Dion A. F. Siallagan & Daulat Nathanael Banjarnahor, S.H., M.H.*
PIRAMIDA.ID- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah, batas, serta hak yang melekat ditetapkan berdasarkan pada Undang-Undang. Indonesia sebagai sebuah negara tentu memiliki wilayah yang strategis, luas, berbatasan dengan beberapa negara sehingga memiliki nilai strategis.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah seluruh komponen negara harus bersama-sama menjaga dan mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI serta menjaga segenap warga negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan sistem penyelenggaraan negara yang memadai dikaitkan dengan setiap ancaman yang dapat timbul setiap saat.
Maka landasan dan perwujudan dari konsep bela negara, yaitu “wajib militer”. Subjek dari konsep tersebut, yaitu tentara/perangkat untuk pertahanan negara lainnya, baik untuk pekerjaan yang telah dipilih sebagai akibat dari sebuah rancangan tanpa dasar.
Melihat fakta ini, pemerintah melalui pengajuan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara menawarkan konsep Pendidikan Militer bagi warga negara selain Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam batasan umur tertentu dan kondisi kesehatan tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Jika dilihat dari sisi pihak yang pro terhadap pendidikan militer, argumen yang dibangun adalah bahwa; pertama, dari sisi filosofis, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran negara menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara dan bukan monopoli militer.
Kedua, fakta bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas, belum dibarengi dengan jumlah Pasukan TNI aktif yang memadai.
Ketiga, kondisi Indonesia di mana semakin maraknya paham radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang dapat menguras sikap nasionalisme dan budaya bangsa, oleh karena itu bela negara, dan salah satunya melalui sarana pendidikan militer sangat dibutuhkan dalam menangkal pengaruh-pengaruh yang dianggap berbahaya.
Keempat, dilihat dari sisi yuridis, bahwa setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30 ayat 1 UUD 1945).
Terakhir, permasalahan/konflik luar negeri, misalnya konflik antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok yang semakin memanas di Laut China Selatan, sehingga pemerintah melakukan antisipasi dan upaya dengan melakukan wajib militer yang salah satunya adalah lewat sarana pendidikan militer.
Jika dilihat dari sisi pihak yang kontra terhadap pendidikan militer, argumen yang dibangun adalah bahwa; pertama, bahwa semakin berkembangnya zaman, maka perkembangan teknologi semakin tinggi, perlengkapan dan persenjataan semakin canggih pula, sehingga tidak perlu kuantitas tetapi kualitas militernya.
Kedua, bahwa pendidikan itu bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan (Tan Malaka), yang artinya bahwa pendidikan itu tidak mengasah kemampuan berperang tetapi berpikir.
Ketiga, dari sisi filosofisnya bahwa bentuk bela negara dengan pendidikan militer atau wajib militer bukanlah suatu hal yang urgen jika dikaitkan dengan politik luar negeri Indonesia yang lebih mengedepankan perdamaian dan komunikasi dan mengatasi konflik, dan tanpa menerapkan pendidikan militer sejatinya warganegara telah menjalankan peran dalam upaya bela negara, yakni melalui pengabdian sesuai profesi dalam bidangnya masing-masing yang semata-mata merupakan wujud pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Terakhir, dalam aspek sosiologisnya, pendidikan militer berpotensi menimbulkan dampak negatif di masyarakat, contohnya di Korea Selatan, pada bulan Juli tahun 2014 yang lalu anggota wajib militernya tewas bunuh diri karena tekanan mental, konflik lain lagi di mana anggota wajib militer menembakkan senjatanya kepada lima anggota wajib militer lainnya karena hal yang sepele.
Oleh karena itu, menimbang berbagai argumentasi tersebut penulis mengajukan konsep bela negara tanpa dengan menerapkan wajib militer dalam bentuk pendidikan militer, yaitu antara lain memulai menerapkan pendidikan karakter, dengan argumen bahwa pendidikan karakter memiliki cakupan luas, tidak hanya mampu untuk menciptakan dan menguatkan karakter seseorang, akan tetapi juga bermanfaat untuk melatih mental dan moral.
Hal ini juga akan mencegah terjadinya kondisi mental individu yang malas dan moral yang buruk, serta dengan menerapkan pendidikan karakter sejak dini, secara perlahan dan bertahap sikap dan karakter anak bangsa akan terbaharui dan memiliki jiwa nasionalisme dan cinta akan negara.
* Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaran FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.
** Dosen Program Studi Pendidikan Kewarganegaran FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.