PIRAMIDA.ID- Rokok Indonesia secara umum merupakan produk kretek yang memiliki aspek sejarah-budaya yang panjang. Dimulai dari ditemukan oleh Haji Djamhari pada abad 18 akhir sebagai pereda asma, sampai kemudian masuk babak industrinya yang dipelopori oleh Nitisemito.
Nitisemito menjadi sosok pebisnis kretek yang sukses hingga mendunia namanya. Begitupula kretek yang semula disebut rokok cengkeh, sebagai rokok yang memiliki aroma khas berkat komposisinya. Kemajemukan tembakau serta rempah-rempah yang ada di Indonesia, memungkinkan sekali rokok khas bangsa ini hadir sebagai bagian dari identitas masyarakat.
Rokok putihan (american blend) paling banyak mengandalkan tiga jenis tembakau sebagai bahan bakunya, yakni, tembakau Virginia, Burley, dan tembakau Oriental (Turkish). Berbeda dalam sebatang kretek yang komposisinya terkandung belasan bahkan mencapai lebih dari 30 jenis tembakau, yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia.
Unsur tambahan rempah dan saos yang merupakan herba alamiah pada komposisi sebatang kretek, kerap disetarakan sebagai penyedap (flavour). Keragaman unsur bahan baku itulah yang membuat kretek secara komposisi berbeda dengan sigaret putihan yang berasal dari Barat.
Pada tahun 70-an, pasar sigaret di Indonesia terutama kretek, terbilang kalah populer dengan rokok putihan berkat propaganda dan tampilannya yang lebih menarik. Namun, seiring perkembangan setelah ditemukannya kretek rendah tar-nikotin dan penggunaan filter (gabus) pada era 80-an, terjadi lonjakan yang signifikan. Konsumen rokok putih hijrah ke jenis kretek yang baru ini.
Secara pembabakan sejarahnya, industri rokok dalam negeri mengalami berbagai dinamika tekanan seturut perubahan politik dan ekonomi global. Ditandai sejak masa peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto.
Kiblat ekonomi berubah. Bantuan keuangan dalam jumlah besar mengucur dari negara-negara barat. Sebagai kompensasi, Orde Baru mengangkat World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sebagai mentor perekonomian Indonesia.
Perubahan kiblat ekonomi berarti juga dikembalikannya perusahaan-perusahaan milik Inggris dan AS yang dulu diambil alih Soekarno. Salah satu perusahaan rokok itu adalah BAT (British American Tobacco), produsen rokok putih yang menjadi lokomotif pasar yang demikian lesat menguasai pasar dan mendesak keberadaan produk kretek pada tahun 1968-1969. BAT menguasai 40% pasar dalam negeri.
Namun kemudian, berkat kebijakan mekanisasi industri pada era 80-an, kondisi pasar berbalik drastis. Kretek menjadi raja di negerinya sendiri. Kondisi ini tak luput disebabkan adanya fokus pemerintah untuk mengurangi impor dan menguatkan devisa swasembada cengkeh dicanangkan. Ini didasari oleh fakta serapan cengkeh untuk kebutuhan industri kretek demikian tinggi.
Sampai tahun 1997, industri kretek telah mencatat banyak kemajuan dan melesat jauh meninggalkan industri rokok putih. Sewasembada cengkeh dinyatakan berhasil pada tahun 1991. Terjadi perluasan lahan yang mencolok. Indonesia semakin mempertegas posisinya sebagai penghasil cengkeh terbesar di dunia meninggalkan Zanzibar dan Madagaskar. Sekaligus menghapus ketergantungan tinggi industri kretek atas impor cengkeh.
Sejak awal industri kretek hidup dari pasokan tembakau dalam negeri. Meski Indonesia tidak termasuk ke dalam 10 besar negara penghasil, industri kretek tak pernah mempunyai ketergantungan tinggi pada impor tembakau.
Pada masa krisis moneter terjadi, pendapatan negeri dari cukai industri kretek justru meningkat. Dari Rp 4,153 triliun di tahun 1996 menjadi Rp 4,792 triliun pada tahun 1997 dan Rp 7,391 triliun pada tahun 1998. Tiga raksasa kretek yakni Gudang Garam, Sampoerna, dan Djarum, tergolong sebagai perusahaan yang bekerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di Asia (1999-2000).
Selama masa krisis (1997—2002), rata-rata pertumbuhan jumlah industri kretek meningkat sebesar 4,43 persen per tahun. Peningkatan terbesarnya terjadi pada 1998 sebsar 9,73 persen. Krisis finansial Asia, atau lebih dikenal sebagai krisis moneter di Indonesia, telah menjadi ajang pembuktian ketangguhan industri kretek untuk kesekian kalinya, sebagaimana kita tahu, industri kretek lahir di zaman kolonial. Sebelumnya juga telah melewati berbagai terpaan badai sejarah.
Kemudian babak tekanan berikutnya, ditandai pada pertengahan tahun 1999, isu pengendalian tembakau menyeruak ke permukaan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sudah siap dan segera ditetapkan. Iklan, promosi dan sponsorship diatur. Peringatan kesehatan harus dicantumkan. Larangan merokok diberlakukan di tempat-tempat tertentu. Penjualan rokok dibatasi.
Kadar tar dan nikotin juga dibatasi di level 20mg (tar) dan 1,5mg (nikotin). Industri kretek terpukul. Terlebih sektor SKT. Sebaliknya, industri rokok putih sangat diuntungkan. Kita tahu sendiri, kadar kandungan rokok putih memang sudah rendah.
