Penulis: Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID – Judul tulisan di atas menggambarkan kegalauan sekaligus kesadaran baru saya dalam menghadapi dan menyikapi badai pandemi COVID-19 yang cenderung memberi ketidakpastian kapan ini akan berujung.
Alih-alih mereda, bahkan terasa semakin ‘memaksa’ kita untuk berubah secara radikal dan mendasar dalam menyongsong habitus baru (new normal) yang belakangan ini mulai diperbincangkan dan sepertinya akan menjadi pilihan.
Secara global dan juga nasional, revolusi sunyi pandemi COVID-19 meluluhlantakkan sistem ekonomi, sistem kesehatan, sistem politik, sistem pendidikan, sosial budaya, agama, bahkan sistem bernegara. Tidak ada yang luput dan terlepas dari dampak dan aneka turunannya.
Sunyi karena revolusi kali ini berbeda sebagaimana revolusi biasanya. Tidak berwujud, tanpa batas wilayah, merasuki segala level dan sektor peradaban.
Sudahlah, jangan pernah berpikir bahwa kita semua masih bisa kembali ke masa-masa sebelum virus COVID-19 ini hadir. Hari, bulan di tahun 2019 kemarin kini tinggal hanya kenangan dan sejarah masa lalu.
Narasi normal baru (new normal) itu semacam paradigma berpikir dan cara pandang baru dalam rangka penyiapan diri keluar sekaligus berdampingan dengan ketidakpastian situasi pandemi.
Barangkali pilihan yang ada tidak banyak dalam menghadapi “revolusi sunyi” itu.
Pada posisi ini titik terlemah kita terletak pada ketidakmampuan untuk membangun paradigma berpikir dan cara pandang baru terhadap perubahan mendasar dan menyeluruh yang dipicu gelombang pandemi COVID-19 ini.
Kita masih dan terus terkungkung dan tersandera dengan kesadaran dan cara pandang lama dan “jadul” atas perubahan yang sudah dan sedang berlansung di tengah-tengah kita baik secara fisikal maupun elemental.
Lihat saja kebijakan dan strategi pemerintah yang cenderung kering dan tidak berkedalaman bahkan gagap dan gugup baik dalam konsep maupun implementasi kebijakan yang kadang tidak konsisten serta tingkat kepatuhan dan kesadaran warga negara yang juga memprihatinkan.
Tentu kita tetap mengapresiasi aneka upaya yang telah dilakukan pemerintah di setiap lapisan, namun yang ingin disampaikan adalah sangat terasa keterlibatan dan peran kaum intelektual belum terasa hadir di sana.
Berhadapan dengan kompleksitas pandemi dan aneka dampak turunannya misalnya, reaksi kita selalu konservatif, bukan kritis dan progresif. Mari kita uji misalnya kebijakan pendidikan kita dalam menghadapi pandemi ini.
Proses bersekolah dan belajar serta kurikulum hanya diletakkan dalam konteks teknis semata, yakni pelaksanaan secara daring untuk menggantikan tatap muka langsung.
Pendekatan substansial malah kurang disentuh, yakni reevaluasi atau bahkan rekonstruksi sistem dan kurikulum pendidikan yang persuasif dan adaptif terhadap situasi pandemi.
Makanya tidak perlu heran kita masih terjebak pada tataran teknis tentang rencana kapan jadwal sekolah akan dimulai. Padahal yang kita butuhkan sejatinya adalah peta jalan dan pembaharuan sistem dan kurikulum pendikan yang menyeluruh baik pada sisi substansi dan teknis pelaksanaannya. Contoh lain, misalnya, dalam penyaluran bansos pada masyarakat.
Keruwetan dan pemujaan berlebih pada akurasi data orang miskin dan terpapar menjauhkan kita pada esensi dan moralitas kebijakan. Kita selalu mengira inti persoalan semata-nata pada akurasi data tapi abai untuk menata moral dan integritas aparat. Maka tidak perlu heran jika dalam praktek di lapangan kerap ditemui politisasi dana bansos dan dugaan penyelewengan dan korupsi dalam penyalurannya.
Proses penyelenggaraan Pilkada serentak juga tidak terlepas dari jebakan yang sama. Kita masih terjebak pada aspek teknis dan jadwal pelaksanaan semata tapi abai pada hakekat dan tujuan pilkada diselenggarakan. Ihktiar dan upaya serius tentang e-voting dan efisiensi Pilkada yang menjadi sebuah keniscayaan kerap hanya menjadi basa-basi politik walau kita sadar pandemi ini dapat menjadi momentum perbaikannya.
Untuk tidak menyebut aneka persoalan lainnya, sesungguhnya inti permasalahan utama kerumitan itu adalah bahwa kita belum memiliki kesadaran baru tentang apa yang kita hadapi dan masih melihat semesta persoalan pandemi ini dari “kacamata” dan sudut pandang lama. Sekali lagi, itu semua tinggal kenangan dan sejarah masa lalu.
Pandemi ini mengingatkan kita, bahwa COVID-19 ini bukan hanya persoalan kesehatan, tapi lebih luas dari itu, ini adalah ujian peradaban.
Ini bukan urusan dan tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga kesadaran etis warga negara. Ini soal keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem global dan warga bumi. Ini soal memulai kesadaran dan cara pandang baru terhadap pandemi COVID-19 dan barangkali aneka turunannya kelak.
Ini revolusi semesta.
Saya menyebutnya; “revolusi sunyi”.
Dan itu harus kita mulai dari diri sendiri.
“Bangunlah, hari sudah siang… !”
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik. Pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.