Oleh: Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- Aku merenung 3 jam hingga air mataku sulit berhenti. Mengingat kembali kepergian orang yang kita sayang dan orang yang paling dekat dengan kita adalah hal yang sangat menyedihkan. Tak bisa kubayangkan kembali kisah-kisah saat bernyanyi bersama, berboncengan bersama, naik mobil bersama, tertawa bersama, hingga satu hari marah kepadaku.
Suka bercanda adalah kesukaannya sehingga orang di sekelilingnya merasa nyaman dan bersahabat. Hal itu yang juga aku suka dan kadang kala menurun kepadaku; kadangkala berubah jadi pengecut, pecundang setelah tiada.
Semasa itu aku sangat menyukai durian, 5 buah durian bisa kusantap habis. Kala itu ketika membawa durian, hal yang paling ia ingat adalah aku si pecinta durian dan akan disisihkan beberapa durian atau beberapa ruas untukku. Tak pernah lupa.
Sekarang aku pura-pura menyukainya agar rasa itu kian terjaga. Karena aku pura-pura menyukainya maka aku terjerat jatuh ke dalamnya, aku benar benar menyukainya. Rasa itu benar benar tak bisa dibohongi. Dia tak pernah lupa denganku sehingga aku tidak bisa benar-benar melupakannya.
Bernyanyi memang kesukaannya. Sehingga pada waktu itu aku juga ikut bernyanyi bersamanya, menikmati karaoke dari TV, kala itu masih menggunakan kaset gulung berwarna cokelat juga kadang warna transparan dan DVD sebagai alat untuk menikmati musik. Ada satu lagu yang benar-benar kusuka karena hanya mengikutinya bernyanyi, sehingga sampai sekarang aku mengingat dan menghapalnya. Ketika lantunan nada musik itu kudengar, maka dengan seketika aku mengingatnya.
Tak hanya itu saja yang membuat rasa itu tak pernah pudar. Karena kecintaannya dengan musik, aku juga menemukan kumpulan lagu beserta notenya, bahkan aku menemukan lagu dengan ciptaannya sendiri. Aku merasa bangga sekali, ia bisa menciptakan lagu beserta kunci gitarnya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyanyikannya, aku tidak tahu nadanya. aku merasa manusia paling hina. Aku bangga tapi tidak mengetahuinya.
Aku hanya bisa memandangi kertas itu, membaca berkali-kali lirik lagunya. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain hanya membacanya dan hanya rasa bangga.
Juga ia pernah marah padaku. Melempar asbak rokok berwarna hijau yang terbuat dari melamin ke arah kakiku. Aku tahu dia sengaja melempar ke arah kakiku, tidak ke arah wajahku bahkan ke arah tubuhku. Dia marah tapi tidak benar benar marah. Marahnya bertujuan baik. Kala itu aku melakukan hal yang sok-sokan. Aku masih mengingatnya.
Itu adalah kali terakhir dia memarahiku. Sepertinya ingatanku akurat. Ya, betul. Itu terakhir kalinya.
Saat itu bulan Desember, natal telah tiba. Gilaranku merayakan natal bersama teman-temanku di gereja, biasanya disebut natal remaja naposo. Aku pada saat itu masih dikategorikan ke dalam golongan remaja, bagaimana tidak, aku masih kelas satu SMA semester dua walau sudah merasakan rindu pun sakit juga tetap saja dikategorikan remaja.
Aku banyak mengambil peran kala itu. Semangatku masih tinggi. Untuk menyukseskan satu kegiatan, itu adalah tujuan kami. Untuk kolaborasi yang baik dibutuhkan tim yang baik juga.
Biasanya dalam kegiatan natal, keluarga pasti datang untuk melihat penampilan anak-anaknya. Mereka bangga kalau anak anaknya tampil dengan percaya diri. Setidaknya orangtua pasti datang.
Mamaku datang untuk melihatku. Ketika aku tampil di depan, aku melihatnya dan merasa senang juga nyaman. Setelah tampil kedua kali, aku melihat bangku itu kosong. Kucoba melihat bangku yang lain, mana tahu hanya berpindah tempat duduk, jua tidak kutemukan. Acara belum selesai, kucoba menelepon, bertanya di mana.
Kakakku menjawab teleponku, mama pulang ke rumah karena bapak sakit.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan lemas.
Ia sudah tertidur pulas karena sedang sakit. Kadang kala dia menggerutu kesakitan.
Tanpa kusadari air mataku terjatuh. Sangat sulit berjiwa tegar ketika orang yang kita sayangi jatuh sakit. Aku juga ikut merasakan kesakitan.
Beberapa minggu di rumah sakit daerah tidak membaik dan akan dirujuk ke rumah sakit ibu kota.
Itu adalah hari terakhir kali aku melihatnya. Aku melihatnya dari kaca belakang mobil ambulance. Melihatnya terbaring lemas tak berdaya, melihatnya bernafas kesulitan walau sudah menggunakan oksigen. Aku tidak berani menghampirinya, aku tidak memeluknya. Aku hanya melihat kakakku memeluknya. Aku takut. Karena anggapanku penyakit itu pasti sembuh. Sehingga aku masih punya kesempatan untuk memeluknya kembali.
Pada saat itu mereka merayakan tahun baru di rumah sakit. Tak apalah. Demi sebuah kesehatan.
Awal Januari aku menelpon mereka mengucapkan selamat tahun baru, mengucapkan harapan supaya cepat sembuh dan bisa berkumpul bersama. Kuucapkan pertama kali kepada mamaku, lalu ke bapakku.
“Sudah terlambat,” ketusnya. Aku tahu itu ungkapan bercanda seperti hal biasanya dia lakukan. Beberapa detik kami terdiam tidak saling menyahut. Ternyata dia menangis menahan rindu. Akupun begitu. Air mataku tak tahu malu, keluar deras begitu saja.
Ya, betul. Itu adalah hari terakhir kali aku melihatnya. terakhir kali bernyanyi bersama. Terakhir kali mendengar suaranya. Terakhir kali melihat wajahnya. Terakhir kali mendengar tangisnya. Ia juga terakhir kali marah padaku.
Semuanya benar benar terakhir kali.
Dia benar-benar sembuh. Bahkan saat itu juga aku terakhir melihatnya tersenyum. Itu adalah benar-benar senyum terakhirnya. Senyum terlama yang dia berikan. Makkorasi ma sahalamu, pak.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana di salah satu Univ di Taiwan.