Ahmad Juanidi*
PIRAMIDA.ID- Pemerintah memastikan bahwa pada 2021, perekrutan satu juta guru tidak melalui skema calon pegawai negeri sipil (PNS) melainkan melalui skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Artinya, guru yang diangkat akan menjalani status pekerja kontrak non-permanen yang kinerjanya akan dievaluasi secara berkala. Badan Kepegawaian Negara mengatakan bahwa hal ini akan mendorong percepatan peningkatan profesionalisme dan kinerja.
Tidak hanya untuk guru, 147 profesi lain juga akan direkrut melalui skema PPPK, termasuk dosen.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menekankan bahwa skema ini juga memberikan kesempatan pada tenaga pengajar honorer untuk bisa berkompetisi membuktikan dirinya melalui tes yang disiapkan.
Kritik menghujani kebijakan ini. Beberapa kelompok guru dan tenaga kependidikan menuding skema ini mengabaikan guru honorer yang selama ini menerima gaji yang dianggap tak manusiawi. Mereka menganggap kompetensi guru honorer yang telah belasan tahun di sekolah seharusnya sudah tidak perlu dikompetisikan lagi dalam tes PPPK.
Dalam tulisan ini, saya akan menunjukkan mengapa penerapan skema ini secara penuh adalah kebijakan yang tidak tepat, serta bagaimana cara memperbaikinya untuk kemajuan guru di Indonesia.
Rekrutmen non-permanen memang banyak diterapkan di dunia…
Pada dasarnya, di setiap negara ada dua jenis posisi guru – yaitu posisi guru permanen (tenure atau tetap) dan non-permanen (non-tenure atau kontrak berkala).
Sistem guru permanen, misalnya di Amerika Serikat, muncul pada awalnya untuk melindungi guru karena pasca Perang Dunia I mereka sering dipecat akibat hal di luar kinerja, seperti alasan ras, pergantian kuasa politik, atau bahkan karena hamil.
Dalam konteks ini, posisi guru permanen jelas diniatkan untuk melindungi guru.
Seiring dengan meningkatnya perlindungan terhadap profesi guru, sistem perekrutan pun berubah. Di Amerika Serikat, sebagian besar negara bagian semakin memperketat perekrutan guru dan mengedepankan seleksi dengan kriteria yang kompetitif.
Kini, jumlah guru yang diangkat ke posisi permanen turun dari 94% ke 56% di New York. Secara nasional, hanya ada 67% guru permanen di AS. Angka ini lebih tinggi dari Chili (63%) dan Uni Emirat Arab (50%).
Australia saat ini tidak memiliki sistem penunjukan guru permanen, melainkan skema penunjukan jangka panjang, kontrak, maupun pekerja kasual. India juga mengalami penurunan drastis jumlah guru permanen.
…tapi apakah tepat sepenuhnya diterapkan di Indonesia?
Akan tetapi, guru permanen masih memiliki tempat spesial di banyak negara.
Sebanyak 22 dari 34 negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) pada 2015 memiliki proporsi guru permanen yang berjumlah 80% dari jumlah keseluruhan gurunya.
Di Denmark, Malaysia, Argentina, dan Perancis, hampir 100% guru adalah guru permanen.
Di Indonesia sendiri, rekrutmen guru permanen dengan berbagai perlindungan finansialnya melalui skema PNS dan sertifikasi, masih menjadi motivasi untuk memasuki profesi guru.
Ada peningkatan 5 kali lipat jumlah mahasiswa yang masuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau universitas keguruan dari 2005 sampai 2015 pasca pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005.
Selain itu, masih banyak guru honorer bergaji kecil yang selama belasan tahun mengharapkan pengangkatan menjadi PNS.
Skema PNS maupun PPPK bisa berjalan seiringan
Mendukung argumen kementerian, OECD memang berpendapat bahwa posisi permanen seperti PNS dapat menghambat inovasi dan peningkatan kinerja.
