Arya Widihatmaka*
PIRAMIDA.ID- Sekarang ini banyak orang mulai ingin melemahkan sains melalui teori-teori sains sendiri dengan dalih kritisisme dan segudang alasan epistemologi ilmiah.
Tujuannya adalah hal yang sangat klasik; agar sains mau mengakui keberadaan Tuhan.
Saya pikir ini hal konyol, karena sains adalah pra-teknologi dan bukan urusan moral. Sepertinya umumnya manusia hingga zaman ini belum sadar atau melek-mata bila moral yang mencekam akan melahirkan kejahatan yang lebih besar dibanding kehidupan yang dianggap amoral.
Kita lihat apa yang terjadi di negeri ini, agama menjadi kedok politik busuk dan korupsi para oknum. Di Timur Tengah sana rentan konflik berujung pembunuhan dengan alasan sentimen dan prasangka agama.
Apakah agama benar-benar jelek? Tentu tidak.
Sains memang bukan segala-galanya, akan tetapi me-moral-kan dan meng-agama-kan sains sungguh aneh karena sains bukan soal perilaku manusia.
Artinya, hingga zaman ini manusia di bumi ini masih cenderung religius yang berdasar marketing rasa takut akan masa depan.
Ya, kita selalu bicara masa depan yang kelam, kematian, kiamat, dsb. Manusia butuh deskripsi baru akan bahasan-bahasan itu.
Kita sadar bahwa hal-hal yang tidak bisa dibuktikan secara faktual akan menjadi komoditi teror psikologi bagi manusia.
Rumor-rumor sains adalah rekan atheisme yang memusuhi agama tidak akan menjadi semakin besar selama para pemikir agama tidak berusaha membawa manusia pada perbudakan di level kosmomogis.
Jadi, apakah manusia harus selalu dicurigai sebagai spesies jahat? Lalu bagaimana bila mencurigai sampai kecurigaan itu berubah menjadi tindakan jahat. Ini sudah keterlaluan.
Kita manusia selalu bicara dualitas dan alasan-alasan “perspketif” yang sebenarnya hanyalah permainan pikiran.
Kalau kita menggunakan bahasa agamis, sekarang ini banyak manusia lupa menggunakan hati nuraninya karena sudah tersilaukan doktrin-doktrin agama.
Sementara sebagian mereka menjadi idiot karena alasan ketakutan akan penolakan atas dirinya di masa depan yang penuh horror.
Jadi kenapa kita tidak mau jujur dan menggunakan hati nurani kita, mengapa kita mau memilih gambaran seram dan tidak berpikir yang bagus dan berguna di masa sekarang?
Saya berpendapat bila Tuhan tidak perlu dibawa ke domain sains – terlepas Dia ada atau tidak – agar tidak terjadi kekacauan ilmiah.
Bila pun beberapa saintis masih mengakui eksistensi Tuhan, umumnya bukan Tuhan Abrahamic, akan tetapi Tuhan bagi mereka mewakili kata dari ketakjuban.
Sains berbasik data sedangkan agama berbasik emosi. Tuhan dalam sains tentu dipahami dari gejala alam semesta dan Dia sama sekali tidak peduli apakah ada orang kafir yang berhasil membuat negeri yang indah dan sejahtera atau ada negeri beriman yang penuh orang sengsara dan konflik.
Sains dan agama memiliki kosmologi masing-masing, berusaha mengintegrasikan keduanya akan mengacaukan semuanya.
Betul, kehidupan (kesadaran) adalah hal unik karena penggabungan antara rumus materialisme dan esoterisme.
Tetapi belumkah kita sadar bila kita di kehidupan dunia ini penuh ketidak-idealan yang akan berakhir dengan kematian. Inilah contoh kegagalan integrasi itu.
Tetapi bila kita menggunakan kesempatan duniawi ini tanpa harus melakukan pengerusakan, tentu itu hal yang ideal bagi kita. Bukankah Tuhan juga benci orang-orang berbuat kerusakan?
Jadi, kita mesti membuat konstruksi yang benar akan pemahaman hidup dan tidak bisa mencampuradukkan dengan penuh emosi.
Terlebih Totaliterisme agama itu terbantah oleh agama itu sendiri yang penuh aneka ragam dan madzhab masing-masing.
Menghindari kebingungan konsep itu penting untuk membangun peradaban dan kesadaran yang lebih baik di tingkat lanjut.
Agama silakan masih akan tetap ada selama DNA manusia membutuhkannya. Akan tetapi jangan lupa bila manusia adalah makhluk pembelajar, karena memang itu keistimewaan khusus.
Model kurva terbuka cocok bagi sains maupun agama karena manusia selalu berkembang di segala domain yang dimiliki.
Seperti satu biji tanaman yang tumbuh menjadi pohon apel yang besar, kokoh atas terpaan cuaca dan musim, sedang dia juga menghasilkan buah-buahan yang bermanfaat bagi semua.
Bukan seperti sebuah biji yang mati dalam timbunan tanah.
Penulis merupakan seorang science enthusiast & trekker. Ulasan tulisannya dapat dibaca di suarasains.wixsite.com