PIRAMIDA.ID- Sampah tidak hanya identik dengan bau busuk. Mungkin lebih pas kalau sampah diartikan cermin kehidupan. Dengan hanya melihat sampah yang dihasilkan, dapat diketahui sifat asli manusia dan wajah dari peradaban.
Agaknya karena itu, tragedi pada 21 Februari 2005 silam, ketika dua kampung tergulung longsoran sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, yang merenggut 157 orang meninggal dijadikan refleksi nasional tentang sengkarut persampahan.
Karena itu, pengelolaan sampah yang tepat mendesak untuk dilakukan. Tanpa langkah yang tepat, segudang masalah terkait pengelolaan sampah berpotensi terus membebani. Apalagi, sampah dari daratan sudah menciptakan bencananya sendiri di lautan.
Demikian salah satu benang merah dalam diskusi bertema “Pengelolaan Sampah Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Aliran Sungai” yang digelar Mongabay Indonesia bersama Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Indonesia secara daring, Jumat (19/2/2021). Hadir sebagai pembicara adalah Manajer Program Kehutanan Yayasan Kehati Imanuddin Utoro, Satgas Naturalisasi Ciliwung Een Irawan Putra, serta Kepala Layanan Strategis Waste4Change Ridho Malik.
“Selama masih banyak sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir, selama itu pula pengelolaan sampah akan selamanya monoton dan jauh dari perubahan,” kata Imanuddin. Apalagi, produksi sampah bertambah banyak seiring peningkatan jumlah penduduk.
Sebagai gambaran, sebanyak 2,5 juta warga Kota Bandung, menghasilkan 1.500-1.600 ton sampah per hari. Namun, hanya 1.100-1.200 ton yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Sebanyak 150-250 ton sampah memang sudah diolah oleh warga. Tetapi sekitar 250 ton sampah diduga menumpuk di tempat pembuangan sampah liar atau di bantaran sungai.
Itu hanya skala kota. Jika dalam skala provinsi, jumlah sampah bisa membikin kita mengangkat bahu. Laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat sebesar 1,48%. Saat ini, jumlah penduduk Jawa barat 18,37% dari total penduduk Indonesia. Dengan populasi sebanyak itu, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat mencatat, timbulan sampah mencapai 21.000 ton per hari pada tahun 2017. Lalu, tahun 2018 terjadi kenaikan menjadi 22.000 ton per hari, dan di tahun 2019 naik menjadi 22.400 ton per hari.
Kata Imanuddin, Yayasan Kehati pernah melakukan survei selama tiga tahun di bantaran Sungai Citarum yang melintasi 12 kabupaten/kota. Hasilnya, pengetahuan masyarakat dengan cara memilah dan memilih sampah cukup hafal. “Namun, ketiadaaan infrakstruktur membuat mereka bingung yang ujungnya perilaku buang sembarangan tetap dilakukan,” ujarnya
Padahal upaya pengelolaan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat turut terkait dengan menjaga ekosistem. Karena berdasarkan kajian Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sampah berkontribusi sebanyak 6 persen dari gas rumah kaca. Ini menjadi biang perubahan iklim. Ini juga akan menyebabkan pemutihan karang serta hilangnya habitat di baik pesisir maupun pegunungan, kata Imanudin, “Bukan tidak mungkin sampah dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati.”
Berawal dari perilaku membuang sampah sembarangan, kemudian sampah masuk ke badan sungai menuju pesisir yang akhirnya mencemari lautan. Sampah plastik di lautan ini kemudian terurai menjadi plastik mikro dan nano yang masuk ke rantai makanan dengan dimakan oleh biota laut, kemudian dimakan ikan dan akhirnya dimakan oleh manusia.
Agaknya, karena itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman sejak 2016 menyusun Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Plastik di Lautan. Penanganan sampah di laut harus dimulai di darat dan melibatkan semua pihak. Selain diet plastik salah satunya, perlu juga pengelolaan sampah dan perubahan perilaku agar tak buang sampah ke sungai yang akhirnya menuju laut. Agar plastik di lautan tak menjadi bencana global terbesar setelah perubahan iklim.