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan evaluasi kinerja untuk setiap 5 atau 7 tahun. Sesuai saran OECD, jika ada guru yang tidak efektif, pemerintah dapat memecat guru tersebut atau mengalihkan fungsinya.
Namun, tidak serta merta berarti rekrutmen guru harus sepenuhnya dilakukan melalui kontrak kerja non-permanen.
Dari banyak kajian dan studi kebijakan, posisi permanen seperti PNS dan posisi kontrak seperti PPPK idealnya bisa tetap ada secara bersamaan.
Misalnya, jalur PNS bisa dirancang sebagai sistem rekrutmen guru yang lebih kompetitif.
Skema ini dapat dibuka untuk menarik lulusan terbaik dari LPTK dan universitas keguruan, maupun guru honorer yang bertahan mengajar bertahun-tahun dengan sertifikasi kependidikan serta kompetensi mengajar yang teruji.
Sementara itu, bagi tenaga pengajar yang belum bisa menempuh jalur PNS yang ketat, dapat diakomodasi dengan skema PPPK.
Setidaknya, ini bisa memberikan perlindungan kontrak kerja yang lebih baik bagi sebagian guru honorer lainnya yang juga telah menempuh banyak penilaian kinerja nasional.
Yang penting justru adalah kualitas rekrutmen kedua skema
Yang menjadi kunci, justru adalah menerapkan sistem rekrutmen yang berkualitas, evaluasi yang dapat diandalkan, dan sistem apresiasi kinerja yang adil.
Saat ini, menggunakan standar internasional maupun nasional, kompetensi guru Indonesia di Indonesia bisa dianggap jauh dari kata memuaskan.
Meskipun demikian, berbagai pengukuran ini bisa jadi tidak akurat karena seharusnya kompetensi dan keberhasilan guru diukur berdasarkan konteks permasalahan yang ada di daerah mereka masing-masing.
Karena setiap daerah punya tantangan berbeda, kinerja seharusnya diukur dalam penilaian yang sensitif konteks lokal dan mencakup banyak aspek, bukan menggunakan satu pengukuran sederhana secara nasional.
Diperlukan sistem seleksi yang melibatkan wawancara, praktik pembuatan rencana pembelajaran, dan praktik mengajar di lapangan yang intensif untuk menjaring guru yang kompeten.
Sebagai contoh, Jepang mewajibkan gurunya untuk menjalani pelatihan dan seleksi jangka panjang yang sangat intensif pada tahun pertama. Setiap sepuluh tahun, pelatihan dilakukan lagi secara menyeluruh.
Brasil juga mewajibkan masa percobaan selama tiga tahun sebelum akhirnya dapat menempati posisi permanen.
Selain itu, seleksi yang sesuai konteks dan mempertimbangkan pengalaman bisa lebih menjamin keadilan bagi guru honorer di daerah yang selama ini diabaikan. Guru honorer punya kualitas pengajaran yang sangat kaya konteks lokal, namun selama ini evaluasi kinerja mereka diukur dengan tes yang terlalu sederhana.
Padahal, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa guru PNS lebih rajin dari guru honorer. Hal ini juga didukung oleh penelitian bahwa sertifikasi tidak berdampak besar pada peningkatan kinerja guru.
Implikasinya, harus ada juga sistem penggajian guru yang lebih adil dan tidak timpang antara berbagai kategori tenaga pengajar – entah PNS, guru dengan perjanjian kerja, maupun guru honorer – karena performa mereka tidak jauh berbeda.
Sistem perekrutan baru apa pun tidak akan efektif meningkatkan kompetensi tenaga pengajar jika seleksi masih tidak berkeadilan dan masih menggunakan berbagai tes dan evaluasi yang selama ini buta konteks lokal.(*)
Penulis merupakan pengajar di Universitas Mataram. Artikel republikasi The Conversation.