PIRAMIDA.ID- Anarkisme adalah filsafat yang berpaham bahwa masyarakat bisa dibentuk tanpa negara, bersifat kolektif, dan non-hierarki. Ajaran ini juga dihubungkan dengan paham kiri seperti sosialisme dan komunisme yang menuntut perjuangan rakyat.
Pemikirnya mulai dari Max Stirner, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dan Edward Douwes Dekker (Multatuli) yang pernah berkunjung ke Hindia Belanda pada 1838.
Rupanya, pandangan anarki tak hanya dimiliki oleh pemikiran Barat saja, tetapi juga dimiliki beberapa kelompok masyarakat adat di Nusantara. Salah satunya adalah masyarakat Samin atau Sedulur Sikep yang tinggal di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kemiripan antara falsafah Saminisme dengan Anarkisme itu diungkap oleh Harry J Benda dan L Castles dari Leiden University dalam Journal of the Humanities and Socieal Sciences of Southeast Asia and Oceania tahun 1968.
Jasper seorang asisten residen Tuban dan Cipto Mangunkusumo juga menilai bahwa Saminisme muncul akibat kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang eksploitatif dan memberatkan. Ungkapan mereka dikutip oleh Amrih Widodo dalam Untuk Hidup Tradisi Harus Mati di Majalah Basis edisi Oktober tahun 2000.
Secara pemahaman yang berunsur kebudayaan Jawa dan kepercayaan Kejawennya, Saminisme dicetuskan pertama kali Samin Surosentiko, seorang petani yang menjadi tokoh perlawanan di Blora. Penyebaran paham ini awalnya tersebar dari Klopoduwur, Blora pada 1890 yang tersebar ke beberapa kabupaten seperti Pati hingga Bojonegoro.
“Itu kebetulan saja, Ki Samin Surosentiko enggak kuliah ke Eropa kok. Dia hanya menggali pemahaman Jawa kuno terus dikembangkan tahun 1850-an,” kata Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Sedulur Sikap Blora.
Awal mula pergerakannya melawan kesewenangan bermula dari kelompok masyarakat tani yang tertindas oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka sempat menolak membayar pajak, mengkritisi otoritas–baik era kolonialisme hingga kemerdekaan kini, dan berbicara terus terang.
“Kami kalau melawan enggak pakai kekerasan, karena cara itu selalu gagal seperti yang dilakukan Diponegoro sebelum Ki Samin,” Pramugi menjelaskan.
“Cara kami cukup kalau ditanya cukup mbulet (ketus), enggak mau bayar pajak, dan enggan kerja bakti, dan enggak perlu takut.”
Gerakan protes mereka terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia sangat kental, terlebih jika itu menyangkut masalah lingkungan. Sesuai dengan ajaran Kejawen juga, mereka menyadari bahwa hidup harus selaras dengan alam dan kekuatan rohani.
Untuk itu, masyarakat Samin ingin agar alam dan lingkungan sekitarnya lestari, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesama, bukan untuk pribadi. Apalagi jika harus dibawa keluar negeri, papar Pramugi.
Secara catatan birokrasi, Pramugi merupakan ketua masyarakat Samin. Ia mengakui bahwa jabatan itu hanya diberikan oleh pemerintah Indonesia yang tak dihendaki dirinya karena tak sesuai dengan falsafah Samin.
“Saya enggak ingin itu. Saya ditunjuk jadi pemimpin tetap saja cari duit dari keringat sendiri, bukan duit rakyatnya,” ungkapnya.
Idealisme mereka yang enggan pada hierarki juga tertuai dalam bahasa Jawa-ngoko yang mereka gunakan.
Tingkatan Jawa Krama (halus), Madya (biasa), Ngoko (kasar) yang umumnya dipakai tak diterapkan karena cara menghormati orang lain bukanlah lewat bahasa, tetapi perbuatan. Selain itu, penggunaan Jawa-ngoko identik dengan bahasa Jawa Kuno agar bisa memperkuat inti pembicaraan.
Ajaran Saminisme berprinsip nilai luhur yakni tak membenci agama manapun, tak boleh dengki, sabar dan tak bertengkar, memahami hidup dan kematian, melawan ketertindasan, jujur dan menjaga ucap.
Prinsip Samin juga enggan untuk berdagang karena memiliki unsur ketidakjujuran/kapitalisme. Bahkan beberapa masyarakat juga berpendapat tak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang yang rawan kepentingan pihak luar.
Perbedaan tafsir ajaran Samin Surosentiko bagi Pramugi adalah hal yang wajar, karena ajaran ini sebenarnya budaya tutur yang diturunkan dari mulut ke mulut. Beberapa orang mencoba menuliskannya dalam bentuk kitab, tetapi tak dapat memungkiri perbedaan tafsir itu sendiri.
‘Kitab’ yang dianggap sebagai pedoman hidup masyarakat Samin adalah Serat Jamus Kalimasada, yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.
Tetapi Pramugi menolaknya sebagai patokan utamabagi kelompoknya. Sebab serat-serat itu berunsur Hindu, sedangkan Kejawen yang dipahami Samin Surosentiko benar-benar murni falsafah budaya Jawa atau Kejawen.
Perbedaan tafsir dalam masyarakat Samin juga disebabkan luasnya cakupannya. Mereka dapat melebur dalam masyarakat agama lain, bahkan antar komunitas juga bisa memiliki pandangan berbeda tentang penerapan Saminisme.
Walau berbeda, mereka terkadang mengadakan Temu Ageng Sedulur Sikep di Sambongrejo yang diadakan setiap Jumat Legi sebagai ajang silahturahmi Sesama masyarakat Samin.
Bagi mereka, Jumat Legi merupakan unsur laut yang berarti tempat kehidupan bermula dan air yang dibutuhkan untuk hidup.
“Kegiatan itu selalu diadakan oleh pihak pemerintah, jarang yang diadakan sendiri. Kalau [masyarakat Sedulur Sikep lainnya] mau ke sini, datanglah ke sini. Kami enggak ajak, karena kalau megnajak itu ada konsekuensinya, [seperti] harus tanggung jawab kalau lapar,” ia menekankan.
“Tetapi yang jelas bagi kami tidak ada ritual, Samin itu ajaran non-ritual. Enggak semedi, enggak apa, karena yang penting bagi kami itu sama saudara rukun yang baik, kerja yang jujur, kita saling santai ben penak (biar enak).”(*)
National Geographic