Oleh: Gregorius Bryan G. Samosir (Ketua Lembaga Pengembangan SDM PP PMKRI)
PIRAMIDA.ID- Belum kering air mata akibat gempa yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat, Indonesia dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri yang terjadi pada hari Rabu, 7 Desember 2022 di Polsek Astana Anyar Bandung. Tak tanggung-tanggung, aksi ini menimbulkan 11 korban dengan satu orang polisi meninggal dunia setelah sempat kritis, sedangkan si pelaku meninggal dunia di lokasi kejadian.
Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astana Anyar Bandung bukan kali pertama terjadi di Indonesia.Sebut saja kasus bom bunuh diri di Gereja Makassar yang menewaskan pelaku dan sekitar 20 orang luka-luka, bom bunuh diri di Tiga Gereja di Surabaya yang melibatkan pasangan suami istri dan anak-anaknya, bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya.
Berdasarkan laporan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), ada 370 tersangka terorisme di tanah air pada tahun 2021 dan 232 tersangka terorisme pada tahun 2022. Artinya dari tahun 2020 ke tahun 2021 terjadi kenaikan 59,48% tersangka terorisme. Meskipun meningkat, jumlah aksi terror menurun 7 kasus dengan rincian kasus terror terjadi sebanyak 13 aksi pada 2020 dan 6 aksi pada tahun 2021. Pada tahun 2019 ada 275 tersangka terorisme dengan jumlah aksi sebanyak 8 aksi. Pada tahun 2018 ada 396 tersangka terorisme dan tahun 2017 sebanyak 176 tersangka.
Hal ini senada dengan penyampaian dalam konferensi pers pada Maret 2022, sesudah Rapat Dengan Pendapat dengan Komisi III DPR RI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Kedeputian Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Irjen Pol. Ibnu Suhaendra menjelaskan ancaman terorisme dalam kurun waktu 2017 – 2022 bergerak fluktuatif, meningkat pada tahun 2019, menurun pada tahun 2020 dan meningkat lagi pada tahun 2022 berdasarkan laporan GTI tahun 2022.
Dari sekian banyak kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, pola dan jaringannya terlihat mengalami perubahan; berkembang dari satu pola ke pola lain. Perubahan yang paling kentara adalah pergeseran dari terorisme tradisional menjadi pola modern. Terorisme tradisional secara umum ditandai dengan adanya kelompok dengan personel dan komando yang jelas. Sistem organisasinya berlangsung berdasarkan sistem pyramid-hirarkis. Aktor terlibat secara penuh, mulai dari perencanaan hingga plotting target. Melakukan pemilihan target secara selektif. Operasi serangan dilakukan secara konservatif. Sementara kelompok atau organisasi yang melakukan serangan mengklaim atau mengakui perbuatannya. Terorisme model ini terjadi sebelum operasi terorisme pasca tragedi 11 September yang melibatkan Al Qaeda dan Al Jama’ah al Islamiyah (JI).
Peristiwa bom Bali I dan II, serangan bom J.W. Marriot I dan II adalah produk dari terorisme pola tradisional. Serangan direncanakan dengan pengorganisasian, pendanaan, serta perencanaan yang matang, sehingga menghasilkan efek yang dahsyat.
Perubahan dari pola tradisional ke pola modern terjadi beberapa tahun pasca bom Bali I dan II, yakni ketika sel-sel dan beberapa nama aktor teroris dan jaringan terorisme global terkuak. Pada masa ini, koordinasi dan dukungan dari aktor local mulai tersendat. Dalam kondisinya yang kian terjepit, para teroris kemudian mulai mengeksplorasi pola baru yang ditandai dengan aksi-aksi mandiri. Struktur organisasi terpisah dan tidak jelas, kendali komando bersifat horizontal. Kelompok besar teroris terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil yang melakukan aksi secara terpisah. Sistem pendanaan dilakukan dengan secara terpisah atau dengan menjalin kerjasama antara kelompok jika memungkinkan. Target tidak lagi harus ditentukan oleh pemimpin besar, mereka juga tidak lagi melakukan pengakuan publik atas aksi yang dilakukan. Pola ini terlihat pada kasus bom Cirebon, Serpong, Solo, Sarinah dan sebagainya.
