Delima Silalahi*
PIRAMIDA.ID- “Program Food Estate adalah anugerah bagi Kabupaten Humbang Hasundutan,” tegas seorang anggota DPRD Humbang Hasundutan pada sebuah acara seminar.
Pernyataan yang bernada positif ini mencerminkan optimisme elit politik lokal terhadap manfaat yang ditimbulkan dari program pemerintah tersebut.
Secara umum “Food Estate” terkait dengan gagasan pengembangan pangan secara terintegrasi di suatu kawasan. Sebagai bagian dari Program Strategis Nasional 2020-2024 “Food Estate” diharapkan bisa meningkatkan cadangan pangan nasional.
Ketergantungan pada impor pangan menyebabkan upaya semacam ini mendesak segera diwujudkan, sekaligus menjadi prioritas. Humbang Hasundutan merupakan salah satu wilayah yang ditetap pemerintah untuk mewujudkan program tersebut.
Tapi di hari yang lain di suatu siang, di sekitar areal pengembangan Program Food Estate di Siria-ria, seorang bapak bertutur bahwa mereka masih kebingungan dengan program Food Estate yang saat ini berkembang di kampung mereka.
“Katanya kami akan dibantu modal dan hasilnya untuk kami nantinya. Asalkan kami mau tanah kami dijadikan areal food estate. Bagi yang mau, harus mendaftar jadi anggota kelompok tani, namun pengelolaannya adalah pribadi. Namun, sebenarnya tidak seluruhnya dimodalin, kami harus memiliki modal sendiri juga untuk membiayai satu hektar tanaman bawang merah.Untuk itulah kami meminjam uang. Kalau tidak ada uang, ya pupuk yang diberikan kami cukup-cukupkan untuk satu hektar.”
Teman bapak ini menambahkan, “Makanya, pertumbuhannya mungkin kurang dibandingkan yang dikelola pemerintah. Punya kami, masih kecil, pucuknya sudah mengering. Mungkin kurang pupuk karena kami tidak punya modal menambah pupuk sebagaimana yang dianjurkan pemerintah.”
Sementara itu menurut seorang pemuda “saat ini ada juga 15 hektar yang dikelola oleh pemerintah, kami digaji setiap harinya antara Rp.80.000 sampai Rp. 100.000, lumayanlah buat kami.”
Seorang Bapak yang lain mengatakan “sejak ada program ini di kampung kami, sebagian besar dari kami lebih memilih jadi pekerja harian daripada mengusahai kemenyan, andaliman dan kopi. Apalagi sekarang kopi juga harganya tidak terlalu bagus. Lumayanlah kami tidak terlalu capek tapi dapat uang.”
Bagitulah pendapat sebagian kecil petani yang berada di areal Food Estate Siria-Ria. Areal ini merupakan tahap pertama pembangunan Food Estate seluas 215 hektar.
Menurut Bapak Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan, pada Senin, 18 Januari 2021 di kantornya, lahan tersebut sebelumnya adalah semak belukar yang tidak di Kelola masyarakat. Oleh karena itu kehadiran Program Food Estate sangat membantu masyarakat. “Sebagai bupati tentunya saya tidak akan setuju jika pengembangan program Food Estate ini mengganggu tanaman kemenyan”, tegasnya lagi.
Pernyataan bupati tentunya mendukung sikap masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta yang menolak sekiar 2051 hektar wilayah adatnya masuk menjadi areal Food Estate sebagaimana disebutkan dalam SK Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta No. 8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020. Pengalihan 2051 hektar hutan kemenyan mereka menjadi areal Food Estate sungguh melahirkan pertanyaan besar bagi masyarakat adat. “Siapa yang memberikan?”, “Mengapa mereka tidak meghargai wilayah adat kita?” dan berbagai pertanyaan lainnya.
Kekecewaan ini tentu bukan tanpa alasan, sejak awal, Juni 2009, tuntutan mereka adalah mengembalikan hutan kemenyan mereka yang diklaim negara sebagai Kawasan Hutan. “Sejak awal kami menuntut tanah adat kami, tidak berkurang dan bertambah sejengkal pun”, kata Pdt Haposan Sinambela.
“Selama ini mayoritas anggota masyarakat adat adalah petani kemenyan, hidup dari kemenyan, mengapa dengan sewenang-wenang tiba-tiba lebih dari setengah hutan kemenyan kami dimasukkan menjadi areal food estate. Ada apa ini?”, tanya James Sinambela, Ketua Perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, ketika kami berkunjung ke kebun jeruknya awal Januari lalu.
“Kami selama ini hidup dari kemenyan, bukan dari bawang merah, bawang putih atau kentang, kenapa pemerintah sesuka hatinya”, kata Ibu Lumban Gaol.
Melahirkan Berbagai Polemik
Sejak dicanangkan, Juli 2020 lalu, Program food estate di Humbang Hasundutan menjadi polemik. Penyebab utamanya adalah karena program ini muncul dengan tiba-tiba.
Sebagai Proyek Startegis Nasional untuk Ketahanan Pangan, penunjukkan areal ketahanan pangan di Humbang Hasundutan tanpa sepengatahuan masyarakat luas khususnya masyarakat adat yang masih banyak terdapat di sana.
Bagaimana mungkin proyek strategis yang membutuhkan lahan yang sangat luas ini diputuskan sepihak oleh negara. Negara bisa saja meng-klaim bahwa lahan-lahan yang dialokasikan tersebut adalah milik negara, tapi di areal yang sama juga masyarakat adat sudah hidup lebih dari ratusan tahun dan tergantung hidupnya dari ketersediaan lahan tersebut.
