PIRAMIDA.ID- Menuduh regulasi sebagai biang keladi perkara anak merokok adalah sebuah perkara serius. Mengingat regulasi adalah hal yang mengatur kehidupan bermasyarakat, maka tuduhan biang keladi ini berarti menyatakan jika regulasi mengatur agar mereka yang belum dewasa menjadi perokok. Apakah benar demikian?
Adalah LSM Lentera Anak yang menyatakan jika Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 sebagai penyebab dari persoalan anak merokok. Mereka menuding jika PP 109/2012 telah gagal dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, mereka menuntut agar aturan yang dulu diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini direvisi agar lebih tegas.
Sebagai LSM anti rokok, Lentera Anak tentu telah membuktikan bahwa mereka layak menjadi watchdog pilih tanding dalam urusan rokok. Beberapa tahun lalu, mereka pernah menuding Perkumpulan Bulutangkis Djarum sebagai pihak yang mengekspolitasi anak. Bahkan mereka menuntut agar PB Djarum tak lagi membuat seleksi nasional untuk calon atlet.
Nama Lentera Anak benar-benar naik ketika persoalan PB Djarum itu didengar masyarakat. Saking terkenalnya, hampir seluruh suara yang berbincang terkait persoalan tersebut meminta agar Lentera Anak serta KPAI dibubarkan saja. Masyarakat menolak klaim KPAI dan Lentera Anak, dan terus mendukung agar PB Djarum melatih bibit dan calon atlet bulutangkis Indonesia untuk masa depan.
Kembali ke perkara PP 109 2012, tuntutan Lentera Anak agar regulasi tersebut direvisi karena menjadi penyebab anak merokok jelas tidak masuk akal. Tuduhan jika regulasi tersebut tidak tegas bukanlah kesalahan dari regulasi, tapi memang perangkat negara beserta daerah saja yang belum siap untuk melaksanakannya. Jadi tidak pas jika regulasinya yang kemudian dituntut untuk berubah.
Harusnya, dalam perkara ini aparatur negara yang dituntut untuk berubah. Bagaimana agar pemerintah pusat serta daerah bisa menjalankan PP tersebut dengan baik dan benar. Supaya mereka bisa menindak tegas para pelanggar PP serta menjalankan PP 109/2012 dengan sebenar-benarnya. Begitu harusnya yang dituntut.
Jika memang tetap ngotot menyatakan bahwa regulasi ini belum ketat atau tegas, dibuktikan saja di sektor mana yang kurang tegas. Perkara iklan yang selama ini jadi tertuduh penyebab anak merokok, sudah diatur dengan ketat. Lagipula, iklan itu bukan penyebab anak merokok, karena iklan tidak menyasar orang yang tidak merokok.
Sejauh yang saya lihat, PP 109/2012 adalah aturan soal rokok yang sudah amat ketat dan tegas. Bahkan saking ketatnya, sudah ada ribuan pabrik rokok yang tumbang sejak aturan ini dibuat. Karenanya, jika kemudian direvisi dan dibuat makin ketat lagi, saya tidak terbayang berapa banyak lagi pabrik yang harus tumbang dan masyarakat yang harus kehilangan pekerjaan.
Karena itulah, masih banyaknya anak merokok di Indonesia ini bukanlah kesalahan dari PP 109/2012 atau bahkan salah iklan rokok itu sendiri. Perkara ini lebih banyak disebabkan oleh pedagang yang menjual rokok pada orang di bawah umur serta aparatur yang tidak menindaknya. Sepanjang warung atau toko atau pedagang masih melakukannya, maka akan terus ada anak yang merokok.
Kalau persoalan akses ini sudah bisa ditegakkan, niscaya persoalan anak merokok akan membaik dan jumlahnya jadi jauh berkurang. Tinggal nantinya pengetatan pada masyarakat dilakukan, agar para orang tua serta orang dewasa bisa memutus akses agar rokok kepada mereka yang masih di bawah umur. Dengan begitu, perkara ini bakal selesai bahkan tanpa perlu adanya revisi PP 109/2012.(*)
Komunitas Kretek Indonesia