Pola terorisme modern memunculkan fenomena baru bernama Phantom Cell Network (Jaringan Sel Hantu), Leaderless Resistance (Perlawanan Tanpa Pimpinan), dan Lone Wolver (Serigala Tunggal). Jaringan sel hantu ini pertama kali dikembangkan oleh Ulius Louis Amoss pada awal tahun 1960an. Jaringan ini adalah “hubungan gelap” antar grup yang dijalankan secara sangat rahasia. Tidak memiliki ikatan kelompok, struktur kelompok tidak jelas, namun memiliki kesamaan ideologi. Sementara jaringan terorisme tanpa pimpinan mengambil pemimpin hanya untuk dijadikan sebagai motivator untuk sosok-sosok yang dinilai sudah ikhlas untuk menjadi martir/pengantin dalam menentukan targetnya. Sedangkan jaringan serigala tunggal adalah aktor-aktor yang termotivasi dan sanggup merencanakan dan mengeksekusi aksi terorisme secara mandiri yang dalam konteks ini status si aktor ataupun organisasinya tidak dipermasalahkan. Dalam hal ini, yang paling penting adalah aksi terorisme dapat terus berjalan, semakin banyak lone wolver semakin bagus, aksi serangan tetap berlangsung meskipun hanya skala kecil (Sofiatul Fitriyani).
Berkaca pada kasus Polsek Astana Anyar Bandung, pelaku AS yang merupakan mantan narapidana kasus terorisme dalam kasus bom Cicendo merupakan sosok yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi selama di tahanan serta lihai dalam merakit bom. Sebagai informasi, dalam kasus bom Cicendo pada tahun 2017, AS disebut berperan dalam pembelian senjata, dana, survey lokasi dan merakit bom. Kelak, bom yang dirakit AS disebut dengan bom panci, bom yang kemudian digunakannya untuk meledakkan diri di Polsek Astana Anyar Bandung. AS mendekam di Lapas Kelas II A Pasir Putih, Nusa Kambangan selama 4 tahun karena disebut terbukti terlibat dalam kasus bom Cicendo sebelum akhirnya bebas pada Maret 2021 yang lalu.
Deradikalisasi Gagal?
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menduga pelaku bom Astana Anyar tidak sendirian dalam menjalankan aksinya. Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Ibnu Suhendra menduga bahwa aksi terror yang dilancarkan AS berasal dari jaringan atau kelompok yang terstruktur.
“Jika dilihat dari motif, kelompok ini ingin melakukan penyerangan terhadap kepolisian dengan tujuan agar anggota kita lebih banyak korban.” kata dia.
Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung berstatus “masih merah” dalam program deradikalisasi. “Yang bersangkutan ini sebelumnya ditahan di LP Nusakambangan. Artinya, dalam tanda kutip masuk kelompok “masih merah” atau high risk. Proses deradikalisasi membutuhkan teknik dan taktik yang berbeda.” ujarnya.
Dikutip dari situs bnpt.go.id deradikalisasi merupakan suatu upaya untuk mengurangi dan menghilangkan paham radikal seseorang. Program ini bertujuan untuk menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terpapar dengan paham radikalisme, dengan sasaran yakni para teroris yang ada di dalam lapas maupun di luar lapas. Upaya deradikalisasi di dalam lapas dilakukan dengan tahapan-tahapan identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi. Sedangkan upaya deradikalisasi dilakukan dengan cara identifikasi, pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan dan kewirausahaan.
Adanya kasus bom Astana Anyar Bandung harus menjadi evaluasi menyeluruh bagi BNPT maupun seluruh pihak terkait. Seorang mantan narapidana teroris yang berstatus “masih merah” atau high risk seharusnya wajib berada dalam pengawasan BNPT maupun pihak-pihak terkait. Aksi teror yang dilancarkan oleh individu atau kelompok teroris dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, dengan target tertentu. BNPT dengan instrumentnya serta stakeholder terkait harus mengoptimalkan program deradikalisasinya. Tidak boleh ada seorangpun mantan narapidana terorisme high risk lepas dari bawah hidung BNPT. Sehingga kita tidak perlu lagi menyaksikan jatuhnya korban jiwa bom bunuh diri atau aksi teror lainnya di kemudian hari.
Setidaknya, kita dapat mengatakan bahwa Abu Bakar Baasyir yang sejak dibebaskan pada tanggal 8 Januari 2021 yang lalu sampai hari ini berhasil dalam mengikuti program tersebut. Mengapa AS tidak?(*)