PIRAMIDA.ID- Peredaran rokok ilegal makin meresahkan. Jutaan batang rokok tanpa cukai disita dan diberangus aparatur negara, tapi peredarannya tak mati-mati. Setiap kali razia, penyitaan dan pemberangusan rokok ilegal tentu memakan biaya. Ada ‘ongkos’ untuk menjalankan semua operasi itu. Dan ongkos itu harus terus keluar tanpa tahu kapan akan selesai.
Baru saja terjadi kemarin, pelaku penyelundupan 3,3 juta batang rokok ilegal bernilai Rp 5,9 milyar ditangkap di Aceh. Sepekan sebelumnya, 324 ribu batang rokok berpita cukai palsu senilai Rp 331 juta juga disita Bea Cukai Kudus. Hampir setiap pekan berita mengenai rokok ilegal tersiar.
Mulai dari kabar razia, penggrebekan gudang, penggagalan penyelundupan, penangkapan kartel, hingga pemberangusan barang sitaan kerap menghiasi laman-laman pemberitaan. Pertanyaannya: mengapa masalah ini seolah tak berujung?
Tentu ada beragam jawaban untuk menjelaskan penyebab maraknya rokok ilegal. Tapi, salah satu yang diyakini adalah kenaikan harga rokok.
Sejatinya konsumen rokok sadar bahwa kualitas dan mutu rokok yang bercukai jelas jauh di atas rokok-rokok murah tanpa cukai. Mengingat harga rokok legal yang terus melambung, beberapa konsumen mulai menyiasati dengan beralih ke produk yang lebih ekonomis–meski harus mengorbankan kualitas dan mutu yang didapat.
Harga Jual Eceran (HJE) rokok legal memang sangat mahal. Ini semua dampak dari kebijakan negara yang menaikkan tarif cukai dan HJE yang tinggi di awal tahun kemarin (2020), ditambah faktor non teknis seperti krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 yang meluluhlantakan ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.
Daya beli masyarakat menurun. Standarisasi konsumsi pun mengikuti. Dari titik inilah rokok tanpa cukai mulai memiliki segmen baru, yakni segmen perokok yang kecewa.
Lantas apa yang negara siapkan sebagai formula menyikapi fenomena ini? Tidak tahu. Terus terang saya tidak tahu apa langkah strategis yang disiapkan negara untuk setidaknya menekan peredaran rokok ilegal. Paling-paling, ya, sosialisasi dengan seminar, himbauan dan iklan. Mentok-mentok, ya, razia lagi, penyitaan lagi, dan pemberangusan lagi.
Pada titik tertentu, peredaran rokok tanpa cukai jelas akan mempengaruhi angka penjualan rokok bercukai. Angka penjualan tersebut kemudian akan mempengaruhi produktifitas industri. Dan, secara otomatis akan berdampak pada para pekerja alias buruh linting dan petani tembakau, tentunya. Inilah efek domino peredaran rokok ilegal.
Kondisi semacam ini berpotensi terus terjadi hingga beberapa tahun ke depan. Pasalnya, negara melalui Kemenkeu telah menyiapkan regulasi yang menjamin bahwa tarif cukai dan HJE rokok akan terus naik secara gradual hingga tahun 2024. Ironis.(*)
Komunitas Kretek Indonesia