PIRAMIDA.ID- Beberapa kota besar di Indonesia termasuk dalam kota-kota yang intoleran menurut lembaga studi SETARA Institute. Sejauh mana penilaian itu tercermin dalam sikap anak-anak mudanya?
Sejak 2015, lembaga studi SETARA Institute rutin mengeluarkan laporan skor toleransi kota-kota di Indonesia.
Studi itu adalah satu dari sekian banyak penelitian dalam dua dekade terakhir yang memetakan dan mengukur perkembangan kualitas toleransi di Indonesia sebagai upaya deteksi dini kemungkinan berkembangnya intoleransi.
Pada 2018, SETARA menamakan Jakarta; Sabang dan Banda Aceh di Aceh; Medan dan Tanjung Balai di Sumatra Utara; Padang di Sumatra Barat; Cilegon di Banten; Depok dan Bogor di Jawa Barat; dan Makassar di Sulawesi Selatan sebagai 10 kota dengan skor toleransi terendah.
Meskipun penelitian SETARA ini tidak secara khusus menargetkan remaja sebagai objek studi, namun penelitian itu menunjukkan potensi intoleransi di kalangan remaja terjadi di beberapa kota di Indonesia.
Apakah anak-anak muda di kota yang termasuk intoleran memiliki sikap berbeda dengan mereka yang di kota toleran?
Untuk menganalisis sikap toleransi di generasi muda, saya dan tim meneliti sikap sosial Generasi Z, atau sering disebut juga “Centennials”, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, di kota-kota yang dinilai toleran dan intoleran.
Studi kami menunjukkan bahwa di manapun mereka berada, generasi Centennials sangat mendukung toleransi beragama baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam aktivitas media sosial.
Baik di kota toleran maupun yang intoleran
Kami tahun lalu mengumpulkan data dari 1.854 responden berusia 17-25 tahun lewat kuesioner daring di 10 kota toleran dan tidak toleran menurut riset SETARA.
Lima kota pertama adalah kota-kota yang pada 2017 masuk kategori intoleran SETARA yaitu Banda Aceh, Padang, Mataram di Nusa Tenggara Barat, Makassar, dan Yogyakarta.
Lima kota lain adalah yang dikategorikan toleran, yaitu Salatiga dan Surakarta di Jawa Tengah; dan Binjai, Pematang Siantar, dan Tebing Tinggi di Sumatra Utara.
Survei tersebut kami sebar di sekolah negeri, sekolah swasta, sekolah agama (madrasah aliyah, sekolah Islam, sekolah Kristen) yang umumnya di daerah urban yang menjadi fokus studi Setara Institute. Latar sosioekonomi responden kami sangat beragam mulai dari ekonomi bawah sampai ekonomi menengah ke atas.
Namun yang jadi persamaan adalah kehidupan Generasi Z kental dengan aktivitas internet. Mereka adalah “digital natives” yang sejak dini berinteraksi dengan perangkat teknologi informasi dan berselancar di dunia digital.
Oleh karena itu, kami juga meneliti apakah ada perbedaan sikap toleransi beragama mereka antara di dunia nyata dan interaksi di internet.
Berdasarkan temuan kami, anak muda bisa menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari untuk berinteraksi di internet, khususnya di media sosial.
Meski diakui secara luas bahwa media sosial memiliki manfaat yang luar biasa untuk pengguna generasi muda, namun tidak bisa dipungkiri bahwa platform media sosial juga memiliki efek berbahaya termasuk kemungkinan meresapnya nilai intoleransi dan radikalisme.
Mayoritas responden kami mengungkapkan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain khususnya di lingkup pertemanan, lingkungan, dan organisasi.
Tren toleransi yang sama ditunjukkan oleh anak muda di media sosial.
Mayoritas responden (62%) sangat toleran terhadap topik terkait agama yang berbeda dengan keyakinannya di media sosial. Mereka menentang pernyataan yang menyinggung agama lain.
Responden kami menegaskan konsistensi perilaku Generasi Z di dunia nyata dan di dunia maya: di kedua ranah tersebut, mereka menunjukkan toleransi terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan.
Ini berbeda dengan dengan sikap kelompok usia yang lebih beragam (responden berusia 17 tahun ke atas) dalam studi Lembaga Survei Indonesia dan Wahid Institute tahun 2019.
Studi itu menunjukkan tren meningkatnya intoleransi, khususnya terkait pembangunan rumah peribadatan, pelaksanaan ibadah di lingkungan sekitar di luar rumah ibadah, dan pemilihan pemimpin.
Toleransi responden kami terhadap latar belakang suku yang berbeda juga tinggi.
Sebanyak 85% responden merasa nyaman berteman dengan orang dari etnis yang berbeda; 87% responden mengatakan memilih untuk bergabung di grup sosial media yang anggotanya berasal dari etnis yang beragam.
Masa depan toleransi
Studi kami menunjukkan bahwa Centennials – baik yang tinggal di kota toleran maupun tidak toleran menurut SETARA Institute – terbuka untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan mereka yang berbeda agama dan etnis secara langsung maupun lewat internet.
Sikap Generasi Z juga menegaskan bahwa bahwa toleransi antar etnis telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Karena sikap toleransi ini ada di kalangan anak muda Indonesia, maka ini memberi kita harapan bahwa sikap-sikap ini tampaknya akan terus berlanjut di masa depan.(*)
Source: The Conversation.