May Luther Dewanto Sinaga*
PIRAMIDA.ID- 17 Agustus 1945 ditetapkan sebagai momentum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Sekitar 75 tahun yang silam tersebut, para pemimpin bangsa berkumpul bersama. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno dan wakilnya Moh. Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia dengan ditandai pembacaan naskah proklamasi.
Saban tahun, gegap gempita perayaan Hari Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus biasanya berlangsung dengan sangat meriah di seluruh penjuru tanah air.
Sejarah mencatat begitu banyak dinamika dan upaya-upaya dalam mewujudkan kemerdekaan RI. Para pejuang kemerdekaan pada masa itu berupaya melepaskan bangsa ini dari kekangan pemerintahan kolonial (dan Jepang) dengan mengorbankan tenaga, pikiran, jiwa, bahkan nyawanya.
Tentu bukanlah sebuah perjalanan yang singkat dalam menggapai kemerdekaan tersebut dan penuh dengan rintangan.
Kemerdekaan tersebut diperjuangkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera.
Terwujudnya kemerdekaan, tidak terlepas dari nilai rela berkorban, nilai kemanusiaan, nilai musyawarah dan mufakat, nilai kerjasama, nilai saling menghargai, serta nilai cinta tanah air dan bangsa.
Peristiwa yang mengandung makna sejarah tersebut, melahirkan banyak nilai yang berujung kepada persatuan bangsa Indonesia.
“Merdeka” adalah kata yang sering dilontarkan bangsa Indonesia setiap memperingati Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Namun apakah kata “merdeka” hanya sebatas kata yang tak memiliki makna? Bila berkaca dari masa perjuangan, kata “merdeka” ini merupakan kata yang didambakan dan menjadi impian setiap masyarakat Indonesia kala itu.
Dan boleh dikatakan, kata “merdeka” memiliki kesakralan tersendiri dan penuh dengan makna. Hal itu diperjelas dengan adanya kalimat yang mengatakan “merdeka atau mati”. Berarti, “merdeka” adalah tujuan hidup dari bangsa Indonesia pada masa itu.
Akan tetapi, di era globalisasi dan Revolusi Industri 4.0 saat ini, apakah makna “merdeka” itu sesakral dahulu? Seberapa bermaknanya saat ini kita memperingati hari kemerdekaan RI? Apakah hanya sebatas seremonial semata? Dan untuk siapa sebenarnya kemerdekaan itu?
Di usia ke-75 tahun ini, bangsa Indonesia masih saja diperhadapkan dengan permasalahan-permasalahan bangsa, seperti kemiskinan dan rendahnya sumber daya manusia (SDM). Apakah itu makna kemerdekaan?
Bila kita lihat dunia pendidikan, secara umum masih tergolong mahal, ditambah lagi situasi pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) yang saat ini dihadapi bangsa yang sangat berdampak bagi berbagai sektor (ekonomi, pendidikan, dan lainnya).
Penguasaan asing atas sumber daya alam (SDA) yang semakin mencengkeram, dan kondisi semakin memprihatinkan dengan melihat Indonesia yang dikenal dengan kekayaan SDA-nya harus mengimpor beberapa barang, seperti beras, jagung, gula, kedelai, buah-buahan dan lainnya.
Merujuk dari CNN Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah itu meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017.
Permasalahan bangsa diperparah dengan hadirnya aksi-aksi terorisme, bagai komoditas politik yang asyik dilakoni oleh kelompok-kelompok tertentu.
Di sisi lain, para penegak hukum yang belum dapat dipercaya dalam penegakan keadilan, dan para elite dan pemimpin negeri yang tidak sensitif terhadap persoalan yang menghimpit rakyat kecil.
Dan boleh dikatakan, bangsa Indonesia sedang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang dikenal dengan budi pekerti yang luhur.
Dahulu, keramahan, kesopanan, dan sikap gotong-royong menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Namun, seiring berkembangnya zaman, hal tersebut mulai luntur. Sejak merdeka 17 Agustus 1945 hingga tahun 2020, apakah kita benar-benar sudah merdeka sebagai sebuah bangsa bila melihat situasi saat ini?
Menurut hemat penulis, kemerdekaan sesungguhnya dapat dirasakan bila bangsa Indonesia terlepas dari intimidasi, bebas dari kelas-kelas sosial dalam masyarakat, dan setiap masyarakat dapat menerima hak yang sama tanpa membeda-bedakan kultur dan kelas sosial.
Secara sederhana, semua itu sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berposisi sederajat, tidak ada pembedaan atas ras, suku, agama atau apapun.
Perbedaan adalah kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dan kemerdekaan RI diraih dari perjuangan bersama bangsa Indonesia yang berbeda (agama, suku, dan lainnya), sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-berbeda tetapi tetap satu.
Dengan demikian, di usia ke-75 tahun ini, kiranya menjadi sebuah momentum dalam melakukan refleksi nasional. Dan kiranya Indonesia semakin maju sesuai dengan tema HUT RI ke-75 kali ini.
Serta terwujudnya kesetaraan dan pertumbuhan ekonomi untuk rakyat Indonesia sesuai dengan makna logo perayaan HUT RI ke-75.
Selamat memperingati dan merefleksikan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 tahun buat kita!
Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana dan saat ini mengemban sebagai Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) cabang Pematangsiantar-Simalungun periode 2019-2021.
Mantap bg