagang antar negara besar, Indonesia tampil sebagai kekuatan yang mampu menjaga keseimbangan dan memainkan peran penting di kancah internasional. Kehadiran Presiden Prabowo di Timur Tengah adalah bukti bahwa Indonesia dihormati, diperhitungkan, dan dipercaya oleh berbagai pihak di dunia.
Selain mempererat hubungan bilateral dan kerja sama strategis, kunjungan ini diyakini akan membuka ruang lebih luas bagi masuknya investasi. Negara-negara di Timur Tengah memiliki potensi besar dalam hal pendanaan dan pembangunan di Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah dan stabilitas politik yang terus terjaga, menjadi destinasi yang sangat menarik untuk investasi jangka panjang.
Menariknya, lawatan ini dilakukan tak lama setelah pertemuan Presiden terpilih Prabowo dengan Ibu Megawati Soekarnoputri. Bagi saya, ini adalah sinyal kuat bahwa politik dalam negeri sedang berada dalam kondisi yang kondusif. Presiden Prabowo mendapatkan dukungan dari berbagai elemen bangsa, yang menjadi fondasi penting untuk membangun Indonesia ke depan.
Saya optimis, sepulangnya dari Timur Tengah, Presiden Prabowo akan membawa pulang kabar baik untuk bangsa ini terutama dalam mendorong tren positif bagi perekonomian nasional. Indonesia sedang bersiap menuju babak baru yang lebih menjanjikan, dengan diplomasi aktif, stabilitas dalam negeri yang terjaga, dan kepercayaan global yang terus menguat.
Dalam konteks global yang saat ini diwarnai oleh ketegangan geopolitik, krisis ekonomi, serta dampak berkepanjangan dari perang dagang antara kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, kehadiran Indonesia di kawasan Timur Tengah membawa harapan baru. Negara-negara seperti PEA, Qatar, dan Turkiye kini memainkan peran signifikan dalam peta politik dan ekonomi dunia. Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, memiliki kedekatan kultural dan sejarah yang kuat dengan kawasan ini. Maka, menjalin kemitraan strategis dengan mereka bukan hanya relevan, tetapi juga mendesak.
Lebih dari sekadar kunjungan seremonial, perjalanan ini memiliki potensi besar dalam membuka keran kerja sama ekonomi, perdagangan, energi, ketahanan pangan, hingga pertahanan. Turkiye dan Qatar, misalnya, dikenal sebagai negara yang tangguh dalam mengelola teknologi militer dan pertahanan. Sementara itu, PEA dan Yordania adalah mitra penting dalam hal energi terbarukan dan teknologi hijau. Dalam konteks Mesir, kerja sama pendidikan dan keagamaan bisa menjadi kekuatan lunak (soft power) yang memperkuat peran Indonesia dalam dunia Islam moderat.
Selain itu, kunjungan ini juga dapat menjadi momen reflektif terhadap kebijakan fiskal di dalam negeri, khususnya terkait efisiensi anggaran APBN. Meskipun efisiensi menjadi narasi utama dalam reformasi birokrasi dan pengelolaan keuangan negara, dampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemotongan anggaran yang terlalu drastis atau tidak selektif bisa melemahkan sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, riset, hingga perlindungan sosial. Oleh karena itu, diplomasi ekonomi yang dijalankan melalui kunjungan ini diharapkan dapat membuka akses investasi, hibah, hingga kerja sama strategis yang bisa menjadi alternatif solusi dalam menjaga stabilitas fiskal nasional.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak perang dagang global, terutama kebijakan Amerika Serikat yang semakin agresif dalam melindungi pasar domestik mereka. Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu memperkuat kemitraan dengan negara-negara nonblok yang memiliki sumber daya, kekuatan ekonomi, dan kesamaan visi geopolitik. Timur Tengah adalah salah satu jawabannya. Kolaborasi dengan kawasan ini memungkinkan Indonesia untuk mendiversifikasi rantai pasok, memperkuat kemandirian energi, serta memperluas pasar ekspor bagi produk dalam negeri.
Kunjungan ini, bagi saya, adalah sinyal tegas bahwa Indonesia sedang bergerak menuju diplomasi yang lebih proaktif, adaptif, dan berbasis kepentingan nasional jangka panjang. Presiden Prabowo menunjukkan bahwa diplomasi bukan hanya soal hubungan antarnegara, tetapi juga instrumen penting untuk menjawab persoalan dalam negeri secara konkret. Ia menunjukkan bahwa wajah diplomasi Indonesia ke depan bukan lagi pasif dan reaktif, tetapi ofensif dalam arti positif berani menjalin kemitraan, menawarkan nilai, dan memperjuangkan posisi strategis di panggung global.
Akhir kata, kita semua berharap bahwa kunjungan ini tidak berhenti di tataran simbolik, tetapi ditindaklanjuti secara serius dalam bentuk kerja sama nyata. Rakyat menanti hasil yang konkret, baik dalam bentuk stabilitas ekonomi, peluang kerja, investasi masuk, maupun penguatan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang dihormati dunia.
Penulis opini ini, Fawer Full Fander Sihite, S.Th., S.H., MAPS, merupakan penulis buku Internasional Awam dan saat ini sedang menempuh studi doktor teologi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. (Tim).