Setelah hampir sebelas tahun bergelut dengan sampah di Sungai Ciliwung, Satgas Naturalisasi Ciliwung Een Irawan Putra menyimpulkan, “Kita akan kehabisan waktu terus-terusan memungut sampah yang tidak akan ada habisnya. Kita sudah harus memberikan perhatian lebih pada perilaku masyarakat.”
Een mungkin saja greget. Pasalnya, Undang-Undang No.18/2008 tentang Sampah hampir berusia sepuluh tahun, tetapi beberapa amanat di dalamnya belum bisa dikerjakan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Salah satunya adalah penerapan tanggung jawab produsen atas sampah kemasan yang dihasilkannya atau extended producer responsibility (EPR). Yang entah kapan bisa diterapkan.
Meski sejauh ini, UU No 18/2008 sudah dipertajam di Peraturan Pemerintah No 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun, penerapannya dinilai masih sukarela sehingga kurang efektif. Masalah menjadi pelik, ketika sampah kemasan makanan atau minuman, kosmetik, dan produk lain menjejali tempat penampungan akhir, sungai, dan laut.
Een bingung, ketika sederet aturan telah tersedia. Fasilitas pembuangan dan pengolahan sampah ada meski belum sempurna. Kini, tinggal menagih komitmen setiap individu, pejabat, ataupun warga untuk bertanggung jawab atas sampahnya sendiri.
“Satgas Ciliwung telah menyusun rencana aksi, dokumen taat administrasi, pemberian insentif bagi puluhan petugas hingga membikin payung hukum yang menjadi pedoman untuk tertib tetapi itu ternyata tak cukup efektif membentuk perilaku yang taat,” imbuhnya. Maka dari itu, kata Een, “Salah satu penting satgas terus menyadarkan masyarakat sampai warga bosan diingatkan, justru itu mungkin lebih baik begitu.”
Untuk membersihkan Ciliwung sepanjang 15 kilometer, memang bukan perkara gampang. Kota Bogor membebaskan Ciliwung di wilayahnya dari sampah jelas tidak mudah, tetapi bukan hal tidak mungkin, “Asalkan ada kesadaran meski itu lama sekali,” kata Een. Tantangan selanjutnya adalah kebijakan yang parsial, “Itu juga susah.”
Begitu juga dengan pemerintah yang setengah repot mengotak-ngatik sejumlah kebijakan dan anggaran agar sampah ini tertangani. Bahkan, pemerintah pusat tahun 2019, sudah mulai mengalokasikan secara khusus dana bagi pemerintah daerah untuk pengelolaan sampah. Dana insentif daerah sekitar Rp10 triliun dialokasikan untuk pemda dengan menggunakan parameter peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah.
Walaupun, tolok ukur pemerintah masih blur dan minim informasi, semisal peta jalan. Yang nampak seperti mercusuar yakni, target pengurangan volume sampah di Tanah Air sebanyak 30 persen pada 2025. Tentu saja, perlu komitmen kuat pemerintah dan keterlibatan masyarakat.
Kepala Layanan Strategis Waste4Change Ridho Malik mengatakan, dari data manajemen pengelolaan sampah, hanya 7,5 persen sampah di Indonesia yang didaur ulang. Sebagian besar masuk ke TPA dan tercecer ke sungai.
Guna mendorong ekosistem daur ulang sampah meningkat, katanya, cara pandang pengelolaan sampah oleh pemerintah dan masyarakat harus diubah. Pengolahan sampah yang benar bisa efektif mengendalikan dampak pencemaran, mitigasi bencana, hingga meningkatkan sektor ekonomi masyarakat.
Peran pemerintah bisa merangkul industri daur ulang yang masih berjalan sendiri dan belum mendapatkan keberpihakan nyata. Padahal, industri ini memiliki kontribusi dan potensi untuk menyerap sampah-sampah non organik.
Di sisi lain demi menekan sampah organik, pengelolaan sampah mandiri warga berpotensi meningkatkan daya dukung lingkungan di tengah peningkatan jumlah penduduk. Ketika dikelola dengan benar, pengelolaan sampah efektif menghasilkan pendapatan tambahan dan kemudahan hidup bagi para pelakunya, semisal pengkomposan. Jika itu masih sulit dan serius dirintis, barangkali tepat kalau menyatakan sampah memang cerminan kehidupan dan wajah peradaban. Dan itu kita.(*)
Mongabay Indonesia