Untuk mengatasi kondisi demikian, mau tak mau industri kretek harus mengganti dengan tembakau virginia. Bahan baku rokok yang selama ini digunakan rokok putih. Ditengarai kebijakan ini murni lahir dari rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Disimpulkan sejumlah kalangan, beleid baru ini merupakan kongkalingkong kepentingan dagang industri rokok putih yang ingin berusaha memenangkan melalui lobi-lobi di tingkat kebijakan.
Kemudian lahirlah PP 88/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sebagai anak sulung kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Lebih mendasar dari itu, Peraturan Pemerintah No 81/1999 ini menandai perang global melawan tembakau merambah Indonesia. Di balik itu, sedkit kalangan yang tahu, bahwa perang global terhadap tembakau bermula dari persaingan bisnis nikotin antara industri farmasi dengan industri tembakau di AS.
Nikotin menjadi bisnis baru yang menggiurkan. Miliaran dolar AS berputar di bisnis itu. Sebagaimana yang dipaparkan melalui buku Nicotine War, Wanda Hamilton. Kampanye kesehatan publik tentang bahaya tembakau hanyalah kedok bagi kepentingan bisnsis memasarkan produk NRT (Nicotine Replacement Therapy).
Perlu diketahui, PP 81/1999 ini beberapa kali mengalami proses amandemen, pada masa pemerintahan Gus Dur kemudian Megawati. Melalui PP 19/2003 yang diamandemen Megawati, pasal tentang pembatasan kadar tar-nikotin dihapus.
Setiap perusahaan hanya diharuskan melakukan uji coba laboratorium yang terakreditasi, dan mencatumkan kadar tar-nikotin pada kemasan produknya. Industri kretek dapat bernafas lega.
Di sisi lain, kalangan antitembakau yang mengusung isu kesehatan terus bersuara keras. Wacana negatif tentang tembakau begitu marak. Berbagai riset dan wacana bahaya tembakau intens dalam pemberitaan. Isu kontrol tembakau menyesaki ruang-ruang publik.
Pada tanggal 27 Februari 2005, FCTC sebagai traktat internasional pengendalian tembakau dinyatakan efektif berlaku sebagai konvensi hukum internasional pengendalian tembakau. Sebulan pasca ketetapan itu, persisnya Maret 2005, Philip Morris mengakuisisi saham Sampoerna. Empat tahun kemudian giliran Bentoel sebagai perusahan kretek terbesar keempat di Indonesia dicaplok BAT.
Persaingan sepanjang sejarah, yang nyaris dimenangkan melalui lobi-lobi kebijakan pada penyusunan PP 81/1999, berubah menjadi akuisisi. Sementara kenaikan cukai sebagai salah satu poin penting FCTC, telah mempersempit persaingan. Industri kecil kretek banyak yang gulung tikar akibat kebijakan demi kebijakan yang lahir, puncaknya PP 109/2012.
Industri kretek makin terhimpit. Dana puluhan miliar rupiah dari Bloomberg Initiative mengucur ke LSM, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga akademis di Indonesia. Bloomberg Initiative lembaga yang didirikan untuk menyukseskan perang global melawan tembakau melalui penguatan kebijakan dan kemampuan pengendalian tembakau, terutama di negara berkembang dan miskin.
Lima negara mendapat perhatian khusus, termasuk Indonesia. Demi mencapai tujuannya, Bloomberg Initiative membangun kemitraan dengan World Lung Foundation, Center for Tobacco Free Kids, CDC Foundation, WHO, dan Jhon Hopkins Bloomberg School of Public Health.
Melalui isu filantrofisnya, kucuran dana yang tidak main-main dari Bloomberg secara signfikan memperkuat gerakan antitembakau di Indonesia. Peraturan Daerah antitembakau lahir di banyak daerah. Perda Bogor ditetakan dalam rangaka mencapai target ambisius bertajuk Bogor Smoke Free City 2010 yang didukung 4 lembaga international.
Begitupula dengan terbitnya Pergub DKI 88/2010, yang penyusunannya didampingi Swiss Contact Indonesia, salah satu penerima dana Bloomberg Initiative. Tak kalah ambisiusnya dengan Bogor, Jakarta mengusung pula jargon Smoke Free Jakarta.
Kemudian di masa Anies Baswedan, semangat memerangi rokok dibunyikan melalui jargon Jakarta Bebas Rokok, serta dikeluarkannya Sergub DKI No. 8/2021. Ditengarai, terbitnya Segub ini sebagai bentuk keseriusan Anies dalam kolaborasinya dengan Michael Bloomberg, didukung melalui surat yang berisikan permintaan kerjasamanya untuk mendapatkan sokongan.
Dari sini jelas membuktikan, bahwa agenda memerangi rokok dengan menggunakan isu kesehatan hanyalah trik belaka untuk memuluskan kepentingan asing, demikian pun manuver yang dimainkan Anies. Wajar, jika banyak kalangan, termasuk mantan menteri Ketenagakerjaan dan Perindustrian, Fahmi Idris, angkat bicara.
Menurutnya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang potensinya menghambat IHT. Apalagi indusrti kretek adalah industri asli Indonesia.
Masyarakat tentu tak semua mampu melihat isu rokok ini secara jernih. Apalagi, jika diskursus yang ramai di media sosial hanya dilandasi isu normatif yang berkaitan dengan kesehatan, alih-alih mengulik kepentingan ekonomi politik global di belakangnya.(*)
Komunitas Kretek Indonesia