Oleh: Tulus Panggabean*
PIRAMIDA.ID- Siapa yang tidak kenal lagi dengan perusahaan raksasa yang bernama PT Inti Indorayon Utama yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) telah menimbulkan banyak polemik sosial sejak awal berdirinya perusahaan kertas tersebut di Tapanuli.
Polemik berujung konflik itu bahkan meledak di penghujung tahun 1990-an hingga berdampak pada tutupnya perusahaan tersebut. Era kepemimpinan Megawati sebagai presiden, pabrik itu kembali dibuka namun tidak lagi memproduksi rayon dan hanya memproduksi pulp.
Bergantinya nama perusahaan dan berhentinya produksi rayon tidak serta-merta menghapuskan konflik, bahkan konflik terus berkepanjangan. Konflik itu kini tersebar hampir di semua wilayah konsesi dan tidak lagi terpusat di sekitar pabrik yang ada di Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Melihat berbagai konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut, yakni di wilayah Batak banyak para penggiat lingkungan maupun elemen-elemen masyarakat yang menyuarakan konflik tersebut dengan penyelesaian agar pabrik raksasa tersebut ditutup permanen.
Oleh karena konflik yang berkepanjangan tersebut, Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL bekerja sama dengan Watchdoc mengulasnya lewat sebuah film dokumenter berjudul “Singkam Mabarbar” berdurasi 1 jam 11 menit. Film ini mengisahkan tentang sakitnya kehidupan masyarakat adat yang tinggal di sekitar lokasi konsesi PT Toba Pulp Lestari yang tersebar nyaris di semua kabupaten yang ada di wilayah Tapanuli Utara, mencakup Kabupaten Toba, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir bahkan sampai ke Kabupaten Simalungun.
Tidak hanya soal sakitnya kehidupan masyarakat adat, namun film ini juga menceritakan soal perjuangan masyarakat adat yang terus melakukan perlawanan terhadap perusahaan tersebut untuk mempertahankan tanah adatnya, ataupun tanah warisan nenek moyangnya bahkan tidak jarang perjuangan masyarakat adat ini berujung pada penjara.
Film yang proses pembuatan berlangsung selama dua bulan ini menyertakan dokumentasi video lama perjuangan masyarakat dalam perlawanan terhadap PT TPL, termasuk aksi penganiayaan yang dialami oleh masyarakat Desa Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba beberapa bulan lalu, perjalanan Tim 11 Ajak Tutup TPL dari Toba ke Jakarta untuk menemui Presiden Jokowi juga disertakan dalam film tersebut.
Film tersebut juga mewawancarai para korban dan tokoh adat yang tanah adatnya diserobot PT TPL lewat izin konsesi.
Selain mewawancarai para para tokoh adat yang mengalami langsung perjuangan melawan PT Toba Pulp Lestari, di dalam film tersebut juga di sajikan wawancara dengan sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang selama ini memberikan pendampingan terhadap masyarakat adat.
Dokumen-dokumen yang disajikan dalam film tersebut dalam bentuk wawancara kepada para korban dan tokoh adat serta kerusakan lingkungan yang terjadi harus menjadi sorotan penting bagi pemuda batak di mana para orang tua yang dianiaya, didiskriminasi, serta tanah peninggalan nenek moyang yang serobot oleh perusahanaan raksasa tersebut.
Para pemuda Batak sudah saatnya ambil bagian dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan tersebut baik itu pemuda yang berada di sekitaran wilayah Batak maupun pemuda Batak yang sedang merantau ke berbagai kota mupun negeri.
Pada awalnya kehadiran PT TPL adalah untuk menjawab kemiskinan yang terjadi di tanah Batak, namun pada kenyataanya tidaklah demikian.
Sejak kehadiran PT TPL banyak mengisahkan konflik, baik itu tentang kegagalan/penurunan hasil panen pertanian oleh sebab limbah pabrik PT TPL, penyerobotan tanah adat, terganggunya masyarakat dalam melaksanakan ritual sesuai kepercayaannya, menimbulkan konflik horizontal dalam persaudaraan orang Batak, bahkan kriminalisasi kepada masyarakat yang memperjuangakan tanah adatnya yang berujung di jeruji besi atau penjara. Akan tetapi PT Toba Pulp Lestari justru membawa malapetaka bagi bangsa Batak.
Hemat penulis, dengan penutupan PT TPL secara permanen akan mensejahterakan masyarakat di kawasanan Danau Toba. Hasil pertanian akan meningkat, tanah adat akan dikelola langsung oleh masyarakat adat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, ataupun pemenuhan kebutuhan pangan secara nasional maupun untuk ekspor hasil pertanian, dan juga akan berkurangnya konflik agraria.
Menelisik kembali tentang perjalanan perjuangan pemuda dalam kemerdekaan Indonesia yang merupakan tonggak utama dalam barisan perjuangan. Perjuangan tersebut dilaksanakan para pemuda yang berada berada di barisan terdepan dalam mempertahankan republik yang baru merdeka hingga akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar bebas dan merdeka dari penjajahan.
Pemuda juga bergerak dalam melawan ketidakadilan yang terjadi di pemerintahan. Mulai dari tuntutan turunnya Orde Lama dan Orde Baru hingga kemudian dengan kesatuan aksi mahasiswanya, pemuda menuntut adanya reformasi pada tahun 1998.
Melihat ciri khas pemuda dengan integritasnya sudah seharusnya pemuda Batak turut andil dalam penyelesaian konflik masyarakat dengan PT TPL tersebut, di mana kita (orang Batak) harus merdeka di tanahnya sendiri, dan tanah peninggalan nenek moyang adalah harga mati bagi orang Batak. Karena tanah adalah lambang identitas bagi orang Batak.
Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda bagi seluruh pemuda yang ada di Indonesia.(*)
Penulis merupakan Sekretaris Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cab. Pematangsiantar-Simalungun.