PIRAMIDA.ID- Ada banyak perokok yang meninggalkan rokok begitu saja. Tapi kampanye adiksi rokok terus bergema. Hingga akhirnya muncul dorongan agar pemerintah membuat regulasi khusus untuk produk HPTL seperti rokok elektrik yang selalu dicitrakan sebagai solusi berhenti merokok.
Rokok elektrik, atau yang populer dengan istilah vape, adalah salah satu varian produk olahan tembakau yang tengah melejit perkembangannya. Jumlah konsumennya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri sudah ada Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) sebagai wadah organisasi para stakeholder vape.
Salah satu yang membuat rokok elektrik berkembang cukup pesat adalah karena vape digandrungi oleh anak muda yang menjadi mayoritas konsumennya. Seperti yang kita tahu, tren yang berkembang di kalangan anak muda sangat cepat mewabah dan menjadi gaya hidup. Tak bisa dipungkiri, ada sebagian orang yang mulai mengonsumsi produk tembakau alternatif ini karena terbawa arus tren.
Selain itu, vape juga memiliki banyak varian rasa yang cukup menarik. Maka cukup mampu menggugah hasrat publik (termasuk perokok) untuk ikut mencicipi.
Sekali lagi, vape selalu dikampanyekan sebagai produk tembakau rendah risiko alias lebih aman dikonsumsi dibandingkan dengan rokok konvensional. Nah, pada konteks ini vape dicitrakan sebagai solusi terbaik untuk membantu berhenti merokok.
Kita semua pasti akrab dengan narasi tersebit. Sudah banyak artikel di media dan internet yang turut melestarikan pandangan sejenis. Pandangan ini perlahan mengilusi publik, lantas percaya bahwa tembakau lebih aman dikonsumsi dengan cara dipanaskan dari pada dibakar.
Ilusi tersebut berkembang menjadi keyakinan untuk meninggalkan rokok konvensional dan beralih ke rokok elektrik. Pada titik paling antagonis, konsumen rokok elektrik diarahkan untuk terlibat pada agenda menihilkan eksistensi rokok konvensional seperti kretek. Atau dalam bahasa sederhana, konsumen dari kedua produk berbahan dasar tembakau ini diadudomba.
Poin yang perlu digarisbawahi sebetulnya bukan soal mana yang lebih aman dan mana yang berbahaya. Regulasi sudah menempatkan keduanya di ruang yang sama; sama-sama produk olahan tembakau. Yang perlu menjadi perhatian adalah kepentingan di belakangnya.
Sudah ada Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2021 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang secara jelas dan rinci mengatur segala jenis produk berkandungan nikotin. Bahwa sebagai produk yang pula memiliki faktor risiko dan limbahnya berpotensi menggangu orang lain, sudah semestinya pula tunduk pada aturan yang ditetapkan.
Belakangan, asosiasi-asosiasi konsumen HPTL gencar menyuarakan agar pemerintah membuat regulasi khusus terkait industri HPTL, alasannya untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha rokok elektrik. Seolah menyerahkan diri agar diregulasi oleh negara. Ternyata narasi yang dibangun justru melestarikan ‘konflik’ rokok vs vape. Ini benar-benar menyebalkan. Kretekus tidak perlu ikut dalam perdebatan kontraproduktif semacam ini.
Regulasi khusus rokok elektrik mereka dorong dengan dalih memberi kepastian informasi bagi konsumen. Terlihat upaya dari beberapa pihak yang ingin menonjolkan narasi kandungan tembakau yang dipanaskan lebih aman. Diakui bahwa regulasi yang didorong bertujuan untuk menekan konsumsi rokok konvensional, termasuk kretek di dalamnya.
“Jika regulasinya sama, nanti akan sama juga terkait larangan-larangannya. Nanti ada gambar-gambar seperti di rokok, tenggorokan yang bolong sedangkan risiko itu tidak ditemui dalam penggunaan produk tembakau alternatif dan belum ada kajian yang membuktikan hal tersebut,” ujar Ketua Asosiasi Vaper Indonesia.
Setelah menstigma buruk rokok, mereka menyebut tidak ingin disamakan dengan rokok. Dan wujud yang mereka inginkan adalah regulasi yang terpisah. Pertanyaannya: mau diberi nama apa regulasi itu nanti?
Sekali lagi, kita sudah punya PP 109/2012. Dari penamaannya sudah jelas bahwa yang diregulasi adalah “Produk Tembakau”. Tidak disebut secara spesifik hanya untuk rokok. Artinya, segala produk yang merupakan hasil olahan tembakau termasuk diregulasi di dalamnya. Lha, kok minta dispesialkan sendiri?
Sementara, validitas tentang vape lebih aman dari rokok pun masih debatable. Apa yang membuat kedua produk yang sama-sama berbahan dasar tembakau dan sama-sama mengandung nikotin tersebut dianggap punya efek samping yang berbeda? Apa kepentingan di balik perang propaganda uap vs asap?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga harus terjawab tuntas. Klaim vape lebih aman dari rokok jelas menuntut pembuktian yang komprehensif. Saya tidak anti pada produk tembakau seperti vape. Tapi narasi timpang menyoal risiko rokok dan vape perlu ditinjau ulang.
Tembakau jadi komoditas yang hendak dikuasai oleh industri farmasi. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan menciptakan produk alternatif dari tembakau seperti rokok elektrik, koyo tembakau, permen tembakau, dll. Analisa ini sudah lama dikemukakan oleh Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul Nicotine War, jauh sebelum vape sepopuler hari ini.
Lagi pula, perkara stigma negatif terhadap produk olahan tembakau itu harus dilawan. Ya jangan pilih-pilih. Produk tembakau bernama vape dibela, eh, produk tembakau bernama kretek dimusuhi. Maka semakin kentara motif bisnis yang melatari keributan ini.
Kalau memang rokok elektrik di Indonesia butuh dukungan regulasi, saya sepakat. Pertumbuhan tren konsumsi vape itu satu hal, dan upaya membunuh kretek adalah hal yang lain. Kalau orientasinya untuk membunuh kretek, saya yakin akan menimbulkan perlawanan.
Konsumen produk HPTL dan kretek justru harus bersatu melawan segala stigma negatif yang melekat pada konsumen produk tembakau. Konsumen tembakau harus sama-sama menolak segala narasi kesehatan yang jelas-jelas selalu mengharamkan nikotin. Jangan malah menumpang isu kesehatan untuk kemudian merebut pasar perokok.(*)
Komunitas Kretek Indonesia