Tidak hanya itu, bagi masyarakat adat Batak Toba, tanah merupakan identitas, tanah adalah marga dan marga adalah tanah. Tidak ada tanah yang tidak dimiliki oleh marga-marga yang menyebar di Tanah Batak.
Termasuk di areal di mana food estate akan dikembangkan. Setidaknya pemerintah, ketika memutuskan hal tersebut, sebagai negara demokratis, wajib memberikan tuang bagi masyarakat untuk bersuara. Jangankan rakyat, dari beberapa anggota DPRD di Humbang Hasundutan, juga mengatakan tidak paham dengan latar belakang proyek ini ditempatkan di Humbang hasundutan.
Fenomena ini membuat program Food Estate hampir tidak ada bedanya dengan penguasaan tanah adat secara sepihak yang sudah terjadi berulang-ulang dalam sejarah Indonesia. Lebih parah lagi, dalam program Food Estate pengaturan pengelolaan lahan secara sepihak tersebut dilakukan langsung oleh negara. Tentu saja masih dengan menggunakan alasan klasik “atas nama kepentingan pembangunan nasional.”
Polemik lainnya adalah di areal tersebut juga sejak lama muncul banyak konflik agraria yang belum terselesaikan. Klaim negara di wilayah adat yang dengan sepihak memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari (dulu PT Inti Indorayon Utama) di tahun 1992 menyisakan ketegangan dan konflik berkepanjangan.
Proses eksklusi melalui perampasan tanah dan penutupan akses masyarakat adat atas wilayah adatnya menimbulkan perlawan sejak dulu hingga saat ini. Setidaknya itu yang dilakukan komunitas masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Komunitas Masyarakat Adat AMA Raja Medang Simamora di Sitakubak, dan Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria -Parlilitan sejak tahun 80-an hingga saat ini.
Berbagai upaya sudah dilakukan, namun pemerintah terkesan lambat dalam upaya penyelesaian konflik agraria ini. Bahkan hingga kini belum ada Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Humbang Hasundutan secara umum, yang menjadi salah satu syarat penetapan Hutan Adat sesuai Amanat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tahun 2019, Pemkab Humbang Hasundutan hanya menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan – Sipituhuta. Belum berlaku untuk seluruh masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta. Sehingga penunjukan areal Food Estate seluas 23 ribuan hektar di HUmbang Hasundutan akan berpotensi menimbulkan konflik structural dan horizontal. Sudah seharusnya pemerintah kabupaten Humbang Hasundutan mempercepat upaya penyelesaian konflik di kabupaten tersebut. Salah satunya dengan menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Pandumaan Sipituhuta.
Selain berpotensi meningkatkan konflik agraria, program ini juga berpotensi menimbulkan deforestasi. Peruntukan lahan untuk areal Food Estate seluas 23 ribuan hektar di Humbang hasundutan pada umumnya masih hutan. Setidaknya dari data investgasi yang dilakukan tim Studi dan Advokasi KSPPM dan masyarakat adat Pandumaan-Siputuhuta, 25 Januari 2021 lalu, di Hutan Kemenyan Pandumaan Sipituhuta yang masuk dalam areal Ketahanan Pangan, justru masih ditumbuhi tanaman kemenyan dan kayu alam lainnya. Seluas 2051 hektar hutan kemenyan mereka terancam keberlanjutannya jika pemerintah memaksakan program ketahanan pangan dilanjutkan di hutan kemenyan tersebut.
Walau pemerintah daerah memberikan bantahan bahwa dalam pengembangan proyek ketahanan pangan ini, tidak akan ada alih fungsi hutan, namun terbitnya peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.24/Menlhk /Setjen/KUM.1/2020 tentang Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan justru menunjukkan bahwa proyek ini sangat berotensi menghancurkan hutan-hutan kemenyan dan hutan alam di Kabupaten Humbang Hasunduta. Bukankah deforestasi juga menjadi penyebab perubahan iklim yang memperparah krisis pangan dunia saat ini?
Pemerintah harus benar-benar melakukan kajian terkait dengan ini, mengingat deforestasi di Indonesia terus meningkat di saat bangsa ini juga memiliki komitmen pengurangan emisi di tahun 2030. Agar komitmen yang satu tidak kontraproduktif dengan tujuan yang lain.
Kedaulatan Pangan tentunya akan terwujud jika rakyat juga berdaulat atas tanahnya.
Berdaulat tidak hanya terkait legalisasi asset melalui program sertifikasi, seperti yang dilakukan di lokasi Siria-Ria. Tetapi para petani juga harus berdaulat menanam jenis tanaman yang diproduksi. Bukan malah menjauhkan petani local dari produk yang mereka produksi dan konsumsi selama ini.
Kedaulatan pangan juga dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Tapi kemakmuran dan kesejahteraan tersebut hampir tidak ada artinya jika program ini justeru memperparah konflik agraria yang masih terus mendera berbagai wilayah di Sumatera Utara; bahkan sebaliknya berpotensi menjadi ironi yang tragis seperti yang kerap terjadi ketika kebijakan yang kononnya menolong rakyat justru membawa malapetaka.
Akhirnya program Food Estate seperti amnesia yang tidak lucu. Kerusakan lingkungan adalah persoalan mendasar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di kawasan Danau Toba. Mengorbankan kelestarian hutan kemenyan untuk program yang rendah partisipasi dan berpotensi konflik membuat keberlangsungan upaya memperkuat cadangan pangan nasional dalam jangka panjang patut dipertanyakan.(*)
Penulis merupakan Direktur Program KSPPM.