Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Tepat pada hari ini, Kamis 22 April 2021 merupakan peringatan Hari Bumi Sedunia atau Earth Day. Peringatan Hari Bumi internasional kali ini mengangkat tema “Restore Our Earth” atau Pulihkan Bumi Kita. Sebagaimana dikutip dari laman earthday.org tema Hari Bumi tahun ini berfokus pada proses alami, teknologi hijau, dan pemikiran inovatif yang dapat memperbaiki ekosistem dunia.
Sejarah Hari Bumi Sedunia
Hari Bumi merupakan peristiwa lahirnya gerakan lingkungan modern pada tahun 1970. Hari Bumi pertama kali dicanangkan oleh pengajar lingkungan Amerika Serikat, Gaylord Nelson pada 1970. Sejarah Hari Bumi dimulai pada tahun 1960-an hingga 1970-an di mana pada saat itu Amerika Serikat sedang mengalami gejolak ekonomi dan politik.
Terinspirasi oleh gerakan mahasiswa antiperang, Gaylord Nelson ingin menanamkan energi protes anti perang mahasiswa dengan kesadaran publik yang muncul tentang polusi udara.
Nelson kemudian mengutarakan idenya itu saat mengajar di kampus-kampus dan mengabarkan kepada media. Setelah merekrut banyak orang dari berbagai kalangan aktivis, kampanye kemudian diganti nama menjadi Hari Bumi, yang segera menarik perhatian media nasional, dan menyebar ke seluruh AS. Kemudian tanggal 22 April dipilih untuk memaksimalkan partisipasi hadir dalam kampanye tentang lingkungan.
Kini lebih dari 1 miliar orang di 192 negara sekarang berpartisipasi dalam kegiatan Hari Bumi setiap tahunnya.
Selama 51 tahun sejak pertama kali Hari Bumi diproklamirkan, pergerakan terus berlanjut untuk menginspirasi, menumbuhkan ide, memotivasi dan membangun kepedulian untuk beraksi di kalangan masyarakat. Hari Bumi dijadikan sebagai suatu momentum untuk menyoroti masalah lingkungan yang sedang berkembang sekaligus menciptakan gagasan-gagasan solutif untuk mengatasi permasalahan lingkungan.
Situasi dan Kondisi Permasalahan Bumi sebagai Lingkungan Hidup saat ini
Kini berbagai permasalahan seperti pembakaran kawasan hutan demi pembukaan kawasan perkebunan monokultur atau kawasan industri ekstraktif dan pemanasan global merupakan isu lingkungan yang banyak menjadi sorotan. Melansir dari pemberitaan Greenpeace.org hasil analisis Greenpeace Internasional mengungkapkan beberapa perusahaan ternama dunia berada di balik peristiwa kebakaran hutan dan telah memicu perubahan iklim. Dikarenakan masih membeli komoditas minyak sawit dari pemasok yang berhubungan langsung dengan kebakaran hutan.
Namun, pemerintah belum mengambil langkah tegas pada oknum-oknum yang bertanggung jawab pada kebakaran hutan yang terjadi. Permasalahan Krisis Iklim yang diakibatkan oleh pembakaran kawasan hutan, limbah industri, dan polusi akibat penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan yang mengakibatkan pencemaran masih konsisten menjadi sorotan dunia sampai detik ini.
Apalagi setelah melalui konferensi perubahan iklim di Madrid pada Desember 2019 lalu yang menyatakan, hanya untuk keperluan yang mendesak terhadap lahirnya kesepakatan untuk memangkas emisi karbon yang terjadi saat ini dengan tujuan tetap berpegang kepada perjanjian paris yang menginginkan membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius.
Hal ini tentu kurang mengikat dan cenderung mengambang terhadap sejumlah negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia untuk memangkas tingkat polusi guna menghambat perubahan iklim. Miris ketika komitmen negara-negara seluruh dunia untuk mengurangi emisi masih tergolong lemah, di saat para saintis datang dengan data perubahan iklim yang semakin buruk para petinggi negara belum mengangapnya sebagai persoalan serius untuk segera ditangani. Masalah pencemaran laut juga tak kalah dalam menyumbang persoalan Krisis Iklim dunia saat ini, berbagai permasalahan seperti pembuangan sampah dan limbah industri ke lautan merupakan salah satu masalah yang belum pernah tuntas.
Kemudian fenomena pengasaman laut, melansir dari situs globalchange.gov saat ini sedang berlangsung fenomena pengasaman laut sebagai dampak langsung dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida (CO2). Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun terakhir. Pada tahun 2100, diprediksi akan meningkat sekitar 150%. Dampak utama adalah pada punahnya kerang dan plankton, sumber makanan ikan. Jika ikan kehilangan makanan, apa yang akan terjadi pada manusia?
Belum lagi belakangan ini media massa dihebohkan dengan rencana Jepang yang akan membuang limbah yang terkontaminasi dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut Samudera Pasifik yang tentu akan berdampak negatif terhadap ekosistem di lautan.
Berbagai permasalahan di atas merupakan suatu gambaran umum dari sekian kompleks isu lingkungan saat ini, namun satu hal yang mesti dipahami dan ditekankan kepada pribadi masing-masing adalah bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bumi, namun planet indah ini dapat hidup tanpa manusia.
Oleh karena itu, sadarilah bahwa bumi juga punya hak hidup tanpa polusi yang disebabkan oleh tangan-tangan serakah manusia. Selamat Hari Bumi bagi semua orang yang masih mencintai bumi.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi.