Oleh: Ticklas Babua-Hodja
PIRAMIDA.ID- Zaman Soekarno pernah ada koalisi tiga idelogi, yaitu Nasionalis, Komunis dan Agama. Disingkat, NASAKOM. Barisan nasional ini dibentuk Soekarno berdasarkan hasil Pemilu 1955. Fakta politik di Indonesia hanya tiga idelogi itu yang diterima oleh rakyat. Soekarno sadar bahwa dia penyambung lidah rakyat. Dia tidak bisa mengingkari eksistensi ketiga idelogi itu.
Namun Soekarno juga sadar bahwa tiga kekuatan itu tidak bisa ditempatkan dalam sistem demokrasi liberal. Tetapi harus demokrasi terpimpin. Itulah sebabnya, berkat dukungan tiga kekuatan itu, Soekarno bubarkan legislatif hasil pemilu dan kembali kepada UUD 45 yang dianggap lebih cocok dengan Pancasila.
Di era Soeharto, kita tidak punya basis ideologi yang jelas. Maklum kekuatan Orde Baru dipegang oleh Golkar yang merupakan antitesis dari ketiga ideologi yang ada di Indonesia itu.
Mengapa? Golkar itu awalnya didirikan oleh TNI-ABRI, yang menentang adanya paham ideologi yang ada (nasionalis, komunis dan agama). Pada era Soekarno, TNI-ABRI berpolitik lewat Sekber Golkar. Dan di era Soeharto, TNI-ABRI menjadikan Golkar sebagai kendaraan untuk berkuasa. Payungnya adalah Pancasila. Pancasila sesuai dengan persepsi Soeharto. Gerakan nasionalisme dan agama dibonsai sesuai dengan prinsip Pancasila-nya Soeharto. Komunis dibubarkan.
Di era reformasi, Golkar mendirikan Partai Golkar. Namun sejak TNI-ABRI keluar dari Golkar dengan tersingkirkan Edi Sudrajat dalam Munas Golkar tahun 1999, Golkar tidak berubah. Masih dengan platform kekuasaan Orde Baru. Kemudian TNI melalui operasi intelijen mendukung berdirinya PKB, PAN, dan PKS. Tujuannya membuat keseimbangan terhadap Golkar. Namun era SBY, koalisi partai Islam (PPP, PKB, PKS, PAN) dan partai pragmatis (Golkar, PD dll) berkuasa. Prinsip nasionalisme diabaikan.
Saat itulah TNI mendukung bangkitnya PDIP sebagai penyeimbang. Mengakhiri kekuasaan SBY, PDIP jadi pemenang pemilu. Jokowi berkuasa. Era Pertama Jokowi berkuasa, ada upaya membenturkan nasionalis dan Islam. Siapa yang punya ulah? Siapa lagi kalau bukan elite eks Orde Baru. Sampai dengan sekarang, provokasi konflik antara nasionalis dan Islam sengaja didengungkan terus. Kalau ini tidak ada upaya rekonsiliasi secara struktural maka negara ini akan menjadi negara gagal politik. PDIP berusaha mengurangi polarisasi politik agar semua orientasinya kepada Pancasila dan NKRI.
Tentu tidak lepas dari upaya intelijen negara.
Kalau nanti Pemilu 2024 masih ada polarisasi seperti Pemilu 2019, maka situasinya akan tidak sehat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Anggap sajalah Pemilu 2014 dan 2019 adalah bencana yang melahirkan cebong dan kadrun. Sudah seharusnya itu dihapus dan kembali kepada politik akal sehat.
Ditangkapnya Munarman dan diancam MRS dengan dakwaan 10 tahun penjara adalah proses menuju rekonsiliasi politik ditingkat elite. Nanti Pemilu jangan ada lagi politik identitas. Cukuplah Pancasila. Silahkan bersaing lewat program saja.(*)
Penulis merupakan pemuda Halmahera Barat yang gemar menulis dan membaca.