PIRAMIDA.ID- Setelah diulur-ulur sekian lama, RUU PKS kembali dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam draf RUU yang diterima, Pasal 9 menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual tidak hanya mendapatkan hukuman pidana, tetapi juga akan menjalani empat bentuk rehabilitasi, yakni rehabilitasi medis, rehabilitasi psikiatri, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi sosial.
Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Baleg DPR, mengatakan bahwa baik korban maupun pelaku kekerasan seksual sama-sama perlu direhabilitasi. Menurutnya, pelaku perlu mendapatkan rehabilitasi karena mereka juga memiliki trauma kekerasan di masa lalu.
Trauma kekerasan tersebut ada di balik kekerasan seksual yang mereka lakukan. Jika trauma itu tidak diobati, Willy khawatir kekerasan serupa mungkin akan terulang lagi.
Namun, rasionalitas dari ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual yang dimasukkan ke draf RUU PKS dipertanyakan oleh Veni Siregar, koordinator Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan.
Menurut Veni, tidak semua pelaku kekerasan seksual memiliki trauma sebagai korban kekerasan di masa lalu seperti apa yang diklaim Willy Aditya. Sehingga ketentuan mengenai tindakan rehabilitasi untuk pelaku kekerasan seksual tidak perlu ada di dalam RUU PKS.
“Pelaku mana saja yang harus direhabilitasi? Jika sudah memperkosa, masa ia direhabilitasi? Kata rehabilitasi ini bisa dijadikan alasan untuk berkilah. Beberapa pelaku bisa-bisa nanti tinggal minta rehabilitasi saja,” kata Veni.
Hak-hak pelaku kekerasan semakin diperkuat?
Veni mengatakan bahwa ketentuan rehabilitasi sebenarnya sudah diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 sehingga tidak perlu diulang lagi di dalam RUU PKS.
“Di Undang-Undang Perlindungan Anak, rehabilitasi bisa dilakukan tidak? Ada asesmennya tidak? Ada metodenya tidak? Siapa saja pelaku yang bisa direhabilitasi? Rehabilitasinya dilakukan di mana? Metodenya seperti apa? Semua itu tidak jelas dan belum ada. Kok sekarang (rehabilitasi) dimasukkan lagi (ke RUU PKS). Ini ‘kan lucu,” kata Veni.
Menurutnya, tidak adil ketika hak-hak pelaku kekerasan semakin diperkuat di dalam draf RUU PKS terbaru, sedangkan hak-hak korban justru diperlemah. Salah satu bentuk pelemahan itu, kata Veni, ialah pemangkasan besar-besaran jumlah pasal di dalam RUU PKS dari 87 di draf tahun 2019 menjadi 43 di draf tahun 2021.
“Menurutku, energi DPR sebaiknya dicurahkan untuk mengakomodir hak-hak korban yang selama ini tercerabut,” tegasnya. “RUU PKS ini sebaiknya fokus ke korban saja.”
Selain itu, dihapus juga lima bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya ada di dalam draf tahun 2017-2019, seperti perkosaan, pemaksaan aborsi dan penyiksaan seksual.
“Hak korban atas pemulihan, misalnya, belum ada. Bab pencegahan ada, tapi tidak diperkuat,” kata Veni. “Padahal semangat RUU ini untuk pemenuhan hak-hak korban.”
KPAI dan Komnas Perempuan dukung rehabilitasi, kenapa?
Sementara Putu Elvina dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa pemberian layanan rehabilitasi terhadap anak yang menjadi terpidana kekerasan seksual merupakan bentuk penegakan keadilan secara restoratif.
“Jadi tidak hanya anak yang menjadi korban yang berhak atas layanan rehabilitasi,” kata Putu Elvina kepada DW Indonesia.
Menurut draf awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rehabilitasi diberikan hanya kepada narapidana anak yang berusia 18 tahun ke bawah.
Terkait hal ini, Komnas Perempuan berpendapat bahwa rehabilitasi sebaiknya tidak hanya diberikan kepada pelaku yang berusia anak saja, tetapi juga yang sudah dewasa.
Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan, mempertanyakan pasal 9 (3) yang menyatakan bahwa hanya narapidana anak yang berusia 18 tahun ke bawah yang akan mendapatkan layanan rehabilitasi. Tindakan rehabilitasi, menurutnya, juga perlu diberikan kepada pelaku kekerasan seksual yang berusia dewasa.
“Kita mendorong agar tindakan rehabilitasi diberikan kepada semua pelaku kekerasan seksual, tidak hanya terpidana anak saja,” kata Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan.
Ia mengatakan bahwa sejak tahun lalu, Komnas Perempuan telah mengusulkan agar rehabilitasi terhadap pelaku kekerasan seksual tidak memandang usia karena kekerasan seksual tidak disebabkan oleh usia, tetapi relasi kuasa yang tidak setara, cara pandang tentang seksualitas yang keliru, dan nilai-nilai patriarki yang kuat.
“Selain dipidana, pelaku juga perlu diperbaiki cara pandangnya melalui konseling dan rehabilitasi sehingga setelah keluar dari penjara, mereka memiliki nilai dan perspektif baru,” kata Siti.
Kekerasan daring jangan diabaikan
Dibahasnya kembali RUU PKS di DPR diapresiasi oleh Siti. Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 46.498 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, ranah rumah tangga, dan ranah publik sepanjang tahun 2011 hingga 2019, termasuk di dalamnya 9.039 kasus perkosaan dan 2.861 kasus pelecehan seksual.
Selain tentang rehabilitasi, Siti Aminah juga berharap agar RUU PKS mengatur hukuman pidana terhadap pelaku pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, dan perbudakan seksual.
Keempat bentuk kekerasan seksual itu perlu dimasukkan ke dalam RUU PKS karena draf awal yang saat ini sedang dibahas oleh DPR hanya mengatur tindak pidana untuk lima bentuk kekerasan, kaza Siti. Kelimanya yaitu pelecehan seksual, pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain.
Ia juga menyayangkan upaya perlindungan dari pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender di dunia virtual tidak dibahas di dalam RUU PKS. Padahal, jumlah kasus terus meroket dan jumlah korban kian bertambah.
Pada tahun 2020, Komnas Perempuan menangani 928 kasus kekerasan siber berbasis gender, meningkat sekitar 300% dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, komnas berharap agar hukuman pidana terhadap pelaku kekerasan seksual di ruang daring diperberat.
“Tidak ada satu pun kata siber, online, atau maya di dalam draf ini,” ujar Siti menyayangkan.(*)
DW Indonesia